Hanifah yang masih berumur 21 tahun tidak menyadari bahaya nya bekerja sebagai kasir di sebuah toko serba ada (Indomaret) yang beroperasi 24 jam di Bandung. Tapi karena semangat dan keinginan untuk mandiri membuat dirinya tidak mempedulikan nasehat orang tuanya yang merasa kuatir melihat putriya sering mendapat giliran jaga di malam hari hingga pagi hari.

Hanifah lebih suka bekerja pada shift di jam tersebut, Karena dari saat tengah malam sampai pagi biasanya jarang sekali ada pembeli, sehingga Hanifah bisa belajar untuk materi kuliahnya siang nanti. Sampai akhirnya pada suatu malam terjadilah pemerkosaan itu.

Hanifah mendapati dirinya ditodong oleh sepucuk pistol tepat di depan matanya. Yang berambut Gondrong (sebut saja Budi) , dan yang satu lagi tubuhnya Kurus (sebut saja si Rudi ). Mereka berdua, menerobos masuk membuat Hanifah yang sedang berkonsentrasi pada bukunya terkejut.

“Keluarin uangnya cepet !” perintah si Budi, sementara si Rudi memutuskan semua kabel video dan telepon yang ada di toko itu. Tangan Hanifah gemetar berusaha membuka laci kasir yang ada di depannya, saking takutnya kunci itu sampai terjatuh beberapa kali.

Setelah beberapa saat Hanifah berhasil membuka laci itu dan memerikan semua uang yang ada di dalamnya, sebanyak 100 ribu kepada si Budi, Hanifah tidak diperkenankan menyimpan uang lebih dari 100 ribu di laci tersebut.

Karena itu setiap kelebihannya langsung dimasukan ke lemari besi. Setelah si Budi merampas uang itu, Hanifah langsung mundur ke belakang, ia sangat ketakutan kakinya lemas, hampir jatuh.

“Masa cuma segini?!” bentak si Budi.

“Buka lemari besinya! Sekarang!” Mereka berdua menggiring Hanifah masuk ke kantor manajernya dan mendorongnya hingga jatuh berlutut di hadapan lemari besi. Hanifah mulai menangis, ia tidak tahu nomor kombinasi lemari besi itu, ia hanya menyelipkan uang masuk ke dalam lemari besi melalui celah pintunya.

“Cepat!!!” bentak si Rudi,

Hanifah merasakan pistol menempel di belakang kepalanya. Hanifah berusaha untuk menjelaskan kalau ia tidak mengetahui nomor lemari besi itu. Untunglah, melihat mata Hanifah yang ketakutan, mereka berdua percaya.

“Brengsek!!!! Nggak sebanding sama resikonya! Ayo…Iket dia, biar dia nggak bisa panggil polisi!!!” Hanifah di dudukkan di kursi manajernya dengan tangan diikat ke belakang. Kemudian kedua kaki Hanifah juga diikat ke kaki kursi yang ia duduki. si Rudi kemudian mengambil plester dan menempelkannya ke mulut Hanifah.

“Beres! Ayo cabut!”

“Tunggu! Tunggu dulu rud! Liat dia, dia boleh juga ya?!”.

“Cepetan! Ntar ada yang tau! Kita cuma dapet 100 ribu, cepetan!”.

“Aku pengen liat bentar aja!”.

Mata Hanifah terbelalak ketika si Budi mendekat dan menarik t-shirt merah muda yang ia kenakan. Dengan satu tarikan keras, t-shirt itu robek membuat BH-nya terlihat. Payudara Hanifah yang berukuran sedang, bergoyang-goyang karena Hanifah meronta-ronta dalam ikatannya.

“Wow, oke banget!” si Budi berseru kagum.

“Oke, sekarang kita pergi!” ajak si Rudi, tidak begitu tertarik pada Hanifah karena sibuk mengawasi keadaan depan toko.

Tapi si Budi tidak peduli, ia sekarang meraba-raba puting susu Hanifah lewat BH-nya, setelah itu ia memasukkan jarinya ke belahan payudara Hanifah. Dan tiba-tiba, dengan satu tarikan BH Hanifah ditariknya, tubuh Hanifah ikut tertarik ke depan, tapi akhirnya tali BH Hanifah terputus dan sekarang payudara Hanifah bergoyang bebas tanpa ditutupi selembar benangpun.

