Suami Pinjaman

Suami Pinjaman

Peluang sering kali hampir tidak terlihat, ia bisa muncul tiba-tiba dan menghilang jika tidak teramati. Bentuk peluang juga seingkali tidak jelas, artinya pangkal dan ekornya jauh berbeda.

Mengapa tulisan ini saya buka dengan kalimat seperti itu, karena cerita saya berikut ini sangat berkaitan dengan kalimat pertama di tulisan ini.

Saya tidak ingat hari dan tanggalnya, tetapi saya ingat bahwa hari itu saya melintasi jalan Iskandar Muda, atau lebih dikenal dengan sebutan Arteri Pondok Indah, Jakata. Pagi itu lalulintasnya lebih macet dari hari-hari biasa. Saya merasa begitu, karena setiap hari ini adalah rute menuju kantor saya.

Kira 30 meter di sebelah kiri depan saya terlihat orang berkerumun, Saya duga ada pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan. Namun tidak terlihat di sekitar situ ada sepeda motor yang tergeletak atau bekas tertabrak.

Karena arus maju perlahan, kemudian saya melihat seorang laki-laki duduk tersandar, wajahnya pucat dan sedang dikipasi. Melihat itu saya langsung meminggirkan mobil dan memarkir di tempat lega. Segera saya datangi orang yang tersandar pucat tadi. Saya menduga dia terkena serangan jantung.

“Mas taruh pil ini di bawah lidah, jangan ditelan, dan bernafas agak panjang. “ kata saya.

Dia menuruti perintah saya, dan 5 menit kemudian kelihatannya dia agak pulih, lalu duduk sambil bersila. Keringatnya deras bercucuran. Nafasnya masih terengah-engah.

“Mas kondisi begini, tidak boleh mengendarai motor dulu, “ kata saya sambil membantu dia menitipkan sepeda motor di salah satu toko. Oleh pemiliknya dia mau dititipi motor sementara. Saya tak lupa menanyakan nama dan no teleponnya lalu saya masukkan ke HP saya.

“Mas mari saya bantu untuk ke rumah sakit terdekat, si mas ini dalam bahaya besar, bisa-bisa game kalau tidak mendapat pertolongan segera.” kata saya.

“Mau dibawa ke rumah sakit mana pak,” kata seorang wanita yang dari tadi tidak terperhatikan saya.

“Mbak ini siapa,” tanya saya.

“Saya istrinya Pak,” katanya.

Sial saya belum terlalu tua malah mungkin sebaya dengan suaminya udah dipanggil pak, mungkin karena pakaian kantoran saya yang rapi dilengkapi dengan jas, jadi dia panggil saya pak mungkin sebagai penghormatan.

“Kebetulan ini mbak bisa dampingi suami ke rumah sakit,” kata saya.

Si mas korban serangan jantung tadi duduk di depan dan istrinya duduk di belakang. Wajahnya masih pucat, kendaraaan aku arahkan ke rumahsakit terdekat. Aku langsung membawanya ke instalasi gawat darurat.

Istrinya kuminta menunggu. Kepada dokter di situ aku jelaskan bahwa pasien ini kemungkian terkena serangan jantung. Perawat langsung memasang masker oksigen.

Setelah aku memarkir mobil, Istrinya langsung menyambutku dan dia mengajakku menemui dokter. Menurut dokter pasien terkena serangan jantung, diduga ada penyempitan atau penyumbatan di jantungnya.

Dia menyarankan agar pasien jangan pulang, tetapi perlu diperiksa lebih teliti dengan berbagai peralatan. Kami dirujuk ke dokter spesialis jantung. Tidak lama menunggu aku ikut masuk ke ruang praktek.

Kesimpulan sementara dokter jantung, si pasien perlu penanganan serius, dan sebaiknya langsung rawat inap, karena kondisinya cukup kritis.

Aku langsung menyetujui dia dirawat inap dan menjalani beberapa pemeriksaan untuk memastikan sumber gangguan di jantungnya. Dokter jantung untuk sementara melihat kemungkinan pasien perlu dipasang ring di pembuluh jantungnya. Iseng saja aku tanya, berapa biaya pemasangan satu ring. Kata doter menyebut satu angka yang jumlahnya ratusan juta rupiah.

Mendengar itu istrinya tercengang, gantian dia pula yang wajahnya pucat. Aku tenang saja.

Suster mendorong kursi roda yang diduduki si mas tadi menuju kamar kelas 1, karena memang hanya itu yang ada.

