Polisi Ramah
Perkenalkan, namaku Elsya, umurku 28 tahun. Orang mengatakan aku adalah janda kembang, selain karena parasku yang cantik, tubuh seksi, juga karena aku belum dikaruniai anak dari pernikahan dengan suami ku terdahulu yang hanya berumur 1,5 tahun.
Aku cerai ketika berumur 26 tahun, dikarenakan tidak tahan dengan perlakuan mantan suamiku yang kasar dan tidak perhatian. Tinggi tubuhku 168 cm, dengan ukuran buah dada yang serasi, dan bentuk yang masih sangat bagus serta kencang dan montok.
Mungkin karena aku rutin olahraga tiap minggunya, juga pola makan yang sehat. Aku bekerja sebagai pengusaha kue di suatu kota di Jawa Timur. Kali ini akan aku ceritakan kisah yang tidak akan aku lupakan sepanjang hidup. Langit semakin kelabu, mendung bergulung-gulung mulai memenuhi langit kota.
“Aku harus segera mencari tempat berteduh,” pikirku. Aku pacu motor maticku dengan tergesa sambil memperhatikan apabila ada tempat yang bisa dijadikan berteduh. Namun, sial bagiku, tak lama setelah itu hujan turun dengan lebatnya, membuat pakaianku basah tak tersisa.
Dan tentu saja membuat pakaian dalam yang aku kenakan saat itu tercetak dan terlihat jelas dari luar. Hujan turun begitu derasnya, petir menyambar nyambar, tak mungkin aku meneruskan perjalanan. Walaupun dengan pakaian yang sudah basah kuyup, aku tetap memutuskan untuk berteduh. Akhirnya aku menemukan tempat juga.
Di emperan toko yang sudah tutup itu aku istirahatkan tubuhku dari terpaan air hujan. Tidak ada siapa-siapa di situ, sambil menunggu hujan reda, aku periksa kembali isi jok sepeda motorku, barangkali ada lap bersih yang bisa aku gunakan untuk handuk.
Ahh, sial ternyata tidak ada satupun. Sambil meratapi hujan dalam kedinginan itu, aku dikagetkan oleh pengendara lain yang berteduh di tempat itu. Ternyata ia seorang polisi, tergambar dari seragam coklat yang ia kenakan. Mataku terus mengikuti laju motor yang ia gunakan, hingga terparkir dan dimatikan mesinnya oleh empunya.
Polisi tersebut segera melepas helmnya, orangnya sudah cukup berumur, tergambar dari beberapa uban yang terlihat di rambut cepaknya, kutaksir umurnya sekitar 40 an. Kumisnya tebal, dan di pipi dan janggutnya terdapat bekas cukuran brewok yang mulai tumbuh tipis.
Tatapannya ramah, sekilas mirip satu tokoh polisi yang kerap aku lihat di televisi. Ahh, namun aku lupa siapa namanya. Orangnya berwibawa, mungkin karena tubuhnya yang tinggi besar dan ditambah kumis tebalnya itu.
“Mbak, mbak.” Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Ternyata bapak polisi itu telah berdiri di hadapanku.
“Oh iya Pak, maaf-maafkan saya melamun.”
“Ikut berteduh juga ya mbak, saya tadi pulang kerja, kehujanan ditengah jalan, tidak sempat memakai mantel, katanya sambil mengelap air di tangannya.”
“Oh iya Pak, silahkan, saya juga berteduh kok di sini, tadi lupa tidak bawa mantel, hehehe,” Jawabku sekenanya.
Dari obrolan ngalor-ngidul kala menunggu hujan reda itulah aku mulai mengenal beliau, Namanya Pak Yazid, umurnya sekitar 44 tahun, beliau bekerja sebagai polisi.
Orangnya tinggi, mungkin sekitar 175 cm, badannya juga besar, masih bagus untuk orang seumuran beliau, ototnya tercetak pada bajunya yang basah saat itu. Perutnya sedang, tidak terlalu buncit. Tangannya berbulu lebat, semakin terlihat ketika terkena air hujan pada sore itu.
“Wah hujannya deras dik Elsya.” Sejak tahu namaku, beliau memanggil dengan sapaan dik, biar lebih akrab katanya.
“Iya nih pak, saya sudah hampir satu jam disini, tapi tidak reda-reda juga” Gerutuku. Obrolan kami semakin cair, dan sudah merembet pada hal-hal keluarga.
“Dik Elsya sudah menikah?” Tanya beliau dengan sopan.
“Sudah pak..” Jawabku.
“Wah, sudah punya anak berapa?”, sambungnya.
“Belum punya pak, saya sudah keburu cerai dengan mantan suami saya,”jawabku sambil bercanda.
