Suku Minahasa yang Demokratis
Aku terpaksa berpisah dengan keluargaku setelah harus menerima tugas jauh. Istriku di Medan dan aku dipindahkan untuk mengepalai cabang perusahaan di Sulut. Aku tadinya berat juga menerima penugasan ini, tetapi, tidak ada pilihan lain, karena ini adalah promosi dan pada waktu awal penerimaan dulu sudah menandatangani perjanjian yang menyatakan siap ditempatkan di mana pun di Indonesia.
Aku hanya bisa pulang ke rumah istri 6 bulan sekali. Itu pun tidak bisa berlama-lama, karena waktu cutiku terbatas dan jarak tempuh Medan Manado,sangat jauh dan sangat mahal.
Itulah yang melatar belakangi mengapa aku tinggal sendiri di kota yang terkenal memiliki gudang cewek-cewek cantik. Aku dikontrakkan rumah oleh perusahaan sebuah rumah yang cukup bagus dan ukurannya lumayan besar dengan 3 kamar.
Sebetulnya rumah ini terlalu besar, tetapi tidak ada pilihan, karena rumah itu sudah disiapkan untuk kepala cabang. Rumah lengkap dengan furniture dan peralatan dapur membuat aku hanya cukup membawa baju saja.
Awalnya semua kuurus sendiri dari mencuci baju dengan mesin cuci, membuat minuman kopi atau the sendiri dan sarapan sendiri. Kadang-kadang kalau ada waktu membersihkan rumah. Mungkin seminggu sekali baru aku pel, dan 2 hari sekali disapu.
Namun sejalan dengan pekerjaan yang makin banyak, waktu luangku makin tidak banyak untuk leha-leha di rumah. Rasanya aku memerlukan pembantu.
Dari berbagai orang yang kuanggap punya akses untuk mendapatkan pembantu aku sebar soal keinginanku mencari pembantu. Agak susah juga di Manado mencari pembantu, paling tidak lebih susah dari mencari pembantu di Medan.
Ada beberapa pembantu yang disodorkan, tetapi tidak sesuai dengan sregnya hatiku, ada yang terlalu tua, ada yang bermasalah dengan keluarganya dan macam-macam. Akhirnya ada yang menyodorkan aku pembantu lagi.
Awalnya agak ragu juga menerima pembantu ini, karena dia sebenarnya tidak terlalu pantas jadi pembantu, selain terlalu muda, untuk ukuran kualitas dia juga terlalu bagus. Anak ini baru berumur antara 15 – 16 tahun dari kampung di daerah Tondano.
Dia belum bekerja tetapi sudah terbiasa mengurus rumah membantu ibunya yang janda. Bersekolah hanya sampai kelas 2 SMP karena tidak ada biaya jadi drop out. Dia diantar sendiri oleh ibunya dan sangat berharap agar aku mau menerimanya bekerja.
Sebetulnya agak ragu juga menerima pembantu seperti ini, tetapi melihat ibunya mengiba-iba, karena dia berharap hasil anaknya bekerja bisa menopang kehidupannya yang makin sulit, akhirnya aku mau juga menerimanya.
Pembantuku yang masih muda ini bernama Ellsa. Pada hari-hari pertama dia kuajari bagaimana menggunakan mesin cuci, membuat masakan sederhana, menggunakan microwave dan tentunya menyalakan TV.
Sampai sebulan semua berjalan lancar dan Ellsa adalah anak yang rajin. Rumahku jadi terawat dan bersih. Kami hanya tinggal berdua di rumah itu. Aku pada mulanya sangat menjaga agar tidak terjadi skandal dengan pembantu. Oleh karena itu, jika dorongan birahi sedang tinggi, aku melampiaskannya di luar.
Ellsa mungkin kehidupannya di kampung terlalu sederhana, kalau tidak mau dikatakan miskin. Dia datang hanya dengan 2 pasang baju yang sudah agak lusuh. Aku mengetahuinya karena baju yang dia pakai hanya itu-itu saja.
Tidak tega juga aku melihatnya, maka aku dengan senang hati membawanya ke departement store untuk membelikan dia baju beberapa pasang, terutama baju untuk bekerja di rumah dan 2 stel untuk baju jika dia ingin jalan keluar.
