Sisi Gelap Pondok Pesantren
Perkenalkan namaku Charita (bukan nama sebenarnya) dan kejadian ini terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku masih berumur 19 tahun. Masih terpatri dengan jelas dalam ingatanku semua yang terjadi saat itu yang membuat diriku seperti ini sekarang. Jujur saja, aku berasal dari keluarga yang mengenal agama.
Orangtuaku, terlebih ayah ku, sering sekali diundang untuk menjadi pembicara dalam kajian-kajian di daerahku di Ciamis. Ibuku pun hari-hari selalu menutup rapat auratnya tiap kali keluar rumah dan juga cadar selalu menutupi wajah putih cantiknya yang saat itu masih berumur 35 tahun, sementara ayahku sendiri lebih tua 8 tahun.
Aku adalah anak semata wayang. Hidupku sehari-hari biasa saja seperti anak-anak lainnya. Namun semua itu mulai berubah ketika virus itu datang. Ya, virus pink, virus yang pasti menghinggapi setiap anak muda.
Saat itu aku berumur 15 tahun dan duduk di bangku kelas 9 MTS. Awalnya aku tak terlalu peduli dengan keadaan sekitarku. Layaknya anak perempuan seumuran itu pastilah pergaulannya dengan teman-teman sesama perempuan.
Tapi ada seorang siswa laki-laki yang entah kenapa selalu mencoba mencuri perhatianku. Padahal fisikku biasa saja tak ada bedanya dengan rata-rata fisik perempuan jawa barat. Kulit putih, tinggi standar anak SMP akhir, cantik juga standar saja menurutku. Terlebih lagi aku termasuk cuek dengan para siswa laki-laki di kelas maupun sekolahku.
Ayahku sering berpesan padaku agar selalu menjaga diri dari lelaki, termasuk membatasi komunikasi. Kemudian jika sudah waktu pulang sekolah, aku tidak boleh kemana-mana dan hanya boleh menunggu di sekolah. Pernah kejadian aku harus menunggu selama lebih dari 1 jam karena motor ayahku bocor dalam perjalanan.
“Ehh.. Sa.. Charita.. pinjem tipe-X mu dong.. ehh mintak.. ahaha..”, celetuk seorang siswa lelaki dari meja sebelah.
“Ngapain pinjem? Tuh kamu punya sendiri..”, jawabku singkat sambil sibuk menyalin tulisan di papan tulis.
“Yaaahh.. punyaku habis nih Sa.. tuhh liatt..”, jawab siswa lelaki tadi sambil menunjukkan tipe-x nya yang memang habis.
“Halah Sann.. Sann.. nih..”, jawabku ketus sambil melemparkan tipe-x ke Ahsan.
Ya dia adalah Ahsan. Seorang siswa lelaki di kelasku. Tak ada yang spesial dari fisiknya atau kemampuan akdemisnya. Bahkan kalau bisa kubilang aku dan Ahsan ini mirip banget kayak zebra-cross. Aku yang putih, dia yang hitam.
Tapi entah kenapa hatiku berkata lain setelah beberapa bulan setelahnya. Ada saja cara dia untuk menarik perhatianku padahal aku selalu cuek. Bahkan pernah ia dengan sengaja menaruh bunga beberapa tangkai di atas tasku saat aku tengah keluar untuk buang air.
Sontak saja seluruh kelas menjadi riuh ramai saat aku kembali. Tak hanya karena tingkah Ahsan yang meletakkan bunga, tapi juga yang tiba-tiba dia menembakku untuk jadi pacarnya.
Seluruh mukaku merah karena malu. Semua teman-teman sekelas bersorak dan memaksaku untuk menerimanya. Yaah karena sudah terlanjur malu, aku pun tak bisa berkutik dan berakhir dengan mengangguk kecil. Bukannya reda, malah seluruh kelas semakin heboh lagi bersorak-sorai hingga menyebabkan beberapa guruu yang ada datang.
“Aaahh.. Bahagia banget loh aku say..”, kata Ahsan sambil merapikan buku-buku pelajarannya.
“Hah? Kenapa?? Kok bisa..?? Lagian ngapain panggil say gitu!?”, tanyaku ketus karena masih kesal dengan apa yang ia lakukan tadi.
“Yaah kan kita udah resmi pacaran.. jadinya wajar dong kalo aku panggil sayang gitu..??”, balas Ahsan.
Kata-kata Ahsan itu ibarat halilintar yang menghujam kuat di hatiku. Aku baru ingat dan tersadar akan apa yang ku lakukan sebelumnya. Kebingungan melanda diriku, apakah aku harus benar-benar menerima kenyataan ini, ataukah aku harus bersandiwara saja. Aku pun memutuskan untuk menerima kenyataan yang terjadi, tapi tetap aku menjaga sifatku yang selalu cuek pada lelaki.
Meski status kami dikenal sudah menjadi sepasang kekasih, tapi tetap saja aku selalu mencari alasan untuk menghindari Ahsan. Kadang alasan sibuk lah, ada acara keluarga, udah ditunggu orang tua, ada acara kampung, dll. Apapun yang bisa kujadikan alasan akan kugunakan untuk tetap menjaga jarak dengannya.
“Sa.. kamu tega kayak gitu sama Ahsan?? Dia itu serius lhoo..”, celetuk salah seorang teman perempuanku di kelas.
“Tega dong.. kan dia aja yang ngerasa gitu.. aku sih biasa-biasa aja..”, jawabku santai.
“Ya Allah Charitaa.. kalo emang gak suka.. bilang dong.. jangan maenin perasaan orang gituu..”, timpalnya.
Selama beberapa hari aku memikirkan benar kata-kata temanku itu. Mungkin saja aku terlalu jahat pada Ahsan. Mungkin sebaiknya aku menyudahi hubungan ini meski baru berjalan beberapa minggu saja. Dan hal baru seperti itu yang membuatku hampir tak bisa tidur hari-hari.
“Umi.. nanya dong..”, kataku sambil menikmati makanan.
“Hem?? Gak biasanya nih kamu nannya.. mau nannya apa??”, jawab umiku yang sedang menyiapkan makanan.
“Mmmm.. Cinta tuh apa sih??”, tanyaku polos.
“Ppfftt.. Ahahaha.. anakku udah nanya tentang cinta sekarang.. kenapa? Lagi kasmaran yaaa..??”, jawab umi ku menggodaku.
“Bukan sih mi.. yaa penasaran ajaa.. iihh.. kasih tau laahh..”, jawabku agak kesal ke umi.
“Apaa yaaa.. Bingung juga umi jelasin.. intinya tuh kayak rasaaa.. yaahh.. gak pengen kehilangan aja.. Cuma kalo jelasinnya.. umi aja bingung..”, jawab Umi.
“isshhh.. ngomong aja gamau cerita.. huh..”, jawabku agak kesal.
“Lohh.. Lohh.. kok malah ngambek?? Umi aja cinta sama abi mu gak perlu penjelasan kok.. cukup dirasakan aja dan dibuktikan.. gituuhhh..”, lanjut umi.
“Yaaa.. paling nggak kan umi bisa kasih kisi-kisi dikit gituuu.. kan umi lebih pengalaman..”, jawabku.
“Yaa mau gimana?? Buat umi itu tuh.. ehh bentar.. kok anak Umi jadi pengen tau banget sih?? Biasanya kamu tuh paling males ngobrol ga penting lama-lama gitu..??”, tanya Umi yang mulai penasaran.