Beliau agak terkejut. “Iya to? Wah..”
“Lha bapak sendiri bagaimana?”, sambungku. Beliau diam, dan mulai menatap hujan yang tidak habis-habisnya itu.
“Saya menikah pada saat umur 30 dik, dan sudah dikaruniai 1 putri, namun sayang. Putri saya meninggal saat masih kecil, istri saya pun menyusul 5 tahun setelahnya karena suatu penyakit, hmmmm”
“Maafkan saya ya Pak”, segera aku putus singkapan duka masalalu itu.
“Saya tidak bermaksud….”
“Ahh, tidak apa kok, santai saja dik.” Sambil wajahnya yang tampan, bersih, dan kebapakkan itu menoleh kearahku dengan bijaknya.
Akhirnya hujan mulai reda ketika hari sudah beranjak gelap. Ketika bersiap untuk pulang, Pak Yazid menegurku.
“Dik, mampir kerumah saya dulu yuk. Rumah dik Elsya kan masih jauh, masak mau pulang dengan pakaian basah begini?” Sambil tangannya memegang pundakku.
“Ah tidak apa-apa kok pak, biar saya pulang saja, takut merepotkan Bapak nantinya.”
“Ayolah, tidak ada siapa-siapa kok di rumah, pembantu saya juga sudah pulang sore begini. Bahaya lho naik motor dengan pakaian basah begini, bisa masuk angin. Nanti dik Elsya bisa pakai dulu baju almarhum istri saya.” Akhirnya saya mengiyakan juga, tidak enak menolak niat baik pak Yazid.
Setelah perjalanan yang tidak terlalu jauh. Sampailah pada suatu rumah yang cukup besar, dan bagus, halamannya luas dan asri. Rumah ini terletak agak jauh dari rumah sekitarnya, mungkin masih tergolong rumah yang baru selesai di bangun. Teriakan Pak Yazid dari garasinya membuyarkan lamunanku.
“Ayo masuk, ndak usah sungkan-sungkan,” Ajaknya dengan penuh semangat. Tanpa menjawabnya, aku segera memarkir kendaraanku di samping motor beliau.
Beliau terus mengajakku memasuki rumahnya yang rapi dan bersih. Lampunya telah menyala terang, mungkin ulah pembantunya yang sudah pulang ke rumahnya sendiri. Tidak ada foto kenangan keluarganya di situ, mungkin Pak Yazid tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan panjang.
“Ayo dik silakan masuk,” sambil beliau membukakan pintu sebuah kamar, dan menyilakan aku masuk ke dalam.
“Dulu ini adalah kamar saya dan alm. istri saya, tapi saya sudah pindah kamar. Silakan mandi dulu, dan pilih saja baju yang cocok, tidak usah sungkan ya.”
Beliau segera berlalu dan melangkah ke belakang. Mungkin mencari air minum ke dapur. Aku segera masuk ke kamar itu, dan mulai membersihkan diri karena hujan yang deras mengguyur tadi sore. Setelah segar, aku memakai baju alm. istri Pak Yazid yang ada di lemari itu.
Tidak banyak baju yang tersisa, mungkin sudah diberikan oleh beliau ke orang lain. Akhirnya aku mengenakan daster yang tidak terlalu tebal sambil aku lapisi dengan jaket untuk menahan dinginnya malam itu, sambil menyembunyikan puting susuku yang tercetak dengan jelas.
Aku memang tidak memakai BH dan celana dalam saat itu, apalagi jika bukan karena pakaian dalamku yang sudah basah karena hujan tadi sore. Hawa yang dingin itu semakin membuat tubuhku berdesir, puting susuku mengeras, hembusan angin pada selangkanganpun turut memberi kenikmatan tersendiri.
Aku segera terbangun dari pikiran mesum itu ketika aku dengar kecipak air timbul dengan derasnya dari kamar sebelah. Mungkin pak Yazid yang sedang mandi, pikirku. Akhirnya aku keluar ke kamar tamu dan menyalakan TV untuk menghibur diri.
Sementara di luar justru hujan turun lagi, dengan tidak kalah derasnya. Aduh, aku mulai bingung bagaimana cara pulang nanti. Pikiranku buyar ketika pak Yazid datang dan duduk di kursi depanku. Sambil metetakkan teh hangat beliau mengatakan,
“Sudah nginep saja barang semalam disini. Lagi pula besok kan hari minggu to?, libur. Apalagi hujannya deras banget lo dik Elsya, Saya ndak tega membiarkan dik Elsya pulang dalam keadaan hujan begini.”