Setelah dia dibaringkan dan dipasang selang oksigen, dan suster keluar kamar, baru aku berkenalan. Orang yang kutolong itu sambil berterima kasih memperkenalkan namanya Rama, dan dia memperkenalkan istrinya Vera. Ah baru kusadari, ternyata istrnya cantik juga.

“Pak kami gak sanggup bayar biaya rumah sakit ini, kenapa bapak langsung setuju saja suami saya di rawat di sini, duit dari mana,” kata istrinya langsung menyerangku.

Aku senyum saja, “ Emang si mas gak punya asuransi,”

“Ah boro-boro asuransi pak, hidup aja pas-pasan,” kata Vera.

“Ya sudah, tenang sajalah, nanti saya carikan bantuan, untuk sementara saya sudah gesek kartu kredit untuk jaminan deposit,” kataku.

“Terus pak kalau memang harus dipasang ring kata dokter tadi, mana mungkin kami punya duit segitu banyak, biayanya kok mahal banget ya pak,” kata istrinya sambil matanya berkaca-kaca.

“Ah itu belum tentu, dokter tadi kan hanya mengira-ngira berdasarkan pengalaman dia praktek, tapi setelah pemeriksaan nanti, belum tentu harus pasang ring.

Tapi kalau pun perlu pasang ring, saya punya kenalan dokter ahli jantung dan pembuluh darah yang banyak menolong orang yang akan operasi jantung, akhirnya tidak perlu dioperasi.” kata ku menenangkan.

“Sudahlah mas Rama istirahat dulu, kalau mbak Vera bisa menemani, ya temani dulu, tapi kalau mau ditinggal menyelesaikan urusan, silakan saja. Nanti sore saya kembali, ini kartu nama saja,” kataku.

Aku agak kesiangan tiba di kantor. Aku memang tidak memiliki jam kerja, karena perusahaan itu memang milikku sendiri.

Setiba di kantor aku langsung memanggil rapat kepala-kepala bagian, untuk mengupdate proyek-proyek. Sekitar setengah jam meeting selesai dan aku pun tenggelam pada berbagai penyelesaian pekerjaan.

HP ku bergetar, no nya tidak aku kenal. “Pak, bapak jadi ke rumah sakit, jam berapa bapak datang, kata suara merdu di seberang sana,” ah ini pasti suara Vera istri Rama yang tadi pagi aku tolong.

“Sekitar jam lima nanti saya mampir mbak, gimana keadaan suami mbak” tanyaku.

Dia menjawab, “ dia tidur pak, kelihatannya sih gak apa-apa.”

“Mungkin si mas Rama perlu tinggal di rumah sakit sampai 3 hari untuk menyelesaikan berbegai pemeriksaan, yah sabar aja mbak, dan gak usah mikirin biaya, ada aja kok yang bantu,” kata saya.

Wajah Rama masih agak pucat ketika aku kunjungi, kami ngobrol sebentar dan aku meredakan kekuatirannya, baik kuatir mengenai penyakit, maupun kuatir mengenai biaya.

Hari ketiga aku bertemu dengan dokter yang merawat Rama sebelum menjenguk ke kamar perawatan Rama. Menurut dokter, kondisi jantung rama kurang baik, sehingga memang benar perlu dipasang satu ring, selain itu dia menderita hipertensi atau darah tinggi dan gula darahnya cukup tinggi.

Aku minta pasien bisa dirawat jalan, sehingga hari ini bisa meninggalkan rumah sakit. Di kamar kudapati Rama didampingi istrinya. Wajah istrinya agak murung dan Rama sendiri matanya menerawang kosong. “Sudahlah, jangan dibawa sedih, semua ada jalannya kalau kita berusaha.

Saya sudah bicara dengan dokter, dan hari ini boleh pulang. Kedua wajah mereka langsung gembira. Gimana tadi kata dokter tentang penyakit saya, Pak,” tanya Rama penuh antusias.

“Ya keadaannya kesehatan bapak kurang baik, gula darah cukup tinggi, tekanan darah juga tinggi dan menurut dokter, jantungnya perlu dipasang ring,” kataku tenang.

“Tidak perlu risau saya sudah cari bantuan dan mudah-mudahan bisa dapat, saya pikir, jangan terlalu kuatir soal biaya, yang perlu ada semangat untuk kembali sehat” kataku.

Cerita dipersingkat aku akhirnya diundang ke rumah mereka, yang letaknya lumayan jauh dipinggiran jakarta. Wilayahnya sudah bukan jakarta lagi, tetapi sudah Provinsi Banten. Rumah mereka sederhana dan rapi saya duga ukurannya sekitar 36m2.