“Ahh.. Ngga jadi deh..”, kataku yang kemudian melanjutkan makan sementara umi melihatku dengan keheranan.
Kemudian hari-hari ku berlanjut seperti biasa dengan aku yang terus berusaha menolak setiap ajakan Ahsan. Hingga suatu ketika aku benar-benar lupa untuk bawa uang saku, sehingga aku tak bisa menolak ajakan makan siang dari Ahsan karena sangat lapar.
“Udah sayaang.. santai aja.. nanti aku yang bayar kok..”, ujar Ahsan sambil memesan makanan di kantin sekolah.
“Eehh.. nggakk.. nanti aku ganti yah..”, jawabku yang merasa tak enak dengan Ahsan.
“Apasih..?? Udah makan dulu.. itu pikir nanti aja.. sayang mau makan apa..??”, tanya Ahsan yang terdengar tulus.
“Mmm.. apa aja yang murah..”, kataku sambil menahan malu.
“Ohhh.. yaudah.. Ambuu..!! Pesan ayam bakar dua ya.. sama es teh manis dua..”, ujar Ahsan.
Mendengar apa yang dipesan Ahsan membuatku semakin merasa bersalah, bukan hanya karena harga ayam bakar yang termasuk mahal di kantin, tapi juga sikapku yang selama ini selalu acuh pada Ahsan. Akhirnya kami pun duduk di meja makan sambil berhadapan. Meski tak banyak yang makan dikantin karena kebanyakan siswa sudah pulang, tapi tetap saja ada beberapa siswa yang memang sengaja ‘ngecengin’ aku dan Ahsan disana.
“Ehemm.. Ehemm.. Kayaknya ada yang lagi asik nihh.. mana belom ada pajak jadiaann..”, celetuk salah seorang siswa.
“Ahahah.. sabar lah.. doain aja gampang rejeki.. ntar aku traktir.. “, timpal Ahsan mencoba membalas kata-kata siswa itu.
Yah sudah jadi konsekuensi ketika kita membuat ‘sensasi’ di lingkungan sekolah. Sebenarnya aku sudah memprediksi akan terjadi hal-hal seperti ini, maka dari itu aku bersikap cuek pada Ahsan. Tapi siang itu, rasa lapar membuatku tak punya banyak pilihan. Aku pun terpaksa menahan malu karena terus-menerus menjadi bahan pembicaraan di kantin. Bahkan teman-teman sekelasku yang perempuan pun sama saja.
“Ahahah.. maaf yah sayang.. jadi gini..”, kata Ahsan mencoba mencairkan suasana.
“Iyaaa.. udah.. salahku juga kok..”, jawabku singkat sambil mulai menikmati ayam bakar dihadapanku.
Meski awalnya kesal, namun keteguhan Ahsan untuk terus pendekatan padaku pun berbuah juga. Entah kenapa siang itu aku lebih banyak menjawab setiap pembicaraan yang Ahsan sampaikan meski awalnya aku juga tak peduli.
“Ahh.. ternyata gak buruk juga ngobrol sama ikhwan..”, ucapku dalam hati.
Itulah awal mula hubungan kami semakin dekat. Aku yang tadinya cuek, mulai sedikit demi sedikit membalas perhatian dari Ahsan. Itulah saat di mana benih-benih cinta mulai kurasakan. Teman-teman sekelas yang biasanya ‘ngecengin’ aku pun mulai berkurang karena kini aku dan Ahsan sudah seperti layaknya pasangan kekasih. Mungkin bagi mereka aku sudah tak seperti dulu yang asik untuk dijadikan bahan bercanda.
“Iyah sayang.. makasih yaaa..”, ucapku sebelum kemudian aku berjalan keluar kelas menuju ayahku yang sudah menanti di luar gerbang sekolah.
Setelah berada di motor, aku baru sadar akan apa yang aku ucapkan. Tak pernah kubayangkan kata itu akan mengalir lepas dari mulutku. Aku pun menutupi wajahku dengan kedua tanganku karena malu. Selama perjalanan pulang hatiku terus berdegup kencang, “apakah ini yang namanya cinta?”.
“Haaaahh..?? Mau buat apa hape segala..?? Kamu tuh masih SMP..”, jawab abi sambil menjumput makanan.
“Yaa kan temen-temen udah pada punya HP bi, masa aku sendiri yang ga punya?? Serong loh bi aku di sekolah tuh gatau apa-apa.. yaahh bi yaaa..??”, rengekku.
“Nggaaaak.. belum waktunya.. lebih banyak mudharat kalo abi kasih HP ke kamu sekarang..”, jawab Abi ku yang memang terkenal tegas.
“Kasih aja kenapa sih Bi..?? Charita tuh udah besar.. lagian kasian juga dia ga bisa komunikasi sama teman-temannya..”, jawab umi yang berupaya membujuk abi ku.
Yaah bukan abi namanya kalau langsung mengabulkan permintaan anaknya. Memang hanya aku sendiri yang tidak punya HP di kelas. Bukan karena orangtua ku tak mampu, tapi lebih karena mereka menganggapku belum cukup dewasa untuk menggunakan HP.
“Assalamu’alaykum..”, ucapku sambil membuka pintu depan rumah.
“Wa’alaykumsalam..”, jawab umi dari dalam rumah.
“Miihh.. Abi mau kemana tuh? Ga biasanya siang-siang gini pergi..??”, tanyaku sambil masuk ke rumah setelah melepas sepatu.
“Ngga tau juga.. tadi katanya mau ada musyawarah sama temen kajian abi.. “, jawab Umi yang lagi santai tiduran di kamar.
“Ohh gitu.. Ehh, ini apa mi..??”, tanyaku yang terkejut dengan kotak hadiah di atas meja.
“Hem..?? Kenapa sih..??”, tanya Umi.
“Iniiihh.. kotak hadiah ini.. punya siapaaa..??”, tanyaku penasaran sambil berlari menuju kamar umi sambil membawa kotak yang terbungkus kertas kado itu.
“Oohh itu.. itu hadiah dari Allah buat putriku tersayang..”, jawab Umi yang sudah dalam posisi duduk di pinggir kasur.
“Aaahh.. buatku!? Aaaaa.. maaaaciihhh uummmiii..”, jawabku yang langsung membongkar cepat kotak hadiah itu.
Mataku terbelalak melihat apa yang ada di dalamnya. Seluruh hatiku ingin berteriak karena rasa senang yang amat sangat. Entah bagaimana caraku mengungkapkan rasa senang yang kurasakan siang itu. Sebuah HP yang selama ini ingin kumiliki, meski bukan termasuk yang tercanggih, tapi sudah cukup bagiku. Tampak sekali raut wajah bahagia di wajah umi yang sudah berumur 35 tahun itu.
“Seneng ya?? Tapi inget pesan umi sama abi.. kontrol pemakaian.. gunakan buat apa saja yang membuat Allah ridho..”, ujar umi.
“Iyaa miii.. inshaaAllah.. yaayy..”, jawabku singkat tanpa pikir panjang karena terlalu hype dengan hadiah itu.
Selanjutnya? Seperti halnya yang dilakukan oleh anak-anak perempuan sebayaku. Sudah pasti sosial media menjadi aplikasi wajib. WhatsApp pun prioritas utama yang harus ku install lebih dulu. Tak butuh waktu lama hingga beberapa teman-temanku akhirnya terhubung denganku via online, tak terlepas Ahsan.