Aku diam tak menjawab, hanya pikiran ini yang bingung memilih. Memilih nekat pulang apa menerima tawaran Pak Yazid. Apalagi aku juga takut pulang malam-malam, hujan deras lagi. Akhirnya aku memutuskan,
“Baik pak saya mohon izin nginap disini saja Pak, barang semalam, mohon maaf merepotkan bapak.”
“Alah, tidak apa-apa kok, saya malah senang kalau ada yang menemani begini. Hahaha.”
Aku baru sadar, ternyata beliau datang tadi dengan telanjang dada, hanya mengenakan sarung yang sudah longgar ikatannya. Ketika beliau sedang asik menonton TV, aku beranikan memandangnya lagi. Benar dugaanku, ternyata dada Pak Yazid juga berbulu lebat.
Tergambar dari bulu-bulu ditangan nya yang lebat itu. Puting susunya berwarna coklat tua dan tampak kokoh di antara belukar bulu dadanya yang bagus itu. Bulunya ibarat barisan, dari rambutnya, kumisnya yang tebal dan kelihatan kasar, brewoknya, hingga menerus ke dadanya.
Dan akhirnya menerus ke bawah melalui tengah tubuhnya, pusarnya, dan menghilang di balik lipatan sarung nya itu. Ahh, pikiranku semakin tidak karuan, apalagi sudah 2 tahun ini kebutuhan biologis ku tidak terpenuhi. Aku merasa gatal di vagina ku. Mungkin juga karena suasana yang bertambah dingin itu.
“Dik Elsya bisa mijit?”, Pertanyaan Pak Yazid membangunkan dari lamunan.
“Bbbisa Pak?”
“Wah, mantep itu, ayo kita pijit-pijitan. Biar nggak masuk angin. Badan saya juga capek, kerja berat seminggu ini”, sambungnya.
Akhirnya saya yang memijat Pak Yazid dahulu, baru kemudian gantian beliau nantinya. Beliau menggelar karpet di depan TV sambil mengambil bantal dari dalam kamar.
“Ayo dik Elsya!”
“Baik Pak”. Beliau rebahkan tubuhnya yang bersih berwarna kuning ke coklatan itu di karpet yang sudah di siapkan. Aku mulai mengurut bagian kakinya terlebih dahulu, sambil aku lumuri dengan minyak pijat. Benar dugaanku, kakinya juga berbulu lebat dan keriting. Pijatanku terus naik pada paha beliau.
Aku lihat beliau sudah tertidur, mungkin karena kecapekan dan pijatanku yang memang nyaman. Tak sengaja sarung beliau tersingkap oleh tanganku. Betapa kagetnya aku, ternyata beliau tidak memakai celana dalam.
Nampaknya belahan pantatnya yang seksi dan berbulu itu. Aku coba tahan pikiran ini agar tak macam-macam. Akhirnya aku selesai memijat bagian belakang dari tubuh liat dan kokoh Pak Yazid.
“Pak, bangun Pak, bagian depannya belum”. Aku bangunkan beliau. Beliau mengubah posisinya menjadi telentang, tanpa sedikitpun membenahi posisi sarungnya. Akupun dapat melihat barisan bulu kemaluan yang menghilang di balik gulungan sarung yang sudah longgar itu.
Sejatinya akupun merangsang melihat tubuh laki-laki gagah dan tampan didepanku itu, apalagi bulu dada dan putingnya yang begitu menggairahkan. Tubuhnya bagus, dan kencang.
Buah dari latihan dan orahraga teratur pikirku. Akupun mulai penasaran tentang penis Pak Yazid, namun aku tak berani meneruskannya. Aku masih menguasai pikiran jernihku.
Dalam keadaan selangkangan yang mulai basah karena terangsang mengamati tubuh Pak Yazid. Aku berkonsentrasi memijat bagian depan tubuhnya itu. Aku mulai dari kepalanya, aku pijat pelan-pelan agar tidak membangunkan beliau. Sesekali aku mengagumi dan kuberanikan membelai kumis yang begitu tebal dan indah itu.
Pijatanku terus berpindah ke bawah, ke kedua tangan beliau yang kekar, dan sampailah di dadanya yang berbulu itu. Sambil memijat, aku bernaikan menekan dan memilin puting susu menggemaskan Pak Yazid. Beliau tidak terbangun, hanya sesekali mengeluh keenakan.
Aku segera berpindah ke bawah. Tak kusangka penis Pak Yazid telah bangun, menantang dan membuat cetakan tegak pada sarungnya. Aku hanya berani memandangnya dan memijat bagian paha dan kakinya saja.
Sambil sesekali mencuri pandang, dan memerkirakan seberapa besar dan panjang senjata milik Pak Polisi ini. Aku telah selesai dari pijatanku, sambil berlalu melangkah ke kamarku. Aku tidak enak membangunkan Pak Yazid dan menagih janji pijatannya.