“Jangan!” teriak Hanifah. Tapi yang tedengar cuma suara gumaman. Terasa oleh Hanifah mulut si Budi menghisapi puting susunya pertama yang kiri lalu sekarang pindah ke kanan. Kemudian Hanifah menjerit ketika si Budi mengigit puting susunya.

“diam! Jangan berisik!” si Budi menampar Hanifah, hingga berkunang-kunang. Hanifah hanya bisa menangis.

“Aku bilang diam!”, Sambil berkata itu si Budi menampar buah dada Hanifah, sampai sebuah cap tangan berwarna merah terbentuk di payudara kiri Hanifah.

Kemudian si Budi bergeser dan menampar uang sebelah kanan. Hanifah terus menjerit-jerit dengan mulut diplester, sementara si Budi terus memukuli buah dada Hanifah sampai akhirnya bulatan buah dada Hanifah berwarna merah.

“Ayo, cepetan !”, si Rudi menarik tangan si Budi.

“Kita musti cepet minggat dari sini!” Hanifah bersyukur ketika melihat si Budi diseret keluar ruangan oleh si Rudi.

Payudaranya terasa sangat sakit, tapi Hanifah bersyukur ia masih hidup. Melihat sekelilingnya, Hanifah berusaha menemukan sesuatu untuk membebaskan dirinya. Di meja ada gunting, tapi ia tidak bisa bergerak sama sekali.

“Hey, Brooo! Tokonya kosong!”.

“Masa, cepetan ambil permen!”.

“Goblok Banget lo, cepetan ambil bir tolol!”.

Tubuh Hanifah menegang, mendengar suara beberapa anak-anak di bagian depan toko. Dari suaranya ia mengetahui bahwa itu adalah anak-anak berandal yang ada di lingkungan itu. Mereka baru berusia sekitar 12 sampai 15 tahun. Hanifah mengeluarkan suara minta tolong.

“ssssstt! Lo denger nggak?!”.

“Cepetan kembaliin semua!”.

“Ayooo….lari, lari! Kita ketauan!”.

Tiba-tiba salah seorang dari mereka menjengukkan kepalanya ke dalam kantor manajer. Ia terperangah melihat Hanifah, terikat di kursi, dengan t-shirt robek membuat buah dadanya mengacung ke arahnya.

“Buset!” berandal itu tampak terkejut sekali, tapi sesaat kemudian ia menyeringai.

“Hei, liat nih! Ada kejutan!”

Hanifah berusaha menjelaskan pada mereka, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berusaha menjelaskan bahwa dirinya baru saja dirampok. Ia berusaha minta tolong agar mereka memanggil polisi.

Ia berusaha memohon agar mereka melepaskan dirinya dan menutupi dadanya. Tapi yang keluar hanya suara gumanan karena mulutnya masih tertutup plester. Satu demi satu berandalan itu masuk ke dalam kantor. Satu, kemudian dua, lalu tiga. Empat. Lima!

Lima wajah-wajah dengan senyum menyeringai sekarang mengamati tubuh Hanifah, yang terus meronta-ronta berusaha menutupi tubuhnya dari pandangan mereka. Berandalan, yang berumur sekitar 15 tahun itu terkagum-kagum dengan penemuan mereka.

“Gila! Cewek nih!”.

“Dia telanjang!”.

“Tu liat susunya! susu!”.

“Mana, mana Aku pengen liat!”.

“Aku pengen pegang!”.

“Pasti alus tuh!”.

“Bawahnya kayak apa yaaa?!”.

Mereka semua berkomentar bersamaan, kegirangan menemukan Hanifah yang sudah terikat erat. Kelima berandal itu maju dan merubung Hanifah, tangan-tangan meraih tubuh Hanifah.

Hanifah tidak tahu lagi, milik siapa tanga-tangan tersebut, semuanya berebutan mengelus pinggangnya, meremas buah dadanya, menjambak rambutnya, seseorang menjepit dan menarik-narik puting susunya. Kemudian, salah satu dari mereka menjilati pipinya dan memasukan ujung lidahnya ke lubang telinga Hanifah.

“Ayooo, kita lepasin dia dari kursi!” Mereka kemudian melepaskan ikatan pada kaki Hanifah, tapi dengan tangan masih terikat di belakang, sambil terus meraba dan meremas tubuh Hanifah.