“Ehh.. yang udah punya HP sekarang.. seneng dong sayang..”, kata Ahsan di chat.
“hehe.. yaa gitu sayang..”, jawabku.
Kini hubunganku menjadi lebih sering dengan Ahsan. Hanya gara-gara satu benda saja bisa begitu mengubah jalan hidupku. Yang tadinya aku berupaya untuk menghindari virus cinta, kini malah diriku terjangkit dan tak ingin sembuh darinya. Perlahan kontak fisik kami semakin sering, bahkan Ahsan sudah mulai berani menggenggam tanganku. Awalnya aku marah saat tau ia dengan sengaja menggenggam tanganku.
“Ehh..!! Apaan sih pegang-pegang!??”, tanyaku dengan nada tinggi karena terkejut.
“Hah..?? Ohh.. Ahh.. anu.. gak sengaja kok sayang..”, jawab Ahsan yang berpura-pura tidak sengaja.
Tapi ia tak berhenti disitu, bahkan beberapa kali ia masih sering mengulanginya. Tak hanya menggenggam tanganku, kadang ia merangkul pundakku sesaat. Akhirnya karena terlalu sering, aku pun capek sendiri. Meski berkali-kali ku tegur dia, Ahsan sama sekali tak bergeming. Ingin rasanya aku marah, Cuma rasa cintaku padanya sudah terlalu dalam untuk dikubur.
“Eehh.. gak marah lagi nih dipegang gini..??”, tanya Ahsan sambil memijat-mijat telapak tangan kirilu sementara tangan kananku menggenggam gelas thai tea.
“Hemm..?? Emang kalo aku larang kamu bakal berhenti?? Capek tau ngasih tau kamu tuh..”, jawabku yang masih kesal sekaligus nyaman.
“Ahahah.. yaa gimana?? Masa iya bidadari secantik sayangku ini ngga diperjuangin sungguh-sungguh??”, jawab Ahsan yang membuatku tersipu.
“Ahhh.. apaan sih.. ngegombal mulu..”, jawabku.
“Yaa gpapa kan?? Sama kekasihnya sendiri juga..”, jawab Ahsan yang tiba-tiba membelai lembut pipiku.
Aku hanya terdiam saat kulit jemarinya menyentuh kulit pipiku yang cukup kenyal. Antara rasa bersalah dan juga bahagia bercampur jadi satu. Aku tak tau lagi harus menjawab apa. Selama beberapa detik aku terdiam, namun tak lama kemudian bisikan malaikat yang lebih dulu membangunkan diriku dari lamunan singkatku.
Plak!!
“Udah ya..! Jangan kelewatan!!”, ucapku sambil menepis tangan Ahsan sambil aku langsung berlalu pergi meninggalkan Ahsan di kantin yang sudah mulai sepi.
“Ehh.. sayaaang..??”, ucap Ahsan yang terdengar seperti kebingungan.
Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamarku dan mengunci pintu. Ku benamkan wajahku ke bantal dan tak terasa air mataku menetes. Aku baru sadar kalau aku sudah terlalu jauh melangkah melewati batas hubungan antara ikhwan dan akhwat. Aku lupa pesan abi dan umi untuk menjaga jarak dengan lelaki yang bukan mahramku. Selama sekitar 15 menit lamanya aku terus menyalahkan diriku hingga akhirnya aku tertidur.
“Kenapa matamu sembab gitu..? Belekan??”, tanya umi yang menyadari perubahan pada wajahku.
“Emm..?? Iyakah?? Gatau mi..”, jawabku lesu sambil menusuk-nusuk nasi di hadapanku dengan garpu.
“Kenapa sih anakku ini?? Cerita dong sama umi kalau ada masalah..”, jawab Umi.
“Heemmhh.. Mi.. Allah tuh maha pengampun kan..??”, tanyaku.
“Iya dong.. kenapa??”, tanya umi.
“Kalau aku buat dosa gitu.. diampuni ngga ya..??”, tanyaku sambil terus menatap lesu nasi di depanku.
“Hemmffhh.. Ahahah.. kenapa baru sadar sekarang..??”, jawab umi sambil menahan tawa.
“Ahhh.. apaan sih umi nih malah ketawa..!! Serius lhoo..”, jawabku yang agak kesal.
“Coba umi nannya.. udah berapa kali Umi suruh sesuatu sama Charita, tapi Charita mbangkang? Dosa ngga coba..??”, tanya Umi.
“Mmm.. yaaaa.. gituu..”, jawabku sambil menunduk malu.
“Nahh.. tapi Allah gak langsung marah sama Charita kan?? Jadi inshaaAllah Allah tetap mengampuni dosa selama bukan dosa syirik..”, lanjut umi.
“Mmm.. gitu yah mi.. jadi gini.. tadi tuh pas di kantin tuh ada temenku yang iseng gitu trus pegang tanganku gitu.. kan dosa yahh..??”, tanyaku.
“Yaa tergantung.. itu Charita yang pengen atau dianya yang pengen??”, tanya umi.
“Dianya lah mii.. orang Charita lagi enak-enak makan..”, jawabku berbohong pada umi.
Umi pun menyampaikan kalau dosa itu menjadi tanggungan kita kalau hal itu memang kita sengaja dan kita tau dalil tentang larangan akan hal itu, tapi kalau tidak sengaja atau kita tidak sadar maka kita terbebas dari dosa.
Aku memang sengaja tak menyampaikan dengan jujur tentang apa yang terjadi pada diriku. Aku takut kalau umi sampai marah. Apalagi kalau abi tau, ahh sudahlah mati sudah.
Selama semalaman aku sama sekali tak menghiraukan chat WhatsApp dari Ahsan. Bahkan beberapa kali ia melakukan panggilan WA. Namun suasana hatiku malam itu memang sedang tak ingin untuk berkomunikasi dulu dengan Ahsan.
“Sayang!! Sayang..!! Charita sayang..?? Jawab dong.. tungguin..”, ujar Ahsan yang berjalan cepat ke arahku saat sampai di gerbang sekolah pagi harinya.
“Kok semalem aku chat ga bales?? Telpon juga ga diangkat..?? Kenapa sih..??”, tanya Ahsan.
“Nggak.. Gapapa..”, jawabku singkat tanpa memandang Ahsan.
“Yaah.. ngambek yaaa..?? Kenapa??”, tanya Ahsan yang terdengar panik.
Kemudian seharian aku tak menghiraukan apapun yang Ahsan lakukan. Beberapa kali ia berusaha untuk mendapatkan perhatianku. Tapi aku masih merasa bersalah atas apa yang ku lakukan.
“Kenapa e Lis?? Marahan sama Ahsan..??”, tanya Manda teman karibku.
“He’emh..”, jawabku.
“Kenapa coba..??”, tanya Manda kembali sambil menikmati tempura.
“Yaaahh.. ada lah pokoknyaa..”, jawabku yang tak mau rahasiaku diketahui.
“Ohhh.. kamu sayang Ahsan ngaa sih..??”, tanya Manda lagi.
“Mmm.. Sayang sihhh..”, jawabku setelah terdiam beberapa saat.
“Kalo beneran sayang.. diomongin baik-baik laahh.. jangan kayak gini.. kasian tuh Ahsan.. coba kamu di posisi dia, pasti bakal sakit hati..”, jawab Manda yang membuatku tersadar.