Setelah 3 bulan Ellsa makin kelihatan bersih dan terawat. Mungkin juga karena bajunya sekarang sudah lumayan banyak dan bagus-bagus. Ellsa menganggapku seperti saudaranya, makanya dia memanggilku Oom. Panggilan itu memang lumrah di Sulut.
Mungkin ada pengaruhnya juga antara panggilan Oom, tuan dan Pak, Kalau panggilan tuan , terasa sekali lebar kesenjangan antara majikan dan bawahan, panggilan pak juga masih terasa jarak antara atasan dengan pesuruh, tetapi kalau panggilan Oom rasanya ya seperti dengan keponakan.
Nyatanya memang Ellsa meski dia bekerja seperti pembantu, tetapi jarak antara aku dengan dia tidak terlalu jauh. Mungkin juga kebiasaan pergaulan suku Minahasa yang demokratis membuat batasan antara majikan dengan pekerja tidak terlalu jauh.
Jadi Sikap Ellsa makin lama memang makin akrab. Orang melihat hubungan kami seperti hubungan Oom dengan keponakannya. Akupun lama-lama merasa begitu.
Kami jadi makin lama makin akrab. Misalnya kalau menonton TV dia tanpa segan-segan duduk disampingku melipat kaki dan memeluk bantal kursi. Malah kalau chanelnya aku pindah ke siaran berita dia protes. Ada pembawaan manja yang kadang-kadang tidak kuat juga aku menghadapinya. Rasanya ingin sekali aku peluk lalu aku ciumi
Hidup berdua dengan Ellsa makin lama bukan makin ringan, tetapi makin berat. Sebabnya, Ellsa makin terlihat cantik. Dia sudah seperti gadis kota dengan dandanannya.
Meski begitu dia tidak pernah lalai melakukan tugas rutinnya mengurus rumahku. Entah karena hanya bedua saja di rumah ini, lama-lama Ellsa terlihat makin cantik saja. Tetapi hatiku selalu mengingatkan bahwa dia adalah pembantuku.
Kadang-kadang aku suka tergoda juga karena Ellsa lama-lama makin manja. Dia benar-benar bagai keponakanku. Jika ada apa-apa yang dibutuhkan dia tidak segan-segan memintaku. Aku pun selalu menurutinya, karena Ellsa sangat jujur soal uang.
Aku akhirnya memang memberinya gaji agak diatas rata-rata gaji pembantu di Manado. Setiap bulan seluruh gajinya diambil oleh ibunya yang rutin datang kerumah. Oleh karena itu aku sering memberinya tips kalau dia berbelanja.
Mungkin uang tip itu yang dikumpulkan untuk membeli kebutuhan pribadinya. Aku memang tidak lagi membelikannya baju dan perlengkapan pribadinya lagi. Tetapi kuperhatikan dia makin banyak memiliki koleksi baju-bajunya. Badannya pun sekarang terasa aroma wangi body lotion.
Berat juga rasanya hidup berdua dengan Ellsa, yang sekarang sudah berubah wujud menjadi gadis belia yang cantik. Sejujurnya aku ingin memberhentikan dia, agar tidak sampai aku silaf dan membuat skandal dengan dia. Namun aku tidak punya alasan untuk memecatnya.
Kerjanya bagus, jujur dan rajin serta sering punya inisiatif. Apalagi kalau mengingat orang tuanya yang dulu mengiba-iba agar anaknya diterima bekerja. Disampng itu jika dia ku berhentikan, bagaimana nasib kehidupannya selanjutnya. Bisa saja keluarga mereka terpuruk lagi.
Aku sudah tidak ada jarak lagi dengan Ellsa. Makan kami semeja dan nonton TV di ruang tengah juga duduk di sofa yang sama. Di kamarku memang juga ada TV, tetapi mengurung diri di kamar rasanya sumpek juga. Meskipun jika nonton TV di ruang tengah aku terpaksa harus mengikuti saluran acara sinteron yang kurang aku senangi.
