Aku senang sekali mengamati sekretaris bos, Marisa namanya. Wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi dia memiliki bentuk body yang super. Aku taksir umurnya sekitar 25 tahun, setahun lebih muda dariku.

Dia pandai memilih baju yang menampilkan kelebihan tubuhnya, sehingga kelihatan susunya penuh yang bagai magnet selalu memukau mata lelaki.

Dari belakang dia menyuguhkan pemandangan yang tak kalah menggiurkan dengan bulatan bokong yang gempal. Nah bajunya itu selalu mampu menonjolkan apa yang memang sangat menonjol.

Aku tidak terlalu akrab dengan Marisa, maklum bagianku tidak langsung berhubungan dengan dia. Padahal kami sudah saling kenal lebih dari 2 tahun. Kantorku di disain terbuka sehingga sekitar 30 orang yang bekerja di dalam ruangkan itu bisa saling melihat. Repotnya kalau terima telepon, semua bakal bisa dengar apa yang dibicarakan.

Di layar komputerku suatu hari muncul kedip-kedip, penanda ada yang mau chating. Ini adalah chating antar pegawai. Sebenarnya signal itu biasa, karena memang kami komunikasi sesama pegawai menggunakan sarana chating intern.

Yang luar biasa ketika kuperhatikan, yang ingin bicara dengan ku adalah Marisa. Jarang-jarang nih anak menghubungiku. Pertanyaannya malah bikin gua tambah heran karena tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

“Jack” panggilnya. Namaku sebenarnya bukan Jack, tapi teman-teman kantorku memanggilku begitu, kata mereka karena kulitku putih dan agak jangkung.

“Siap bos, ada perintah,” sambutku menggoda.

“Eh elu ngekos dimana,” tanya si Marissa.

“Mau apa anak ini nanya-nanya gua tinggal di mana, mudah-mudahan dia pengin nginep di tempat gua”, batinku berharap.

Aku menjelaskan bahwa aku tinggal tidak terlalu jauh dari kantor, sekitar 30 menit naik kendaraan umum.

Eh dia nanya lagi, “ enak gak tempatnya, berapa sebulan ?’

“Ya lumayanlah, sebulan sekitar dua setengah juta, “kataku rada me mark up. Padahal cuma sejuta setengah.

Eh dia percaya aja, karena dalam pembicaraan selanjutnya dia tidak protes atau menyebut bayaran kost ku terlalu mahal. Dia belum mau membuka, untuk apa nanya-nanya. Aku jadi makin penasaran karena dia ngajak ngopi sore sepulang kantor.

Ah, ada apa kayanya serius, karena selama aku kenal dia belum pernah mengajakku ngrumpi. Sambil berharap dapat durian runtuh aku menjadi tidak sabar ingin segera selesai jam kantor ku.

Menjelang pulang kantor dia mengingatkan lagi agar aku datang ketemuan di suatu tempat, di Mall yang lumayan jauh dari kantor.

Aku tidak bersamaan dengan dia dari kantor, karena dia memang menginginkan begitu. Sekitar sejam kemudian aku sudah sampai di mall itu.

Baru saja aku ingin menanyakan dimana ketemuannya, pesannya sudah masuk bahwa dia menunggu di satu warung kopi di lantai 3. Aku tidak hafal dengan letak tempat yang dia maksud, sehingga perlu bertanya pada satpam.

Ada tangan melambai ketika aku sampai di tempat yang dia sebutkan. Rupanya Marisa sudah duduk di pojok dan kelihatannya ada cewek satu lagi bersama dia. Usianya sebaya Marissa, lumayan cantik, rambut keriting dan kulitnya agak gelap sedikit.

Aku diperkenalkan dia menyebut namanya Vernita, aku memperkenalkan namaku Jack. Abis kalau aku sebut namaku sebenarnya, nanti si Marisa memanggilku Jack, kan jadi gak enak. Sampai setengah jam kami ngobrol yang gak jelas banget topiknya.

Dasar cewek batinku, tangannya gak pernah berhenti ngetik di HP. Tentu saja aku gak enak, nanya-nanya ada apa sebenarnya kok pake ngopi bareng di tempat yang jauh dari kantor pula.

Aku ikuti saja arah pembicaraan mereka yang setiap saat ganti topik. Repotnya, kalau ngomong ama perempuan, kalau ganti topik pembicaraan dia gak ngasi judul, bikin aku bingung menimpalinya. Mungkin dia pikir lawan bicaranya mengikuti apa yang dia pikir.

“Gini Jack, sebetulnya maksud gua ngajak lu ngopi disini, ngajak lu sharing,” kata Marisa.

“Sharing ?” kataku masih belum menangkap arah pembicaraannya.

“Iya aku dan Verni baru nyewa apartemen, tempatnya bagus dan strategis, tidak jauh dari kantor kita dan dekat juga ke kantor Verni,” kata Marisa.

“Lantas,” timpalku mulai memahami arah pembicaraannya.

“Ya loe mau gak, sharing sewa apartemen ama kita-kita,” kata Marisa.

“Emang berapa sebulannya ,” tanyaku.

“Lima juta, udah semuanya termasuk listrik dan service charge “ katanya

“Kamarnya ada dua, kalo lu mau lu nempati kamar yang kecilan, aku ama Verni nempati kamar yang rada gede. Lu bayar satu setengah juta aja deh,” kata Marisa.