Ternyata aku sudah terlalu egois dan tak menghiraukan perasaan Ahsan. Setelah istirahat pagi itu aku mencoba untuk memberikan peluang pada Ahsan meskipun aku sendiri masih merasa kesal entah kenapa. Yah tapi teringat kata-kata Manda, kalau memang aku sayang dengan Ahsan, maka tak ada salahnya mencoba.
“Ahsan.. ikut aku yuk..”, ucapku setelah selesai sekolah.
“Ehh.. iya sayang.. mau kemana..??”, tanya Ahsan.
“Yaaa.. ngobrol aja gitu..”, kataku sambil malu-malu kemudian berjalan lebih dulu.
Ahsan pun segera berjalan mengikutiku dari belakang dan aku yakin pasti ada rasa penasaran dalam dirinya. Memang semenjak aku dihadiahi HP, setiap harinya pasti ada saja alasanku untuk menunda abi menjemputku. Entah alasan tugas lah, meeting OSIS, ketemuan sama teman, dll. Untungnya abi tak curiga.
“Mmm.. aku mau..”, ucapku sesaat sebelum Ahsan memotongnya.
“Aaahh.. iyah sayang.. aku minta maaf yaah kalo ada salah.. jujur aja aku gatau dimana salahku karena kan kemarin-kemarin kita ga ada apa-apa tuh.. trus tiba-tiba sayangku ngambek.. maaf yaahh.. kalo boleh tau, aku salahnya dimana yaa..??”, ujar Ahsan sambil berlutut di depanku yang sedang duduk di kursi panjang di depan kelas 3-8.
“Aahh.. Mmmhh.. anu..”,
Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku. Entah kenapa mulutku serasa terkunci oleh ketulusan maaf yang diucapkan Ahsan. Terlebih lagi sikapnya saat mengucapkan kata-kata maaf itu. Seluruh hatiku terasa meleleh. Rasa kesal yang sedari tadi menyelimuti hatiku kini berganti dengan hangatnya dekapan cinta yang muncul tiba-tiba. Tak kuasa air mataku mengalir karena rasa bersalahku padanya.
“Kok bisa sih kamu Lis!? Ikhwan se-tulus ini kamu sia-siain!?”, gumamku dalam hati.
“Sayang..?? Kok diem..?? Kok malah nangis..?? Kata-kataku nyakitin yaah..?? Maaf aku gatau.. duhh..”, ucap Ahsan yang kemudian duduk disamping kananku dan berusaha menenangkanku dengan menepuk-nepuk pundak kiriku dengan tangan kirinya.
“Nggak.. aku yang salah.. maafin aku yah.. sayaanghh..”, ucapku begitu saja tanpa kusadari.
Bahkan entah kenapa tanganku begitu mudahnya mendekap tubuh Ahsan tanpa sedikitpun merasa malu ataupun jijik padahal ini pertama kalinya bagiku. Hangatnya tubuh Ahsan siang itu begitu nyaman untukku.
Ditambah lagi belaian lembut tangan Ahsan dikepalaku yang masih terbalut jilbab segi empat putih dan bersandar di pundaknya semakin membuatku ingin berlama-lama dengannya.
“Iya sama-sama sayang.. btw ngga pulang kah??”, tanya Ahsan sambil terus membelai kepalaku.
“Nghh.. ntarrhh.. lagi nyamanhh..”, jawabku yang semakin erat mendekap Ahsan.
Selama beberapa menit kami hanya diam dan tak berbicara sedikitpun. Aku ingin berlama-lama merasakan hangatnya saat itu. Meski dalam hati kecilku terus berusaha berbisik kalau yang ku lakukan ini salah, tapi entah kenapa siang itu diriku begitu mudahnya melanggar larangan agama.
“Sayang.. sayang.. ga bobo kann..??”, tanya Ahsan sambil mengguncangkan tubuhku.
“Ahhh.. ngga sayang.. keenakan aja.. kenapah..??”, tanyaku sambil menatap wajah Ahsan yang entah kenapa terlihat syahdu.
“Udahh.. pulang dulu yuukk.. ntar orangtua kamu khawatir lohh..”, ujar Ahsan sambil membelai pipiku.
Ahh.. entah kenapa kali ini belaian Ahsan terasa begitu hangat dan lembut. Selama beberapa saat ku tutup mataku untuk menikmati momen itu. Aku pun menggenggam tangan Ahsan yang masih menempel dipipiku dan menahannya untuk sementara. Benar-benar nyaman.
“He’emhh.. bentar sayang, aku WA abi dulu..”, jawabku sambil melihat ke HP.
Saat ku buka HP betapa terkejutnya aku ketika melihat begitu banyak misscal dari abi. Ternyata abi sedari tadi sudah menunggu di halaman sekolah.
“Kok daritadi abi telpon ngga dijawab sih??”, tanya abi yang terdengar agak kesal.
“Iyaa maaf bi.. tadi masih di musholla, trus aku silent gitu bi.. bentar lagi keluar kok”, jawabku yang agak panik.
Aku pun segera mengemasi barang-barangku. Saat hendak beranjak meninggalkan Ahsan, tiba-tiba Ahsan menarik tangan kananku. Dengan kuatnya ia menarikku ke belakang yang membuatku agak kehilangan keseimbangan dan berakhir dalam dekapan Ahsan. Belum selesai aku terkejut, tiba-tiba Ahsan dengan cepatnya mendaratkan bibirnya di bibirku.
Sontak aku pun terkejut namun entah kenapa tubuhku seperti membeku. Mataku hanya bisa terbelalak mendapati sensasi ciuman pertama itu. Dekapan Ahsan terasa semakin erat sementara bibirnya terasa begitu hangat. Jantungku berdegup kencang saat itu. Hingga kemudian setelah beberapa detik, Ahsan melepaskan dekapannya.
“Ahhh.. Maaf sayang.. jangan marah yaahh.. aku Cuma terlalu kangen aja sama Charitaku sayang..”, ujar Ahsan sambil memegang pundakku.
“Ahh.. i.. iyaa.. yaa.. udahh.. dadah sayang..”, jawabku singkat dengan tergagap.
Seluruh pikiranku nge-blank, bahkan beberapa kali Abi harus berteriak saat memanggilku sambil mengendarai motor. Bukan hanya karena angin, tapi pikiranku yang masih tak menyangka akan kejadian yang baru saja terjadi. Semuanya begitu cepat yang membuatku tak tahu harus merespon seperti apa.
“Charitaa!! Nglamun teruss..!! Dipanggil abi nya kok diem aja! Besok-besok inshaaAllah abi mau ngisi kajian diluar.. jadi besok kamu pulangnya nge-grab aja..”, kata abu dengan suara keras supaya aku bisa dengar.
“Haahh?? Ohh.. yaa bii.. tapi kan aku maluu bii..”, jawabku ngeles.
“Halah.. biasanya juga kamu kalo pergi main juga pake grab.. dah lah jangan bikin repot umi..”, jawab abi.
Mendengar hal itu aku semakin senang. Karena aku tak perlu khawatir untuk harus menunggu kedatangan abi, juga karena kini aku bisa leluasa main tanpa khawatir akan dimarahi abi. Dan benar saja, bisikan setan yang selama ini terdengar lemah, kini terasa tak bisa terelakkan lagi. Semua keimananku serasa tak ada artinya. Begitu mudahnya aku mengiyakan setiap tingkah yang dibuat Ahsan.