Setelah 6 bulan Ellsa bekerja di rumahku dia sekarang ada kemajuan. Jika aku pulang selain dibuatkan kopi atau teh, kaus kakiku dibantu dibukai. Kalau aku duduk di sofa pundakku sering dipijat-pijat. Diperlakukan begini mana mungkin aku menolak, ya kunikmati saja.
Tapi sejauh ini aku sangat menjaga diri agar tidak bersikap kurang ajar atau mengarahkan pembicaraan yang vulgar-vulgar. Aku sering kali menegang (maksudku yang dibawah ini) karena Ellsa sering kali pula dengan bebasnya keluar kamar mandi dengan berbalut handuk saja.
Dia sudah kutegor agar membawa baju ganti ke kamar mandi, sehingga tidak perlu berkemben handuk keluar dari kamar mandi. Dia selalu beralasan sering lupa. Melihat tubuhnya yang berbalut handuk, membuat air liurku hampir meleleh keluar. Pahanya putih dan belahan susunya kelihatan sedikit.
Selain itu dia sering tidak mengenakan BH dan mengenakan kaus dirumah yang berwarna muda atau putih. Pentil teteknya jadi terlihat mencuat dibalik kaus itu. Jika kutegur, dia selalu beralasan, panas dan kurang bebas bergerak jika pakai BH.
Dia merasa tidak perlu malu dengan aku, karena aku dianggap sebagai Oomnya. Seharusnya dia kutegor dengan kata-kata bahwa aku bisa terangsang dan silaf menerkamnya jika dia berpenampilan begitu. Tapi aku tidak sampai hati ngomong begitu. Karena sebenarnya aku pun suka menikmati guncangan susunya yang tidak pakai bh itu.
Celana pendeknya juga rasaku kok makin pendek saja, sehingga pahanya yang putih mulus jadi makin terekspos. Dia pun menyenangi kaus yang kurang bahan sehingga perutnya dan pusernya terlihat.
Makin lama cobaan di rumah ku sendiri makin berat. Kelihatannya gadis-gadis ABG di kota ini memang suka begitu. Jadi mungkin saja Ellsa terbawa model-model abg di sini. Itu pikiran positifku untuk menghalau dugaan negatif yang berpikir bahwa Ellsa sengaja memancing kelaki-lakianku.
Dari sekedar memijat pundakku, beberapa kali aku juga minta diinjak-injak punggungku. Badannya tidak terlalu berat sekitar 43 kg, jadi rasanya pas untuk menekan pungungku yang pegal karena terlalu banyak duduk.
Berapa lama aku bisa bertahan. Sekarang sudah 6 bulan kami hidup hanya berdua saja di rumah ini. Aku tidak berani memulai, mengingat besarnya risiko yang harus kutanggung. Aku membayangkan kalau aku sampai menggauli Ellsa, kalau dia tidak terima, dan melaporkan ke polisi, atau ke orang tuanya, habislah aku.
Bukan hanya masuk penjara, tetapi aku akan kehilangan pekerjaan. Seandainya pun kami melakukan suka sama suka, berapa lama aib itu bisa aku simpan sampai akhirnya terbongkar. Kalau terbongkar, akibatnya juga sama saja, aku bisa dipermalukan di kantor apalagi kabar itu sampai ke keluargaku di Medan, tidak terbayangkan malunya.
Ketakutan itulah yang selama ini menghalangi nafsuku untuk menerkam Ellsa. Namun dibalik itu, aku juga bertanya dalam diri sendiri sampai berapa lama bisa bertahan. Sebab kehadiran Ellsa makin lama makin menggoda. Apalagi kalau kami di rumah berdua dan hujan petir, membuat suasananya seperti mendorong aku untuk ngeloni dia.
Suatu hari saat aku pulang kerja kudapati rumah sepi, tidak ada suara TV, tidak ada suara apa-apa. Ellsa juga tidak terlihat. Kupanggil-panggil namanya. Dia menyahut dengan suara seperti orang sakit. Aku menghampiri ke kamarnya. Kamar Ellsa bersebelahan dengan kamarku.
Ellsa di kamar sedang merintih-rintih memegangi perutnya. Dia merasa maagnya perih sekali. Menurut dia, sudah sempat muntah dua kali ke kamar mandi.