Mereka hidup hanya berdua, karena diusia 35 Rama dan 26 tahun Vera mereka sudah 5 tahun berumah tangga belum dikaruniai momongan.

Kami akhirnya akrab, dan saya sudah menemukan dokter yang bisa menerapi Rama tanpa perlu pasang ring, semua biaya aku tanggung. Aku sebenarnya tidak punya pamrih apa-apa, kecuali murni hanya menolong saja. Bagiku biaya bantuan yang dikeluarkan untuk mereka tidak terlalu mengganggu cash flow pribadiku, enteng-enteng saja.

Gula darahnya mulai agak terkontrol, meski masih cenderung tinggi, tekanan darahnya juga sudah normal, tetapi semua kebiasaan lama, seperti olah raga bulu tangkis di lingkungannya, lari pagi, aku suruh stop sama sekali. Olahraga hanya jalan pagi saja setengah jam.

Kami sudah seperti saudara, sampai akhirnya dia kurekrut menjadi pegawaiku. Nah lama-lama istri si Rama kelihatan makin cantik. Pintar juga Rama dulu cari istri bisa dapat yang cantik begitu, mana nurut banget sama suaminya.

Namun aku bertanya dalam hati, apa Rama bisa memenuhi kebutuhan sex istrinya, karena diumur yang relatif muda dia sudah terkena diabetes. Setahuku orang terkena diabetes kemampuan sexnya lemah, kalaupun bisa berhubungan ketegangan penisnya tidak sempurna. Persoalan berikutnya adalah apakah karena itu, mereka belum juga mendapat anak.

Meski Vera istri Rama cantik, tetapi aku tidak berani menggoda atau bersikap macam-macam. Apalagi dia sudah menjadi pegawaiku.

Suatu hari aku diundang mereka berdua, katanya merayakan ulang tahun perkawinan yang ke enam. Mereka mengundangku di sebuah restoran di hotel yang cukup terkenal.

Aku pikir mereka mengundang banyak kolega, tetapi ternyata setelah beberapa lama kami duduk bertiga, tidak ada yang datang lagi. “ kami memang tidak mengundang siapa-siapa kecuali bapak,” kata Rama.

“Pak ada yang ingin kami sampaikan, selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang menyelamatkan nyawa saya,” kata Rama.

“Begini pak, kami berdua sudah lama menginginkan anak, tetapi setelah 6 tahun ini usaha kami tidak membuahkan hasil, karena menurut pemeriksaan dokter, sperma saya ternyata lemah Pak,” kata Rama.

Saya lalu menyarankan adopsi, karena biasanya keluarga yang gagal mempunyai anak kandung, masih bisa mendapat anak adopsi.

“Itu sudah kami pikirkan, tetapi kami merasa anak itu, tidak atau bukan darah daging dari saya atau istri saya,” kata Rama.

“O kalian mau ikut program bayi tabung toh”

“Tidak bisa pak, kami sudah konsultasi ke dokter, sperma saya terlalu lemah,” kata Rama.

“Terus rencana kalian bagaimana,” tanyaku penuh tanda tanya.

“Itulah pak kami ingin konsultasi dengan bapak, kami sebenarnya tidak enak dan kesan saya agak kurang ajar, tetapi setelah kami berdua berembug, akhirnya kami terpaksa akan sampaikan kepada bapak, apa pun risikonya kami sudah siap pak, Bapak kami anggap sudah seperti saudara. Mudah-mudahan kami bisa ditolong,” kata Rama.

Aku terus terang tidak bisa menduga kemana arah permohonan mereka, sehingga aku jadi makin penasaran.

“Bagaimana saya bisa membantu, “ tanyaku.

“ Kami mengharapkan benih dari bapak untuk dibuahi oleh indung telur istri saya,” kata Rama terus terang.

“Maksudnya, program bayi tabung dengan mempertemukan sperma saya dengan telur Vera,” tanya saya makin penasaran.

“Bukan Pak,” kata Vera kali ini angkat bicara.

Aku terdiam sejenak dan langsung membayangkan aku melakukan hubungan badan dengan vera untuk dia mendapatkan anak.

“Jadi maksud kalian bagaimana,” tanyaku penasaran.

“Maaf pak, saya sudah bersepakat dengan Vera, dan kalau Bapak tidak keberatan, saya sebagai suami Vera ikhlas mengijin istri saya dibuahi oleh bapak secara langsung.” kata Rama

Vera tidak berani menatap mataku, dia tertunduk.

“Apa benar begitu, vera, “tanyaku menegaskan,

Vera hanya menangguk.

