Anting Emas
Namaku Eko, umurku 23 tahun dengan tinggi badan 175 cm dan berat 72 kg. Aku adalah anak pertama dari 3 bersaudara dan baru saja menyandang gelar sarjana dari salah satu perguruan tinggi negeri di kota Yogyakarta.
Setelah selesai kuliah, aku memutuskan kembali ke kota asalku Magelang dan tinggal bersama kedua orang tua dan 2 orang adik perempuanku yang masih sekolah. Ayahku bernama Haryo berusia 48 tahun dengan perawakan kulit agak gelap, tinggi 168 cm dan berat 70 kg.
Saat ini ia bekerja di salah satu instansi pemerintahan di kota Magelang sebagai PNS. Ibuku sendiri bernama Ningrum berusia 45 tahun berwajah ayu khas wanita Jawa dengan postur tinggi 163 cm dan berat 65 kg, ukuran payudara 36B, dan berkulit kuning langsat.
Siang itu terik matahari begitu menyengat, melengkapi rangkaian hariku yang begitu melelahkan. Lelah itu hadir bukan karena tubuhku ini yang terforsir akibat kerja keras melibatkan fisik, melainkan lelah karena pikiran yang terkuras.
Bagaimana tidak? Hampir tiap hari semenjak aku diwisuda pikiran ini dipaksa untuk berpikir keras mengenai strategi apa yang harus kulakukan untuk segera mendapatkan pekerjaan, langkah apa yang harus kulakukan apabila aku gagal diterima kerja dll.
Di kala matahari memaksaku untuk terus mengayunkan tangan menyebak keringat yang bercucuran, kulihat dari dalam kamar orang tuaku ayunan tangan lain yang membuat suasana menjadi lebih sejuk, seketika itu panas yang kurang ajar perlahan hilang.
Ayunan itu berasal dari tangan Ibu yang sedang menyisir rambut indahnya yang panjangnya sepunggung didukung dengan parasnya yang cantik alami serta dandanan sederhananya.
Aku: “Bu, Ibu mau pergi kemana? Kok siang-siang gini dandanannya_nyetil_banget?”
Ibu: “Ibu mau ke pasar, le (Tole: Panggilan untuk anak laki-laki dalam Bahasa Jawa)”
Aku: “Lha terus yang jagain warung siapa Bu?”
Ibu: “Lha ya kamu to, Ibu cuman sebentar kok. Nanti mau minta oleh-oleh apa?”
Aku: “Biasaaaa Bu!!! Baksoooooo Lestari…”
(Bakso Lestari adalah salah satu bakso terkenal di Magelang, tepatnya di daerah Pasar Rejowinangun. Kebetulan juragan baksonya adalah orangtua dari teman SD ku. Soal rasaaa jangan tanya. Asal jangan minta dibayarin ya!)
Kebetulan pas di hari itu Bapak belum pulang kerja dan adik masih kuliah, sehingga aku yang dapat jatah jaga warung. Tanpa kusadari, ada pemandangan lain yang kulihat dari penampilan Ibu waktu itu. Raut muka yang sedikit masam tergambar jelas dari wajah Ibu. Sebelum melangkahkan kakinya keluar rumah, tiba-tiba Ibu mendekatiku.
Ibu: “Le, boleh minta tolong endak?”
Aku: “Boleh, Bu. Mau minta tolong apa?”
Ibu: “Tolong lepasin anting di kedua telinga Ibu ya!”
Aku: “Buat apa Bu kok malah mau dilepas?”
Ibu: “Antingnya mau tak jual. Buat bayar ini itu dan segala macem.”
Seketika itu aku kaget bukan main mendengar perintah dari Ibu. Aku langsung melakukan analisa jauh mendalami kalimat “Antingnya mau tak jual. Buat bayar ini itu dan segala macem.” Aku menyadari memang ada alasan kuat yang mendasari keputusan Ibu, terlebih karena faktor ekonomi di keluargaku akhir-akhir ini.
Tangan ini gemeteran memegang telinga Ibu, sampai beberapa kali aku mencoba melepaskan anting itu, namun tetap saja gagal. Alhasil yang didapat hanyalah kedua telinga Ibu yang memerah. Aku tahu jika sedikit memaksakan melepas anting itu akan berhasil, namun aku tidak tega dan tidak rela melakukannya.
Ibu: “Pie sih le? Gitu aja kok endak bisa. Malah sakit tok jadinya telinga Ibu.”
Aku: “Maaf Bu saya endak bisa melepas antingnya. Bu, saya sarankan ndak usah dijual. Cari solusi lain yang lebih pas.”
Ibu: “Yawis! Besok lagi aja. Ibu berangkat dulu, Ibu keburu belanja kebutuhan buat Arisan Ibu-ibu RT besok lusa. Assalamualaikum.”
Aku: “Iya Bu hati-hati nggih! Walaikumsalam.”
Dalam hati aku sedikit lega, semoga niat Ibu menunda atau bahkan membatalkan penjualan anting itu benar terealisasi.