Melihat ruangan kantor itu terlalu kecil mereka menyeret Hanifah keluar menuju bagian depan toko. Hanifah meronta-ronta ketika merasa ada yang berusaha melepaskan kancing jeansnya.

Mereka menarik-narik celana jeans Hanifah sampai akhirnya turun sampai ke lutut. Hanifah terus meronta-ronta, dan akhirnya mereka berenam jatuh tersungkur ke lantai.

Sebelum Hanifah sempat membalikkan badannya, tiba-tiba terdengar suara lecutan, dan sesaat kemudian Hanifah merasakan sakit yang amat sangat di pantatnya. Hanifah melihat salah seorang berandal tadi memegang sebuah ikat pinggang kulit dan bersiap-siap mengayunkannya lagi ke pantatnya!

“Hei….Bangun! Bangun!” ia berteriak. Hanifah berusaha berguling melindungi pantatnya yang terasa sakit sekali. Tapi berandal tadi tidak peduli, ia kembali mengayunkan ikat pinggang tadi yang sekarang menghajar perut Hanifah.

“Bangun! naik ke sini!” berandal tadi menyapu barang-barang yang ada di atas meja layan hingga berjatuhan ke lantai. Hanifah berusaha bangun tapi tidak berhasil. Lagi, sebuah pukulan menghajar buah dadanya. Hanifah berguling dan berusaha berdiri dan berhasil berlutut dan berdiri.

Berandal tadi memberikan ikat pinggang tadi kepada temannya. “Kalo dia gerak, pukul aja!” Langsung saja Hanifah mendapat pukulan di pantatnya. Berandal-berandal yang lain tertawa dan bersorak. Mereka lalu mendorong dan menarik tubuhnya, membuat ia bergerak-gerak sehingga mereka punya alasan lagi buat memukulnya.

Berandal yang pertama tadi kembali dengan membawa segulung plester besar. Ia mendorong Hanifah hingga berbaring telentang di atas meja. Pertama ia melepaskan tangan Hanifah kemudian langsung mengikatnya dengan plester di sudut-sudut meja, tangan Hanifah sekarang terikat erat dengan plester sampai ke kaki meja.

Selanjutnya ia melepaskan sepatu, jeans dan celana dalam Hanifah dan mengikatkan kaki-kaki Hanifah ke kaki-kaki meja lainnya. Sekarang Hanifah berbaring telentang, telanjang bulat dengan tangan dan kaki terbuka lebar menyerupai huruf X.

“Waktu Pesta!” berandal tadi lalu menurunkan celana dan celana dalamnya. Mata Hanifah terbelalak melihat penisnya menggantung, setengah keras sepanjang 20 senti. Berandal tadi memegang pinggul Hanifah dan menariknya hingga mendekati pinggir meja. Kemudian ia menggosok-gosok penisnya hingga berdiri mengacung tegang.

“Waktunya masuk!” ia bersorak sementara teman-teman lainnya bersorak dan tertawa. Dengan satu dorongan keras, penisnya masuk ke vagina Hanifah. Hanifah melolong kesakitan. Air mata meleleh turun, sementara berandal tadi mulai bergerak keluar masuk.

Temannya naik ke atas meja, menduduki dada Hanifah, membuat Hanifah sulit bernafas. Kemudian ia melepaskan celananya, mengeluarkan penisnya dari celana dalamnya. Plester di mulut Hanifah ditariknya hingga lepas. Hanifah berusaha berteriak, tapi mulutnya langsung dimasuki oleh penis berandal yang ada di atasnya.

Langsung saja, penis tadi mengeras dan membesar bersamaan dengan keluar masuknya penis tadi di mulut Hanifah. Pandangan Hanifah langsung berkunang-kunang dan merasa akan pingsan, ketika tiba-tiba saja mulutnya dipenuhi cairan kental, yang terasa asin dan pahit sekali.

Semprotan demi semprotan masuk ke mulut Hanifah, tanpa bisa dimuntahkan lagi oleh Hanifah. Ia terus menelan cairan tadi agar bisa terus bernafas. Tiba-tiba saja Berandal yang duduk di atas dada Hanifah turun, lalu berandal memasukkan penisnya ke vagina Hanifah dan mendorong Hanifah di pinggir meja lalu menggenjot memek Hanifah Dengan tempo makin cepat.