Aku terhenyak dan menyandarkan badanku ke sandaran kursi.

“Mengapa, kalian memlih saya,” tanyaku.

“ Pertama, bapak orangnya sangat baik dan suka menolong tanpa pamrih, kedua bapak hidup membujang sampai usia 40 tahun, sehingga bagi kami tidak merasa merebut atau merusak rumah tangga lain, dan ketiga, jika berhasil kami mempunyai anak yang masih darah daging dari Vera” kata Rama tanpa ragu menyampaikan kata per kata.

Kelihatan rencana mereka itu sudah matang sekali mereka rembukkan.

“Pak tanpa mengurangi rasa hormat apakah bapak bersedia menolong, kami lagi,” kata Rama.

Selain mata Rama memandangku, Vera juga menatapku.

Sulit dan malu aku begitu saja langsung menerima, tetapi aku berbohong pada diriku sendiri, jika tidak tertarik pada Vera. Dia adalah wanita yang ideal, meski payudaranya tidak tergolong toge, tetapi cukup monjol, dia juga memiliki pinggang yang ramping, bokong yang rada menonjol dan yang aku paling suka selain mukanya ayu, putih, rambutnya lurus sebahu.

“Selanjutnya bagaimana rencana kalian,” kataku tanpa menyatakan menerima dan akan membantu mereka.

“Kami sudah pesan kamar dihotel ini, kalau bapak tidak keberatan dan mau menolong kami, kita bertiga naik ke kamar, besok kan hari libur.

“Kalian ini memang keluarga yang aneh, dan kau Rama, kau adalah laki-laki yang paling aneh karena memperbolehkan istrimu ditiduri laki-laki lain,” kataku.

“Bapak juga laki-laki aneh, sudah cukup mapan, tetapi kenapa tidak berumah tangga juga, apalagi yang kurang pak, semua Bapak sudah punya, kecuali pendamping hidup,” kata Vera.

Batinku berkecamuk, antara mau menerima tawaran dengan rasa gengsi yang cenderung menolak. Jika aku menerima begitu saja, kayaknya kok keliatan banget nafsu rendahku, tetapi kalau aku tolak bisa jadi dia akan mencari laki-laki lain. Ah sayang juga kesempatan ini disia-siakan.

“Apakah kalian sudah benar-benar mantap dengan keputusan itu, dan kalau boleh tau ada berapa calon yang sudah dinominasikan untuk menjalankan tugas seperti yang kalian tawarkan ?” tanyaku mengulur waktu untuk berpikir. Ngocoks.com

“Terus terang Pak calonnya yang kami bicarakan berdua hanya bapak, kami tidak berpikir mencari calon lain,” kata si Rama.

“Sepertinya tawaran kalian itu menarik juga, tetapi kalau kelak tidak terjadi pembuahan bagaimana,” tanyaku.

“ yah itu risiko sudah kami pikirkan dan kami juga berharap bapak legowo jika nanti Vera melahirkan, maka anak itu adalah anak kami, Bapak boleh saja bertemu dan dekat dengan anak itu nanti, tetapi statusnya tetap anak kandung kami, apa bapak keberatan,” kata Rama.

Hal ini malah belum terpikirkan, karena otakku hanya membayangkan rasa nikmat menggumuli Vera. Aku pikir permintaan mereka wajar, dan bagiku tidak ada masalah. Lucu juga aku belum menikah tetapi punya anak kandung yang dalam pengasuhanku.

“Baiklah persyaratan itu bisa saya terima,” kataku.

“Oke Pak kita naik keatas, saya sudah buka kamar,” kata Rama.

Kami bertiga naik keatas, suasana di dalam lift terasa canggung, kami diam saja sampai pintu lift terbuka. Aku masih belum tahu skenario apa yang mereka persiapkan. Sejaun ini aku pasrah saja, dan penasaran melihat penampilan Vera yang pasti mengundang minat lelaki mana pun.

Rama memesan kamar suite, sehingga terasa lega, karena ada ruang tamu dan ruang tidur yang terpisah. Kami bertiga duduk di sofa ruang tamu.

“Pak mohon maaf, saya tinggal bapak dengan Vera,” kata Rama lalu bangkit menuju pintu dan keluar begitu saja. Pasti berkecamuk juga dalam hatinya mendapati kenyataan istrinya ditiduri oleh laki-laki lain.

Itu makanya dia berusaha cepat berlalu. Aku sempat berdiri sebentar, tetapi tidak sempat mengejar Rama, karena dia sudah keburu menutup pintu.

adminmarket
https://puripanteagarden.com

Leave a Reply