Akhirnya aku tinggalkan beliau tertidur di kamar tamu. Sambil menyelimuti beliau karena udara yang amat dingin malam itu, aku matikan TV dan melangkah ke kamar yang telah dipersiapkan untukku untuk tidur.
Aku berusaha untuk tidur cepat malam itu, agar pikiran tentang Pak Yazid itu tidak keterusan. Ahh, namun apa daya, tuntutan kehausan akan belaian laki-laki terus mendesakku untuk terus membayangkan Pak Yazid, bahkan hingga dalam tidurku.
Tentang sosoknya yang kebapak-bapak an, kumis tebalnya, bulu dadanya yang lebat, puting sususnya yang indah, tubuhnya yang bagus, liat, tidak terlalu kekar, sedang-sedang saja. Dan tentang penisnya yang terbayang dalam cetakan sarung itu.
Aku terbangun pagi itu dengan perasaan terkejut, selimut yang aku pakaikan untuk menutupi tubuh Pak Yazid semalam kenapa menutupi tubuhku. Ketika aku membuka selimut, daster belahan dada rendah yang kupakai pun tersingkap hingga menampakkan salah satu payudaraku. Jangan-jangan semalam Pak Yazid?
Pikiran macam-macam itu mulai merasuki pikiranku. Ataukah aku sendiri yang bermasturbasi hingga membuat ini semua terjadi?
Apakah Pak Yazid melihat semua ini?
Deretan pertanyaan itu memenuhi pikiranku, hingga aku memutuskan untuk berganti pakaian dengan pakaianku sendiri yang sudah lumayan kering karena terpaan dari kipas angin semalaman.
Akupun bersiap untuk pamit pulang kepada beliau. Aku panggili Pak Yazid, namun tak ada jawaban. Hingga aku melihat beliau sedang olahraga ringan di samping rumah. Dengan kaos basah yang diletakkannya di atas tanaman hias di pekarangan.
Cukup lama aku mengamati tingkah polah beliau selama berolahraga itu. Tubuhnya berkilau keringat terkena terpaan matahari pagi, tubuhnya terlihat lebih menggairahkan dengan keringat yang membasahi tubuhnya itu.
Bulu-bulu dadanya tampak lebih jelas, putingnya begitu menantang. Celana pendeknya pun sudah basah di beberapa bagian. Akhirnya beliau sadar aku memerhatikannya.
“Oh dik Elsya, sudah bangun ya? Tadi saya baru lari pagi, mau ngajak dik Elsya tapi masih tidur, ndak enak ngebangunin, haha.”
Sebenarnya aku ingin menanyakan perihal kondisi tubuhku semalam, apakah beliau melihat payudaraku yang tersingkap. Namun aku terlalu sungkan, aku putuskan untuk langsung pamit kepada beliau, dengan alasan ada pekerjaan yang harus segera ku selesaikan.
Akhirnya aku pulang dari rumah beliau dengan perasaan yang campur aduk, antara sangat berterimakasih, hingga kagum atas kebaikan dan perhatian beliau.
*****
Selepas pertemuanku dengan Pak Polisi Yazid tempo hari, sampai menginap di rumah beliau segala. Entah kenapa aku menjadi lebih sering bertemu dengan beliau. Baik itu karena alasan pekerjaan, yang beliau memesan kue untuk hadiah pernikahan koleganya, hingga aku yang kebetulan bertemu di jalan, atau beliau yang sengaja main ke rumahku.
Karena seringnya bertemu, dan merasa banyak kenyamanan ketika bertemu. Akhirnya aku menerima lamaran Pak Yazid untuk menjadi istrinya. Meskipun usia kami terpaut 10 tahun lebih, tapi kami saling mencintai.
Dan aku sangat bersyukur dipertemukan dengan beliau. Dengan sifat kebapak-bapakannya, wibawanya, kelembutannya, dan kumis dan bulunya yang begitu terbayang setiap malam.
*****
Akhirnya, malam yang sama-sama kami nantikan itu datang juga, selepas capek melayani tamu-tamu undangan kamipun memutuskan untuk istirahat dulu sore harinya, menghimpun tenaga untuk malam yang istimewa pada malamnya.
Semenjak hari pernikahan aku tinggal di rumah suamiku yang baru, Pak Yazid, hanya berdua dengannya. Aku terbangun dari tidurku, mendapati hari sudah mulai senja, sinar matahari yang teduh menerobos melewati jendela kamar kami. Disampingku masih tertidur Pak Yazid, dengan mengenakan kaos singlet dan celana pendek.
Leave a Reply