Ia juga memukuli perut Hanifah, membuat Hanifah mengejang dan vaginanya berkontraksi menjepit penisnya. Ia kemudian memegang buah dada Hanifah sambil terus bergerak makin cepat, ia mengerang-erang mendekati klimaks.

Tangannya langsung meremas dan menarik buah dada Hanifah ketika tubuhnya bergetar dan sperma tiba-tiba menyemprot keluar, terus-menerus mengalir masuk di vagina Hanifah. Sedangkan berandal yang lainnya berdiri di samping meja dan melakukan masturbasi,

Dan ketika pimpinan mereka mencapai puncaknya mereka juga mengalami ejakulasi bersamaan. Sperma mereka menyemprot keluar dan jatuh di muka, rambut dan dada Hanifah.

Beberapa saat berlalu dan Hanifah tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, ketika tahu-tahu ia kembali sendirian di toko tadi, masih terikat erat di atas meja. Ia tersadar ketika menyadari dirinya terlihat jelas, jika ada orang lewat di depan tokonya.

Hanifah meronta-ronta membuat buah dadanya bergoyang-goyang. Ia menangis dan meronta berusaha melepaskan diri dari plester yang mengikatnya. Setelah beberapa lama mencoba Hanifah berhasil melepaskan tangan kanannya. Kemudian ia melepaskan tangan kirinya, kaki kanannya. Tinggal satu lagi nih.

“Wah, wah, waaaaah!!!” terdengar suara laki-laki yang berdiri di pintu depan. Hanifah sangat terkejut dan berusaha menutupi buah dada dan vaginanya dengan kedua tangannya.

“Tolong saya!” ratap Hanifah.

“Tolong saya Pak! Toko saya dirampok, saya diikat dan diperkosa Pak! Tolong saya Pak, cepat panggilkan polisi!”

“Nama lu Hanifah kan?” tanya laki-laki tadi.

“Ba…bagaimana bapak tahu nama saya?” Hanifah bingung dan takut.

“Aku Tomy. Orang yang dulunya kerja di toko ini sebelum kau rebut!”.

“Tapi saya tidak merebut pekerjaan bapak. Saya tahunya dari iklan di koran. Saya betul-betul tidak tahu pak! Tolonglah saya pak!”.

“Gara-gara kamu ngelamar ke sini Aku jadi dipecat! Aku nggak heran kamu diterima kalo liat bodi mu”.

Hanifah kembali merasa ketakutan saat melihat Tomy, seseorang yang belum pernah dilihat dan dikenalnya tapi sudah membencinya. Hanifah kembali berusaha melepaskan ikatan di kaki kirinya, membuat Raoy naik pitam.

Ia menyambar tangan Hanifah dan menekuknya ke belakang dan kembali diikatnya dengan plester, dan plester itu terus dilitkan sampai mengikat ke bahu, hingga Hanifah betul-betul terikat erat. Ikatan itu membuat Hanifah kesakitan, ia menggeliat dan buah dadanya semakin membusung keluar.

“Lepaskannnn!! Sakittt!! adhh!! Saya tidak memecat kamu!!!! Tapi kenapa saya diikat ?!!”

“Sebenarnya Aku tadinya mau ngerampok nih toko, cuma kayaknya Aku udah keduluan. Jadi baiknya Aku rusak aja deh nih toko”.

Ia kemudian melepaskan ikatan kaki Hanifah sehingga sekarang Hanifah duduk di pinggir meja dengan tangan terikat di belakang. Dan diikatnya lagi dengan plester.

Dan Tomy mulai menghancurkan isi toko itu, etalase dipecahnya, rak-rak ditendang jatuh. Lalu Tomy juga menghancurkan kotak pendingin es krim yang ada di kanan Hanifah. Es krim beterbangan dilempar oleh Tomy. Beberapa di antaranya mengenai tubuh Hanifah, kemudian meleleh mengalir turun, melewati punggungnya masuk ke belahan pantatnya.

Di depan, Es tadi mengalir melalui belahan buah dadanya, turun ke perut dan mengalir ke vagina Hanifah. Rasa dingin langsung menempel di buah dada Hanifah, membuat putingnya mengeras san mengacung. Ketika Tomy selesai, tubuh Hanifah bergetar kedinginan dan lengket karena es krim yang meleleh.