Baru saja kemarin ia dengan beraninya mencium bibirku, kini hal itu sudah seperti kewajiban yang harus kita tunaikan. Bahkan tangan Ahsan tak lagi malu untuk menjamah bagian tubuhku yang lain. Benar kata orang tua, kalau matamu, telingamu, bibirmu, hatimu telah mengiyakan cabang-cabang Zina, maka tunggulah saatnya kamu akan kehilangan perhiasan terpentingmu sebagai seorang wanita.
“Ahhh.. Sayanghh.. Ntar kalo ada yang liat gimana..??”, tanyaku yang sudah terlanjur dilanda birahi.
“Mmfhh.. Mcchh.. Nggak kok sayangh.. santai ajaahh.. kan kitahh udah sering disinihh..”, jawab Ahsan yang tengah mencumbu tubuhku yang masih berpakaian biru-putih.
Semenjak abi sibuk untuk mengisi kajian, aku dan Ahsan semakin intens dalam menjelajahi kenikmatan syahwat dunia. Gudang bangsal olah raga pun menjadi tempat rahasia kami setiap selesai sekolah untuk memadu kasih.
Siang itu paha mulus putihku yang biasa tertutup rok biru dan inner-pants panjang telah terekspos dan tengah dibelai oleh tangan kanan Ahsan. Ia terus melumat bibirku seperti hewan yang kelaparan sementara aku terduduk di atas tumpukan matras yang cukup tinggi.
Kedua kakiku di tekuk hingga mengangkang sementara tubuhku yang agak condong ke belakang kusangga dengan kedua tanganku. Toketkun yang tengah tumbuh masih aman terbungkus oleh bra sporty hitam yang menjumbul dari balik bajuku yang terbuka 2 kancingnya.
“Aaahh.. Sayanghh.. Mhhh.. Aahh.. Ahhh..”, desahku saat tangan kiri Ahsan meremasi toket kiriku yang masih terbungkus bra.
“Mmffh.. Mffhh.. Cupphh.. Wangi banget kamu sayanghh..”, jawab Ahsan yang tengah mencumbu leherku.
Seluruh tubuhku terbuai dengan kenikmatan dosa yang kulakukan siang itu. Rasa penasaran ditambah kenikmatan yang masih tergolong ‘baru’ kurasakan membuatku ingin untuk segera mencapai puncaknya. Tapi meski aku sudah tenggelam dalam syahwat, aku masih cukup sadar untuk tak membiarkan semuanya terjadi terlalu jauh.
“Aaaaahhh.. Aaaahhh.. Sshhh.. Oohhh.. Sayaanghh.. Mmhhhh..”, lenguhku tak kuasa menahan nikmat saat Ahsan kini mulai melahap memekku yang masih sempit namun telah banjir oleh cairan birahi.
Tak serta merta Ahsan langsung melepas CD ku dan melakukan oral di selakanganku, tapi ia terlebih dulu memanjakanku dengan permainan jemarinya mengobok-obok bibir memekku. Aahh.. begitu nikmatnya saat itu kalau kuingat kembali.
Ahsan dengan terampil menstimulasi bibir liang memekku dan sudah kubilang padanya kalau aku tak ingin kehilangan keperawananku. Sekitar 8 menitan Ahsan menikmati gurihnya memek perawan sebelum kemudian aku mengejang kuat merasakan orgasmeku.
“Haemfhh.. Mfhh.. Mffhh.. Srrpp.. Srrpp.. Mffhh..”, desahku saat menikmati kontol Ahsan yang berukuran sekitar 12cm itu.
Bagiku saat itu kontol Ahsan termasuk besar karena itu yang pertama bagiku. Butuh waktu sekitar 3 hari untukku agar terbiasa dengan rasa dan aroma kontol lelaki. Ahsan yang kini berganti duduk di tumpukan matras terlihat merem melek menikmati kulumanku.
Posisiku yang berlutut dengan agak condong ke depan dan juga kepalaku yang masih terbalut jilbab putih jumbo membuat Ahsan semakin terbang dalam fantasinya. Kulumanku ku variasikan dengan jilatan dan sepongan di zakarnya sementara tanganku terus mengocok batang kenikmatan Ahsan.
“Aarghh.. Arghhh.. Keluar sayanghh.. Arrghhhh..!!!!”, geram Ahsan karena ejakulasi.
Crrt.. crrrtt.. crrttt..
Kedua tangan Ahsan menahan kepalaku sehingga seluruh sperma Ahsan untuk kesekian kalianya memenuhi seluruh rongga mulutku. Aku berupaya menelan sebagian besar sperma Ahsan. Meski sudah berkali-kali, namun tetap saja aku tersedak karena pekatnya rasa dan aroma sperma lelaki.
“Assalamu’alaykum..”, ucapku memasuki rumah sekitar jam 15.30 sore.
“Wa’alaykumsalam..”, jawab Abi.
Aku pun keheranan karena tidak biasanya abi sudah ada di rumah jam segini. Setelah melepas sepatu dan kaos kaki, aku segera menuju ruang keluarga dan kujumpai umi dan abi sudah menungguku. Ada yang aneh yang membuat hatiku merasa tidak nyaman karena Umi terlihat tertunduk sambil menyeka air matanya, sementara Abi, tak pernah kulihat ekspresi yang menyeramkan seperti itu.
“Kamu.. kalo pilang sekolah itu kemana..???”, tanya Abi singkat tapi tegas.
“Ehh.. Mmm.. anu Abi.. ituu.. main sama temen.. kadang kerja kelompok..”, jawabku yang mulai gugup.
“YANG BENER!!! KAMU BOHONG KAN SAMA ABI SAMA UMI..!!??”, tegas Abi dengan nada tinggi sambil memukul meja sangat keras.
Aku yang mendengar hal itu seperti hatiku tengah dihujam beribu-ribu tombak. Akupun tau kalau tingkahku selama ini sudah tercium oleh abi, bahkan mungkin lebih parah lagi kalau abi sudah mengetahui dosa-dosaku. Saya hanya terdiam dan menunduk. Hatiku serasa hancur, seluruh tubuhku gemetaran. Aku tak sanggup mengangkat kepalaku, apalagi menatap abi dan umi. Bisa kudengar jelas suara sesenggukan umi yang tak kuasa menahan sedihnya.
“INI..!! AAPAAA INIIII..!!!!! HAAAHH..!!!! JELASIN KE ORANGTUAMU INI LISAAA!!!”, Teriak Abi.
Aku mencoba mengangkat kepalaku dan mencoba menatap HP Abi yang ia genggam. Kemarahan Abi masih tak seberapa dibanding kenyataan yang terjadi di hadapanku. Tampak jelas di HP abi videoku siang ini saat tengah mengulum kontol Ahsan.
“Matilah aku..”, gumamku dalam hati.
Seluruh tubuhku serasa lemas. Sendi-sendiku gemetar hebat. Hatiku sudah tak berbentuk lagi. Pikiranku kalut. Aku hanya bisa menatap kosong ke lantai. Suara abi yang begitu menggelegar pun sudah tak bisa kudengar karena hidupku rasanya habis saat itu juga. Beberapa saat kemudian, kurasakan tamparan keras tangan abi di wajahku.
Untung saja Umi segera mencegah Abi untuk berbuat lebih jauh. Tak lama setelah itu aku diseret paksa oleh Abi dan dilempar ke kamarku. Aku rela kalau siang itu aku harus menjadi samsak kemarahan abi. Buatku siang itu tak ada yang lebih penting daripada kedua orangtuaku memaafkanku.