Aku punya pengalaman seperti dia dulu. Sekarang sudah tidak pernah kambuh lagi. Aku lalu bergegas ke dapur membuat air panas dan kumasukkan ke dalam botol. Aku juga membawa obat gosok. Botol panas jika digosokkan ke perut, agak mengurangi rasa sakit, meski tidak mengobati, dan juga obat gosok yang hangat ikut membantu mengurangi rasa sakit.
Tanpa ragu aku menggosokkan botol hangat ke perutnya dengan mengangkat baju kausnya. Mulanya aku mengangkat sebatas sampai tidak terlihat teteknya. Ellsa pasrah dan botol panasku agak mengurangi rasa sakitnya.
Namun aku tahu bahwa rasa sakit maag itu terasa berpusat di bagian ulu hati, jika botol hangat di ditempelkan di bagian itu akan sangat mengurangi rasa sakit. Namun bagian itu masih tertutup kaus yang tergulung ke atas. Aku mencoba menyusupkan botol ke bagian itu, tetapi karena kausnya terlalu ketat, maka agak sulit.
Ellsa mengetahui maksudku, sehingga dia membantu menyingsingkan kausnya lebih tinggi. Akibatnya menyembullah tetek yang ranum, menggembung dengan pentil mencuat kecil. Aku terkesiap melihat pemandangan itu, tetapi mencoba bersikap biasa saja.
Botol panas kutempelkan ke bagian ulu hati. Cukup lama aku menempatkan botol itu di bagian ulu hatinya, sampai rasa hangatnya hilang. Ellsa agak terobati juga karena rasa sakitnya jauh berkurang. Aku lalu menggosok bagian perutnya dengan minyak gosok yang hangat.
Ellsa kelihatannya tidak peduli buah dadanya terlihat olehku. Mungkin karena rasa sakitnya yang demikian hebat, sehingga terlena atau memang dia tidak perlu merasa malu terhadapku. Entahlah yang mana yang benar. Tetapi hari ini aku puas memandang kedua teteknya yang mengkal dan kenyal.
Aku menyarankan agar seluruh badannya sampai ke bagian belakang dilaburi oleh minyak gosok, biar terasa hangat dan mengurangi rasa sakit. Ellsa menyetujui. Untuk melaburi aku sarankan dia membuka kausnya. Ellsa bangkit dari rebahnya lalu membuka langsung kausnya.
Sambil dia duduk aku melaburi minyak gosok ke seluruh badannya, kecuali kedua putting susunya. Bongkahan susunya sempat juga aku senggol dan memang terasa sangat kenyal.
Setelah dia mengenakan kausnya dia merasa masih ada rasa perih sedikit di lambung. Dari pengalamanku, aku tahu bagian mana yang diterapi untuk mengurangi rasa sakitnya. Aku mengambil salah satu tangannya dan kutekan-tekan antara jari telunjuk dengan jempol. Dengan tekanan ringan saja, Ellsa sudah menjerit kesakitan. “ Sakit sekali oom,” katanya.
“ Tahanlah sedikit, lebih baik kamu merasa sakit di tangan, dari pada sakit di perut,” kataku.
Ellsa meringis-meringis kesakitan dan dia berusaha menahan rasa pedih akibat bagian telapak tangannya aku tekan-tekan. Aku melakukan bergantian terhadap tangan kiri dan kanan. “ Kalau mau bersendawa jangan ditahan bahkan kalau terasa mau kentut, lepas saja jangan malu-malu.
Sekitar 10 menit aku tekan-tekan tangannya, dia merasa rasa sakit di ulu hatinya jauh berkurang. Ellsa bersendawa berkali-kali mengeluarkan gas yang terjebak di dalam lambungnya. “ Oom maaf ya saya mau kentut,” kata Ellsa lalu memiringkan duduknya dan terdengar suara kentutnya yang cukup jelas.
Dia sempat 2 kali buang angin lewat bawah. Setelah itu dia merasa rasa sakit di ulu hatinya sudah reda sama sekali. Aku membaringkan Ellsa dan kututup selimut bagian perutnya. Malam itu aku menyiapkan makanan sendiri, lalu menyaksikan tayangan televisi sendiri.
Leave a Reply