“Kamu keliatannya kedinginan!” ejek si Tomy sambil menyentil puting susu Hanifah yang mengeras kaku.

“Aku harus ngasihh kamu sesuatu yang anget.”

Tomy kemudian mendekati wajan untuk mengoreng hot dog yang ada di tengah ruangan. Hanifah melihat Tomy mendekat membawa beberapa buah sosis yang berasap.

“Jaaaangaann!” Hanifah berteriak ketika Tomy membuka bibir vaginanya dan memasukan satu sosis ke dalam vaginanya yang terasa dingin karena es tadi. Kemudian ia memasukan sosis yang kedua, dan ketiga.

Sosis yang keempat putus ketika akan dimasukan. Vagina Hanifah sekarang diisi oleh tiga buah sosis yang masih berasap. Hanifah menangis karena kesakitan akibat uap panas dari sosis tersebut.

“Keliatannya nikmat Nih….Ha..Ha…!” Tomy tertawa.

“Tapi Aku lebih suka bermain dengan mustard!” Kemudian Ia mengambil botol mustard dan menekan botol itu.

Cairan mustard langsung keluar menyemprot ke vagina Hanifah. Hanifah menangis terus, melihat dirinya disiksa dengan cara yang tak terbayangkan olehnya.

Sambil tertawa Tomy melanjutkan usahanya dengan menghancurkan isi toko itu. Hanifah berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Nafasnya sangat tersengal-sengal, ia tidak kuat menahan semua ini. Tubuh Hanifah bergerak lunglai jatuh.

“Hei!! Kamu kalo kerja jangan tidur!” bentak Tomy sambil menampar pipi Hanifah.

Kamu tau nggak, daerah sini nggak aman jadi perlu ada alarm.”

Hanifahpun meronta ketakutan melihat Tomy yang memegang dua buah jepitan buaya. Jepitan itu bergigi tajam dan jepitannya sangat keras sekali. Tomy segera mendekatkan satu jepitan ke puting susu kanan Hanifah, menekannya hingga terbuka dan melepaskannya hingga menutup kembali menjepit puting susu Hanifah.

Hanifah menjerit dan melolong kesakitan, gigi jepitan tadi menancap ke puting susunya. Kemudian Tomy juga menjepit puting susu yang ada di sebelah kiri. Air mata Hanifah bercucuran di pipi.

Kemudian Tomy mengikatkan kawat halus di kedua jepitan tadi, lalu mengulurnya dan kemudian mengikatnya ke pegangan pintu masuk. Ketika pintu itu didorong Tomy hingga membuka keluar, Hanifah merasa jepitan tadi tertarik oleh kawat, dan membuat buah dadanya tertarik dan ia menjerit kesakitan.

“Nah…..,Hmmm… udah jadi. sekarang pintu depan ini bisa buka ke dalem ama keluar, tapi bisa juga disetel cuma bisa dibuka dengan cara ditarik bukan didorong.

Jadi Aku sekarang pergi dulu, terus nanti Aku pasang biar pintu itu cuma bisa dibuka kalo ditarik. Nanti kalo ada orang dateng, pas dia dorong pintu kan nggak bisa, pasti dia coba buat narik tuh pintu, nah, pas narik itu alarmnya akan bunyi!”

“Jaaaaaangan! saya mohoon! Jangan! jangan! jangan! ampun!

Tomypun tidak peduli, ia keluar dan tidak lupa memasang kunci pada pintu itu hingga sekarang pintu tadi hanya bisa dibuka dengan ditarik. Hanifahpun menangis ketakutan, Dan puting susunya sudah hampir rata, dijepit.

Ia terlihat meronta-ronta berusaha melepaskan ikatan. Tubuh Hanifah berkeringat setelah berusaha melepaskan diri tanpa hasil. Beberapa saat kemudian terlihat sebuah bayangan di depan pintu, Hanifah melihat ternyata bayangan itu milik gelandangan yang sering lewat dan meminta-minta.

Gelandangan itu melihat tubuh Hanifah, telanjang dengan buah dada mengacung. Segera saja Gelandang itu mendorong pintu masuk. Pintu itu tidak terbuka. Si Gelandangan langsung meraih pegangan pintu dan mulai menariknya.