Selama seharian aku tak berani keluar kamar. Beberapa kali umi memanggilku untuk makan, tapi aku tak mengindahkan panggilannya. Aku hanya bisa menangis tanpa henti, bantal dan gulingku pun basah oleh air mataku. Semua dosa-dosaku pun terngiang-ngiang selama aku berdiam diri di kamar. HPku pun penuh dengan WA dan telpon dari Ahsan.
“Udahan ya sayang.. mulai sekarang jangan hubungi aku lagi..”, jawabku terakhir kali di WA pada Ahsan.
Setelah hari itu aku sama sekali tak pernah keluar rumah meskipun hanya untuk jajan. Bahkan saat pengambilan rapor pun aku tidak ikut. Aku keluar kamar pun seperlunya saja. Setiap kali bertemu abi aku segera buru-buru kembali ke kamar. HPku sudah lama disita abi sejak kejadian memalukan itu. Aku juga tak tau apa yang terjadi pada Ahsan, yang kutau kalo abi sempat bilang akan meminta pertanggungjawaban pada Ahsan.
Hari-hari pun berlalu dengan aku yang terus menutup diri. Beberapa tetangga rumah sudah sering menanyakan tentang diriku, tapi umi bisa menjawab dengan sigap untuk mengurangi kecurigaan tetangga. Hampir sebulan lamanya aku berada terus menerus di rumah. Umi pun merasa tak tega dan berkali-kali mencoba untuk berbicara denganku tapi justru aku yang tak mampu sedikitpun berbicara pada orang yang telah berjasa begitu banyak padaku itu.
“Besok pagi ikut abi sama umi.. jam 7 harus udah siap!”, ucap abi singkat tanpa memandangku sedikitpun.
“Iya.. abii..”, jawabku lemah.
Aku sudah tak peduli lagi mau dikemanakan, yang kupikirkan hanyalah senyum abi yang dulu. Esok harinya, seperti biasa aku mengenakan jilbab segi empat jumbo hitam dan masker, sementara gamisku berwarna biru dongker yang panjang hingga mata kaki. Kaos kaki pun menutupi aurat paling bawah dari tubuhku agar tak menjadi santapan mata lelaki. Mobil Avanza silver milik abi sudah terparkir di depan rumah, setelah persiapan selesai, kami pun berangkat.
Aku masih tak tau akan dibawa kemana, bahkan untuk bertanya pun aku tak berani. Sudah terlalu parah aku mengecewakan abi dan umi.
“Ohh iyaa.. Charita belum tau yaa.. ini Abi sama Umi.. mau ngakakin Charita buat mondok aja.. gapapa kan..??”, ujar Umi mencoba memecah kesunyian.
“iyaa.. gapapa kok umi..”, jawabku singkat.
Lebih dari satu jam lamanya perjalanan kami. Suasana hiruk pikuk kota ciamis pun mulai berangsur-angsur menghilang dan berganti dengan suasana khas perkampungan dan pedesaan. Suasana serba hijau nan asri yang menyejukkan hati mulai memikat mataku.
Anak-anak kecil berlarian dan bermain bersama layaknya dulu ketika belum ada serangan smartphone, tampak jelas di setiap jalan kampung yang kami lalui. Setelah beberapa lama melewati jalan yang hanya dikelilingi oleh pepohonan rindang khas daerah hutan, maka tibalah kami di sebuah pondok yang tak terlalu besar.
Sudah menjadi kebiasaan kalau lokasi pondok atau pesantren biasanya berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Selain agar tidak banyak gangguan, juga agar pembelajaran di sekitar pondok lebih kondusif. Abi pun segera turun dan menjumpai salah satu ustad pengasuh di pondok itu.
Aku tak terlalu tau apa yang keduanya bicarakan, tapi tak berselang lama aku pun di ajak untuk masuk ke ruang tunggu pondok. Bangunan pondok yang begitu sederhana, tak banyak ornamen di luarnya, namun ketika masuk ke ruang tunggu, suasana khas pondok begitu kental terasa.
Banyaknya meja-meja kecil yang biasa digunakan para santri untuk menghafal Al-Qur’an, beberapa rak buku yang berisi kitab-kitab yang biasa digunakan di pondok, dan ruang tamu yang terhampar luas hanya dilapisi karpet tipis tanpa kursi.
“Assalamu’alaykum.. iya nama ana Shofi, inshaaAllah mulai dari sekarang dan seterusnya saya yang akan bertanggungjawab untuk menjaga mba.. siapa namanya?? Afwan.. ahaha..”, ujar salah satu ustadzah yang berpakaian serba hitam dan bercadar.
“Eehh.. itu lohh ditanya sama ustadzah.. jawab dong..”, celetuk ibu.
“Ohh.. saya Charita ustadzah..”, jawabku sambil menjabat tangan ustadzah Shofi.
Hampir seharian lamanya aku dan kedua orangtuaku berada di pondok itu untuk mengetahui penjelasan tentang agenda dan peraturan pondok. Kami pun diajak untuk berkeliling pondok dan juga ditunjukkan dimana para santriwati menginap. Lokasi pondok putra dan putri tidak terlalu jauh dan dibatasi tembok. Beberapa terlihat santriwati yang tengah lalu lalang, ada juga yang baru saja selesai mencuci baju, dan beberapa tengah sibuk menyiapkan keperluan makan siang di dapur.
“Yaah begitu ustadzah.. saya amanahkan anak saya ke pondok ini.. saya harapkan anak saya bisa berubah lebih baik kedepannya dan bisa jadi wasilah untuk kami menuju ridho Allah..”, ujar ayahku pada ustadzah Shofi.
“inshaaAllah bapak.. kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik para santriwati agar lebih dalam mengenal dinnul Islam.. dan inshaaAllah akan menjadi anak-anak yang bisa memberikan mahkota bagi kedua orangtuanya kelak di yaumul akhir..”, jawab Ustadzah Shofi.
Selama sehari semalam orang tuaku menginap sebelum kemudian berpamitan padaku keesokan harinya. Meski aku sudah siap akan konsekuensi dari tindakanku tapi tetap saja ini masih terasa berat bagiku untuk berpisah dari kedua orangtuaku.
“Yang sungguh-sungguh belajarnya disini yaa.. umi percaya Charita bisa berubah.. inshaaAllah yang kemarin sudah terjadi biarlah terjadi.. Charita buat lagi lembaran baru.. Umi bisa percaya Charita kan..??”, tanya umi yang terlihat matanya berkaca-kaca.
“Iyahh umi.. Maafin Charitaa.. Maaf..”, jawabku yang kemudian memeluk erat umi ku seakan seperti akan kehilangan dirinya.
“Udah.. Sana.. udah ditunggu ustadzah tuh..”, celetuk abi sambil menatap ke arah lain.
Meski terlihat cuek, aku bisa merasakan dari suara Abi kalau sebenarnya ia juga menahan tangisnya karena ini pengalaman pertamanya melepas anaknya. Hatiku pun amat senang dan entah kenapa tubuhku begitu ringan untuk melangkah dan langsung mendekap erat tubuh abiku.
“Makasih abi.. makasih udaah sayang sama Charitaa.. inshaaAllah Charita akan berubahh.. akan berusaha untuk buat abi bangga..”, ucapku.