Aku tidak habis pikir, apakah sebegitunya rumitnya faktor ekonomi keluarga sehingga mendorong Ibu mengambil keputusan itu. Ataukah ada hal lain yang aku belum mengetahuinya? Aku pun coba mencari tahu penyebabnya.
Setelah peristiwa di siang tadi, malamnya sebelum tidur aku berpikir. Aku tidak rela Ibuku menjual anting emasnya tersebut.
Selain karena kasihan padanya, aku juga merasa Ibuku memang lebih cantik jika tetap memakai anting emas tersebut apalagi didukung dengan postur tubuhnya yang sintal itu. Ketika membayangkan hal tersebut tanpa terasa penisku “mengeras” dengan sendirinya.
Keesokannya aku bangun pagi-pagi sekali untuk mandi dan bersiap pergi mencari kerja. Saat aku akan masuk ke kamar mandi, kulihat Ibuku sedang memasak di dapur menyiapkan sarapan untukku dan kedua adikku karena Ayah sedang dinas keluar kota saat ini.
Saat akan masuk ke kamar mandi, kusempatkan untuk melihat lekuk tubuh Ibuku dari belakang, Terlihat pinggulnya yang masih padat walaupun sudah memiliki 3 orang anak.
Kembali penisku berdiri tegak melihat pemandangan tersebut. Agar tidak ketahuan, aku pun langsung masuk ke kamar mandi. Ketika sedang mandi, penisku tetap saja mengeras tanpa ampun karena membayangkan kecantikan dan kemontokan Ibuku, aku pun mencoba mengocok penisku untuk mengeluarkan “cairan putihku”.
Saat sedang asyik mengocok penis, kulihat ada BH dan CD milik Ibuku di tumpukan baju kotor di ember pojok kamar mandi. Tanpa pikir panjang kuambil BH dan CD Ibuku yang berwarna cream tersebut sambil mencium dan menggesekkan kedua benda tersebut ke penisku.
Ketika akan keluar, aku pun membayangkan sedang bersenggama dengannya lalu kutempelkan ujung penisku ke CD Ibuku lalu kusemprotkan spermaku lumayan banyak disitu.
Setelah itu aku bersarapan bersama Ibu dan kedua adikku karena Ayahku sedang dinas keluar kota. Saat sarapan aku sangat terpesona melihat Ibuku yang tampil cantik dengan memakai dress warna hijau yang agak ketat. Ketika aku mencuri-curi pandang ke bagian payudaranya, tatapan mataku tertangkap basah oleh Ibuku.
Karena malu, aku pun langsung mengalihkan pandanganku ke piring makanan. Pagi itu tidak banyak perbincangan yang terjadi diantara kami berempat hanya Ibu menasihati kedua adikku untuk rajin belajar dan memintaku untuk giat mencari pekerjaan.
Setelah sarapan kedua adikku langsung berpamitan pergi ke sekolah sedangkan aku kembali ke kamarku sebentar mengambil berkas-berkas lamaran kerja dan sedikit merapikan kamarku.
“Bu, aku pergi dulu ya mau ngelamar kerjaan”. Kataku pada Ibu
“Yowis nak, hati-hati ya di jalan”. Balas Ibuku dengan ramah dengan tatapan penuh harap.
Melihat tatapan Ibuku yang penuh harap seperti itu aku langsung reflek memeluk tubuhnya dengan erat. Ibuku pun yang awalnya kaget karena selama ini aku jarang memeluknya akhirnya membalas pelukanku dengan erat. Sewaktu memeluknya aku pun berkata padanya:
“Bu, antingnya jangan dijual ya, aku gak mau Ibu sampe harus jual anting ini cuma karena gak punya uang”. Kataku sambil memegang anting-anting yang ada di telinganya.
“Ya mau gimana nak, Ibu sebenarnya juga gak mau jual anting Ibu tapi kamu tau sendiri kan keuangan keluarga kita kayak gimana? Ayahmu sendiri gajinya pas pasan, penghasilan dari warung Ibu juga kadang nutup kadang juga kurang.
Sementara kedua adikmu yang masih sekolah itu juga butuh biaya, makanya Ibu kemaren minta bantuan kamu buat lepasin anting di telinga Ibu ini buat tak jual tapi kamunya malah gak mau”.
“Ibu gak usah khawatir, pokoknya aku bakal usaha cari pekerjaan sedapat mungkin, nanti kalo udah keterima kerja, gajiku bakal aku kasih ke Ibu untuk nutupin kebutuhan keluarga kita”. Hiburku sambil mengelap air mata yang mengalir pelan di kedua pipinya.
“Iya nanti Ibu doain kamu biar dapet kerjaan bagus supaya kamu sukses dan bisa ngebantu Ibu dan kedua adikmu yang masih sekolah itu”. Balas Ibuku dengan manis.
“Yaudah aku pergi dulu ya Bu, Muah. Kucium pipi kiri Ibuku dengan lembut.