Hanifah langsung menjerit “Jangan! jangan! jangan buka! jangaann!”, tapi gelandangan tadi tetap menarik pintu, yang kemudian menarik kawat dan menarik jepitan yang ada di puting susunya.

Gigi-gigi yang sudah menancap di daging puting susunya tertarik, merobek puting susunya. Hanifah menjerit keras sekali sebelum jatuh di atas meja. Pingsan. Tapi Hanifah tersadar dan menjerit. Sekarang ia berdiri di depan meja kasir. Tangannya terikat ke atas di rangka besi meja kasir.

Dan kakinya juga terikat terbuka lebar pada kaki-kaki meja kasir. Ia merasa kesakitan. Puting susunya sekarang berwarna ungu, dan menjadi sangat sensitif. Udara dingin saja membuat puting susunya mengacung tegang.

Memar-memar menghiasi seluruh tubuhnya, mulai pinggang, dada dan pinggulnya. Hanifah merasakan sepasang tangan berusaha membuka belahan pantatnya dari belakang.

Sesuatu yang dingin dan keras berusaha masuk ke liang anusnya. Hanifah menoleh ke belakang, dan ia melihat gelandangan tadi berlutut di belakangnya sedang memegang sebuah botol bir.

“Ja…Jangan, ampun! Lepaskan saya pak! Saya sudah diperkosa dan dipukuli! Saya tidak tahan lagi.”

“Habisnya pantat Mbak kan belom diituin.” gelandangan itu berkata tidak jelas.

“Jangaaaaan!” Hanifah meronta, ketika penis si gelandangan tadi mulai berusaha masuk ke anusnya.

Setelah beberapa kali usaha, gelandangan tadi menyadari penisnya tidak bisa masuk ke dalam anusnya Hanifah. Lalu ia langsung berlutut lagi, mengambil sebuah botol bir dari rak dan mulai mendorong dan memutar-mutarnya masuk ke liang anus Hanifah.

Hanifah menjerit-jerit dan meronta-ronta ketika leher botol bir tadi mulai masuk dengan keadaan masih mempunyai tutup botol yang berpinggiran tajam. Liang anus Hanifah tersayat-sayat ketika gelandangan tadi memutar-mutar botol dengan harapan liang anus Hanifah bisa membesar.

Setelah beberapa Lama tiba-tiba gelandangan tadi mencabut botol tersebut. Tutup botol bir itu sudah dilapisi darah dari dalam anus Hanifah, tapi ia tidak peduli. Gelandang itu kembali berusaha memasukan penisnya ke dalam anus

Hanifah yang sekarang sudah membesar karena dimasuki botol bir. Gelandangan tadi mulai bergerak kesenangan, rasanya sudah lama sekali ia tidak meniduri perempuan, ia bergerak cepat dan keras sehingga Hanifah merasa dirinya akan terlepar ke depan setiap gelandangan tadi bergerak maju.

Hanifah terus menangis melihat dirinya disodomi oleh gelandangan yang mungkin membawa penyakit kelamin, tapi gelandangan tadi terus bergerak makin makin cepat, tangannya meremas buah dada Hanifah, membuat Hanifah menjerit karena puting susunya yang terluka ikut diremas dan dipilih-pilin.

Akhirnya dengan satu erangan, gelandang tadi orgasme, dan Hanifah merakan cairan hangat mengalir dalam anusnya, sampai gelandangan tadi jatuh terduduk lemas di belakang Hanifah.

“Makasih yaaa Mbak! Saya puas sekaliiiii! Makasih.” gelandangan tadi melepaskan ikatan Hanifah. Kemudian ia mendorong Hanifah duduk dan kembali mengikat tangan Hanifah ke belakang, kemudian mengikat kaki Hanifah erat-erat.

Kemudian tubuh Hanifah didorongnya ke bawah meja kasir hingga tidak terlihat dari luar. Sambi terus mengumam terima kasih Dan sigelandangan tadi berjalan sempoyongan sambil membawa beberapa botol bir keluar dari toko.

Hanifah terus saja menangis, merintih merasakan sperma gelandangan tadi mengalir keluar dari anusnya. Lama kemudian Hanifah jatuh pingsan karena kelelahan dan shock Berat. Dan tersadar ketika Ia ditemukan oleh rekan kerjanya yang masuk pukul 7 pagi.