Abi tak banyak berkata-kata, namun saat tangan abi membelai lembut kepalaku, tak terasa air mataku mengalir. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kalinya aku merasakan kehangatan telapak tangan abi. Ingin rasanya aku mengulang waktu dimana aku tak terjerumus dalam kemaksiatan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain melangkah maju untuk menutupi segala kesalahanku.
“Yuk dek Charita, ikut saya..”, ujar ustadzah Shofi beberapa saat setelah mobil kedua orangtuaku hilang di kejauhan.
“Iya ustadzah..”, jawabku sambil menyeka air mataku dan berlalu mengikuti ustadzah Shofi sambil menenteng tas yang berisi beberapa perlengkapanku.
“Tapi dek Charita termasuk langka lhoo.. biasanya tuh kalo awal-awal ditinggal tuh pada gamau gitu, jadi seringnya kita yang harus nahan anak-anak biar ga lari ngikutin orangtuanya..”, celetuk ustadzah Shofi membuka pembicaraan.
“Ohhh banyak yang gitu yah Ustadzah??”, tanyaku.
“Yaaa hampir mayoritas gitu.. jadi tadi waktu saya lihat dek Charita kok bisa cukup tenang tuh say kayak waaooww.. gitu..”, lanjut ustadzah Shofi yang mungkin baru berumur sekitar 37 tahunan.
Sambil terus berjalan, aku cukup terkesan dengan fisik ustadzah Shofi yang terawat. Tubuhnya yang tinggi semampai tetep terlihat seksi menawan meskipun tertutup pakaian serba hitam. Kulit wajahnya yang putih glowing terlihat jelas dari sebagian wajahnya yang tak tertutup cadar.
Jemarinya yang lentik dan punggung tangannya yang juga putih mulus pun menandakan keindahan kulit tubuhnya yang tersembunyi dibalik pakaian syar’i miliknya. Matanya yang lentik dan manis sudah pasti akan meluluhkan tiap lelaki yang memandangnya.
“Nahh disini nanti yaah dek Charita istirahat.. untuk yang lain-lain nanti biar dijelaskan sama dek Ifah..”, kata Ustadzah Shofi sambil membuka pintu kamar.
“ohh iya ustdazah..”, jawabku sambil mencoba melihat kamarku.
“Assalamu’alaykum.. ifahh.. sini bentar dek.. ini ada temen baru buat kalian namanya dek Charita.. tolong dibantu yaa..”, ujar ustadzah Shofi pada Ifah.
“Ohh.. iyah ustadzah.. Hai.. namaku Ifah.. dengan siapa ini..??”, ujar Ifah sambil mengulurkan tangannya.
“Emm.. Saya Charita..”, jawabku sambil menjabat tangan Ifah.
Setelah itu, Ifah mulai menjelaskan peraturan di pondok dan juga jadwal pembelajaran di pondok. Aku juga baru tahu kalau ternyata program pondok di bagi dua, pagi hari untuk pembelajaran umum yaitu sekolah di MAN, sementara malam harinya untuk diniyah. Ifah sendiri termasuk wanita yang lumayan cantik.
Wajahnya yang oval dengan kulit putih bersih dihias hidung yang mangir dan mata yang cantik. Bibirnya yang tipis kemerahan berpadu sempurna dengan senyumnya. Tubuhnya padat berisi sehingga menonjolkan gunung kembarnya di usianya yang baru masuk 16 tahun. Kulitnya yang putih bersih khas perempuan sunda menambah kesempurnaan dirinya.
“Yaahh.. bentar lagi juga bakal tau sih.. ada Ani sama Zahra juga disni..”, jawab Ifah menjelaskan ketiga teman sekamarku.
“Ohh.. pada kemana mereka??”, tanyaku.
“Ngga tau juga sih.. tapi tadi bilangnya mau nyuci baju.. yaah biasalah kapan lagi kalo nggak minggu gini kita nyucinya?? Ahahah..”, jawab Ifah sambil merebahkan dirinya di kasur.
“Ohh iya.. itu barang-barangmu yang lain udah diantar beberapa hari yang lalu sama orangtuamu.. enak yaah.. punya orang tua yang perhatian gitu..”, lanjut Ifah sambil tidur terlentang.
“Ahh.. biasa aja sih.. malah justru dirumah dulu aku ngga terlalu sering ketemu orangtua.. khususnya abi..”, jawabku sambil meletakkan tasku dan duduk di kasur tepat di depan kasur Ifah.
“Yaahh setidaknya kamu masih punya orang tua Rit.. kalo aku.. udah lama banget aku disini.. orangtuaku cerai.. bahkan hampir aku gak pernah dijenguk lohh..”, jawab Ifah menceritakan kisahnya.
Siang itu Ifah bercerita panjang tentang kondisi keluarganya yang broken home. Itu terjadi tak beberapa lama setelah dirinya mendaftar di pondok itu. Setelah Ifah masuk pondok, akhirnya kelakuan ayahnya yang suka selingkuh pun dibuka oleh Allah dihadapan ibunya.
Tapi itu tak sepenuhnya salah ayahnya, ternyata ibunya juga beberapa kali ifah lihat sering menginap di hotel bersama lelaki lain saat ayahnya pergi dinas dalam waktu yang lumayan lama. Mendengar penuturan Ifah pun aku menjadi lebih bersyukur atas karunia Allah padaku.
“Aahhh.. capeknyaa.. mana tuh Ifah.. katanya mau nyuci juga..”, ucap salah seorang santriwati yang tiba-tiba masuk ke kamar.
“Lhohh.. uda selesai nyuci??”, tanya Ifah yang terbangun setelah mendengar langkah kaki temannya.
“Ini nemenin warga baru kamar kita.. nih kenalin, yang bawel ini namanya Ani.. trus yang cantik itu si Zahra..”, ujar Ifah dengan nada mengejek sambil tangannya menjulur ke arah keduanya.
“Yee.. apaan sih?? Kamu aja yang bikin aku jadi bawel..”, jawab Ani sambil melepas jilbabnya.
“Hei.. kenalin.. Zahra..”, ujar Zahra yang dengan segera menjabat tanganku.
Yah memang diantara mereka bertiga, Zahra lah yang paling cantik. Wajahnya yang mirip sekali dengan tipikal orang china dengan kulit putih mulusnya ditambah rambut hitam lurus sepundak membuatnya cocok sebagai model. Postur tubuhnya yang termasuk tinggi bagi perempuan semakin sempurna berpadu dengan kaki jenjangnya. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk akrab karena memang kami semua hampir seumuran. Yang paling tua adalah Ifah yang terpaut 1 tahun dariku.
Esok paginya adalah hari pertamaku untuk masuk sekolah di MAN sekaligus hari pertamaku untuk mengikuti kegiatan pondok. Semua keperluan sekolahku ternyata sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh kedua orangtuaku termasuk sebuah sepeda yang lumayan bagus menurutku meskipun tidak baru. Hiruk pikuk pagi hari pondok dipenuhi oleh para santriwati yang beramal-ramai hendak berangkat sekolah, begitu juga Ifah, Ani, dan Zahra.
Ini pengalaman baruku berangkat ke sekolah dengan bersepeda. Asyik juga gumamku dalam hati. Selain karena ini pertama kalinya, juga karena aku tak sendirian melainkan bersepeda bersama dengan hampir seluruh santriwati yang ada di pondok.