Sebenarnya aku ingin langsung saja menjawab mau, tapi aku ingin mengukur sejauh apa mereka meminatiku mengajak joinan. Ngocoks.com

Singkat cerita akhirnya aku dengan mereka. Memang benar apartemennya cukup bagus bahkan terkesan mewah. Apartemen full furnish, tertata secara apik.

Aku mengikuti saja irama kehidupan mereka, tempat tinggalku sekarang jauh lebih bagus dari kamar kost ku yang lalu. Yang lebih menggairahkan adalah aku bisa serumah dengan dua cewek. Tapi jangan dianggap semua enak. Aku jadi tidak bisa nenteng cewek lagi masuk kamar ku seperti ketika masih di kos-kosan dulu.

Sekitar seminggu kami saling menyesuaikan diri terhadap masing-masing penghuni. Aku akhirnya memahami mengapa mereka mengajakku joint tinggal satu apartemen.

Mereka memerlukan sosok laki-laki di dalam rumah, untuk pelindung. Aku kira alasan itu cukup masuk diakal juga. Namun hati kecilku bertanya, mungkinkah pria dan wanita bersahabat dan tinggal serumah tanpa ada sex diantara mereka.

Hubungan pria dan wanita tanpa sex hanya kepada Ibu dan anak (kadang itu pun dilanggar) atau adik kakak (banyak juga juga yang melanggar). Aku berprinsip untuk tidak mendahului, “tetapi kalau dia jual ane beli” begitu kata pepatah Betawi.

Setelah seminggu aku baru menyadari ada kejanggalan pada dua cewek ini. Marisa dan Vernita rasanya sama-sama punya keanehan. Mereka bukan lesbi, tetapi seperti mengidap exhibitionist.

Bagaimana tidak, aku sering mendapat suguhan yang seronok. Mereka santai mondar mandir hanya mengenakan celana G-String yang menurutku tidak menutupi apa-apa. (lubang vagina kalau pun tidak ditutup toh gak keliatan juga kan) diatasnya mengenakan kaus seperti singlet tanpa BH dan hanya menjulur sedikit kebawah menutup celana dalamnya.

Padahal aku belum pernah sekali pun mencumbu mereka. Tidak sedikitpun mereka merasa malu duduk di ruang tamu satu sofa dengan ku sambil menonton TV.

Meski aku belum pernah menjamah satu pun diantara mereka, tetapi aku sudah tahu bahwa Verni jembutnya lebih banyak, dan pentilnya lebih besar dari Marisa. Tapi Marisa punya buah dada lebih besar dan modelnya agak menggantung sedikit.

Aku tetap berprinsip tidak akan mulai jika tidak dicolek dulu. Jadi meskipun penampilan mereka sangat dan sangat menegangkan, tetapi aku berusaha memendamnya dan menikmati saja pemandangan yang langka dan mahal.

Sebuah ide begitu saja muncul di kepalaku ketika kami sedang duduk di meja makan bertiga. “Untuk menghemat biaya listrik, bagaimana kalau suhu AC di rumah kita dinaikkan menjadi 25 derajat saja,” usulku kepada mereka.

Kepala ku yang sudah bertanduk sebenarnya bukan ingin itu, tetapi menginginkan nilai yang lebih tinggi, bukan hanya sekedar menghemat listrik.

“Panas dong ruangan kita nanti,” protes Verni

“Iya percuma saja ada AC kalau kita gerah.” sambung Marisa.

“Aku jamin tidak akan gerah dan panas, suhu 25 derajat itu adalah yang paling nyaman untuk tubuh kita, jadi kalau tidur kita tidak perlu pakai selimut, tetapi masih cukup sejuk. Di ruang tengah ini pun kita tidak akan kedinginan,” kataku.

“Ah apa bener bisa menghemat listrik, kalau bisa hemat banyak, lumayan juga, uangnya bisa buat jajan atau nambah-nambah uang saku,” kata Verni.

“Kalau mau, kita coba sekarang, dan semua kita harus sepakat jangan ada yang curi-curi menurunkan suhu AC di bawah 25 derajat, OK,” tantangku.

Mereka menerima alasan dan logika yang aku kemukakan. Mereka tambah mendukung ketika kemudian aku menantang dengan ucapan. “ Kalau perlu selama di dalam rumah kita bugil aja, toh aku juga sudah tahu semua jerohan kalian, orang penutupnya pada kurang bahan gitu,”

“Emang lu berani bugil di depan kita-kita,” tanya Marisa.

“Kalau kalian juga berani telanjang, aku juga gak masalah, itung-itung hemat cucian.” tantangku.

“Coba buka semua kalau memang lu serius,” tantang Verni.

Tanpa tunggu lama aku menelanjangi diriku. Untungnya tititku sedang stabil, tapi rada berisi juga walau belum sampai tegak. Jadi cuma kelihatan gemuk dan agak panjang aja.

“Gak salah aku pilih lu untuk jadi room mate kami,” kata si Marisa.

Dengan santai aku mondar mandir, bikin kopi, masak air panas dan duduk di sofa menikmati tayangan televisi dalam keadaan bugil.

Aku tidak memprotes Marisa dan Verni masih pakai celana G string dan BH yang juga minim. Aku percaya diri, sebetulnya mereka yang lebih menginginkan pamer tubuh dari pada aku. Aku yakin kedua mereka ini memang exhibitionist.

Selang 30 menit Marisa sudah melepas semua penutup tubuhnya sekeluar dia dari kamar. Tidak lama kemudian Verni juga bugil keluar dari kamar mandi. Mereka sangat menikmati tatapan mataku terhadap tubuh mereka. Semakin aku pantau semakin mereka mondar-mandir di depanku.