Jalanan sepi yang masih berupa tanah dihiasi oleh pepohonan rindang di sisi kanan jalan membuat sejuknya udara pagi semakin terasa. Meskipun aku hari itu mengenakan masker, tidak seperti temanku yang lain yang sudah mulai bercadar, namun tak mengurangi nikmatnya hawa segar pagi hari. Cukup jauh jarak antara pondok hingga sekolah kami.
Hanya ada beberapa rumah warga yang sangat sederhana di sepanjang perjalanan kami. Satu saja bangunan yang cukup modern yaitu sebuah kantor yang biasa disebut koramil. Beberapa anggota Angkatan Darat (AD) berpakaian kaos loreng hijau tengah menjalani latihan pagi sebagai rutinitasnya.
“Berangkat sekolah neng??”, tegur salah seorang anggota.
“Iya pak Pon..”, jawab Ifah lumayan keras karena jarak antara pos jaga dengan kami cukup jauh sekitar 15 meteran.
“Okee.. Ati-ati neng..”, jawab anggota tadi sambil melambaikan tangannya pada kami.
Kami terus melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di sekolahan. Yah sekolah kami pun tak bisa dibandingkan dengan yang ada di perkotaan. Meskipun begitu tetap saja para guruu mengajar kami dengan sangat professional.
“Ehh iya Fah.. tadi itu siapa??”, tanyaku sambil merapikan tasku di parkiran sepeda.
“Yang mana?? Yang tadi di pos jaga itu..??”, jawab Ifah yang sedang membenarkan jilbabnya.
“iya.. kayaknya akrab banget deh..”, jawabku.
“Ohh.. itu pak Ponijan.. udah lama dia tugas disitu..”, jawab Ifah yang mengenakan cadar putih senada dengan jilbab segi empat jumbonya.
Sekitar jam 12.30 sekolah pun usai. Tak hanya di pondok, di sekolah pun aku harus berkenalan dengan teman-teman baru yang berasal dari berbagai daerah. Terlihat dari kejauhan Ifah dan Zahra sudah menungguku di parkiran sepeda. Meski sudah seharian sekolah, entah kenapa Zahra tetap saja terlihat cantik dan anggun. Tak seperti diriku yang sudah mulai merasa kucel.
“Gimana hari pertama sekolah..??”, tanya Ifah.
“Yaaah.. biasa.. harus kenalan sana-sini.. tapi asik sih..”, jawabku.
“Berarti udah mulai terbiasa dong..”, timpal Zahra sambil terus mengayuh sepeda.
“Ahahaha.. semoga aja yaa.. kalo inget ortu masih sih..”, jawabku sambil mulai membayangkan apa yang dilakukan kedua orangtuaku sekarang.
Tak lama kemudian kembali lagi kami melewati daerah koramil namun tak dijumpai pak Ponijan disana. Yaah bagiku tak masalah toh aku juga tak mengenalnya. Hingga akhirnya kami sampai kembali di pondok. Rasa lelah bercampur gerah membuatku ingin cepat-cepat mandi. Memang sudah jadi kebiasaanku karena ini juga keturunan dari ayahku yang juga mudah berkeringat.
“Langsung mandi Rit..??”, tanya Zahra yang masih asik tiduran.
“Iyaa.. gerah banget.. mana bau ketek lagi..”, jawabku sambil mencium ketiak kiriku.
“Ahahah.. iya sih.. besok-besok lagi pake ini aja..”, jawab Zahra sambil menyodorkan bedak penghilang bau badan.
“Okey.. inshaaAllah nanti aku cobain..”, jawabku.
Karena lokasi pondok yang berada di pelosok pedesaan dan di kaki gunungz maka meskipun siang hari tetap saja air terasa cukup dingin. Tak seperti dulu ketika masih dirumah. Karena lokasi tandon air berada di atas rumah dan aku tinggal di perkotaan sehingga kalau siang hari air pun terasa hangat.
Byuur.. Byurrr..
Segarnya siraman air khas pegunungan membuat tubuhku terasa segar kembali. Kulitku yang putih bersih terlihat tampak segar dan kenyal. Aku pun mulai menggosok tubuhku dengan sabun. Yah meskipun bukan sabun cair tapi itu tak masalah bagiku. Tak sengaja tanganku menyentuh putingku yang berwarna coklat muda.
“Aaahh..”, desahku.
Entah kenapa rasa geli muncul yang membuatku sedikit teringat akan dosaku dulu. Namun aku tak mau menghiraukannya dan terus menyelesaikan mandiku. Sore harinya pelajaran diniyah pun dimulai. Untukku yang baru pertama kali masuk pondok maka hafalan Qur’an ku yang digenjot.
Meski Abi dan Umi sudah sering mengajarkanku untuk membaca Al Qur’an, tapi ketika kini tengah diuji oleh Ustadzah Shofi rasanya aku seperti anak TK saja. Hampir seluruh makhorijal hurufku tak ada yang sesuai dengan standar pondok. Alhasil aku harus kembali lagi ke Iqro’.
“Gapapa kok dek Charita.. semuanya juga gitu pas pertama kali masuk kesini.. ada sih beberapa yang memang sudah lumayan.. kayak itu tuh..”, ujar Ustadzah Shofi sambil menunjuk ke arah salah satu santriwati.
Memang benar. Kalau aku dibandingkan dengannya seperti halnya langit dan bumi. Begitu indah dan menenangkan. Setiap huruf yang keluar dari mulut santriwati itu sangatlah menyejukkan hati, terlebih lagi saat ia mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, serasa hati ini begitu bahagia mendengarnya. Dan mulai saat itulah aku bertekad untuk bisa menyainginya.
Malam harinya memang tak ada pelajaran diniyah di pondok karena digunakan untuk mengerjakan tugas dan PR dari sekolah. Pagi harinya, ba’da Shubuh setelah wirid dan dzikir pagi-petang, maka kemudian dilanjutkan dengan kajian Fiqh Sunnah yang disampaikan oleh salah seorang ustadzah senior.
Dan sudah menjadi rahasia umum kalau santri pasti banyak yang mengantuk, termasuk diriku. Setelah selesai sholat syuruq sekitar jam 05.45, aku segera kembali ke kamar untuk persiapan berangkat sekolah. Memang tidak banyak waktu yang tersisa, tapi disitulah aku mulai belajar me-manage waktu.
“Udah siap semua Rit..??”, tanya Ani sambil mengunyah sarapannya yang berupa nasi dan sayur dengan lauk tempe mendoan.
“Udah sih.. inshaaAllah..”, jawabku yang juga makan menu yang sama.
“Ehh iya.. besok minggu ada acara nggak kalian semua..??”, tanya Ifah yang sudah selesai makan.
“Emang kenapa Fah..??”, tanya Zahra.
“Jalan-jalan aja kita berempat.. kan itu si Charita blom tau daerah sini..”, jawab Ifah.
“Lha emang kalo minggu ga ada kegiatan di pondok??”, tanyaku.
“Kan hari minggu.. paling bersih-bersih kamar kita aja abis itu acara bebas seharian.. ya kalo mau juga bisa tuh main HP..”, jawab Ifah.
Aku baru tau kalau ternyata dalam seminggu para santriwati diberikan satu hari untuk libur yaitu mulai sabtu malam hingga minggu malam. Semua santriwati bebas dari agenda pondok dan bagi mereka yang memiliki HP diperkenankan untuk mengambilnya di ruang amanah.
Bersambung…
Leave a Reply