“Ih kamu tumben cium-cium Ibu. Katanya sambil tersenyum.
“Abisnya Ibu cantik sih, apalagi kalo pake anting-anting emas kayak gini cantiknya jadi tambah sempurna”. Pujiku padanya.
“Bisa aja kamu ngegombalnya, Yowis Ibu mau nyuci baju dulu abis itu baru buka warung, kamu juga cepetan cari kerja sana ntar kesiangan lagi”. Ujar Ibuku menyudahi obrolan kami di pagi ini.
“Ok Bu, aku pergi dulu ya, Muah. Kataku pamit sambil mencium pipi kirinya. Ibuku hanya tersenyum manis melihat tingkahku.
Setelah itu aku pun keluar rumah menaiki motor kesayanganku untuk berkeliling ke berbagai perusahaan mencari pekerjaan. Di sela-sela perjalanan aku teringat bahwa tadi pagi aku baru saja onani dengan menyemburkan spermaku ke CD Ibuku. Aku berharap semoga saja spermaku sudah mengering sehingga Ibuku tidak curiga padaku.
Kenalkan namaku Ningrum usiaku 45 tahun. Aku adalah Ibu dari tiga orang anak yaitu Eko 23 tahun, Fitri 17 tahun, dan Nia 15 tahun.
Suamiku Haryo berusia 48 tahun bekerja sebagai PNS di Dinas Pendidikan di Kota Magelang sedangkan aku membuka warung kecil-kecilan di depan rumah untuk membantu perekonomian keluarga karena gaji suamiku sebagai PNS terkadang kurang mencukupi untuk kebutuhan kami berlima.
Namun akhir-akhir ini kondisi ekonomi keluargaku agak menurun. Suamiku juga mulai agak pelit dalam memberikan uang bulanannya padaku ditambah lagi penghasilan dari warungku tidak ada penambahan secara signifikan membuat kondisiku jadi semakin sulit.
Aku curiga bahwa suamiku memiliki wanita idaman lain karena melihat perangainya belakangan ini yang agak kurang perhatian terhadap kami dan juga sering keluar kota tanpa alasan jelas.
Pada suatu malam sehabis berhubungan badan dengan suamiku, secara iseng aku mencoba mengecek HPnya, ketika kubuka fitur WA dan Telegram disitu kulihat percakapan mesra antara suamiku dengan seorang wanita muda berusia 25 tahun bernama Ratih yang juga berprofesi sebagai PNS sama seperti suamiku.
Awalnya mereka hanya bertemu dalam sebuah seminar yang diadakan di Kota Solo tempat Ratih bekerja dan tinggal disana. sumber Ngocoks.com
Namun lama-kelamaan hubungan mereka jadi makin akrab saling bertukar pesan mesra di WA dan Telegram bahkan sering bertemu tanpa sepengatuhuanku dan anak-anak.
Melihat bukti tersebut aku menangis melihat perbuatan suamiku yang saat ini tengah tertidur pulas. Aku pun berkata “Kenapa kamu mengkhianatiku mas?
Aku pun beringsut ke arah cermin besar yang ada di meja riasku. Kulihat tubuhku dengan tinggi 163 cm dan berat 65 kg serta payudara ukuran 36B ini menurutku masih cukup bagus walaupun agak berisi karena sudah melahirkan 3 orang anak.
Aku berpikir apakah aku harus membalas perbuatan suamiku dengan berselingkuh dengan lelaki lain seperti yang dia lakukan kepadaku?
Tapi dengan siapa aku harus berselingkuh? Bagaimana dengan anak-anakku nanti jika tau Ibu dan Ayahnya saling berselingkuh dibelakang? Oh sungguh aku tidak ingin membuat anak-anakku menjadi tambah sedih terutama kepada Nia dan Fitri yang masih bersekolah. Aku mencoba cara lain untuk mengobati kesedihanku ini.
Beberapa hari kemudian, aku berpikir untuk menjual anting-anting emas yang ada di kedua telingaku ini. Anting-anting emas ini sebenarnya pemberian dari suamiku di hari ulang tahun pernikahan kami setahun yang lalu dan selalu kupakai tanpa pernah melepasnya.
Namun karena aku kecewa terhadap perselingkuhan suamiku ditambah dengan ekonomi keluarga kami yang agak menurun aku memutuskan untuk menjual antingku ini. sumber Ngocoks.com
Aku pun meminta bantuan anak sulungku Eko untuk melepaskan antingku ini. Setelah berusaha selama hampir setengah jam rupanya dia tidak berhasil melepaskan anting-anting di kedua telingaku. Eko beralasan anting-antingku sulit untuk dilepas dan dia menyarankan agak aku tidak menjualnya sembari mencari solusi lain yang dirasa lebih tepat.
Keesokan harinya ketika aku sarapan dengan Eko dan kedua adiknya yaitu Nia dan Fitri, kulihat dia mencuri-curi pandang ke arah payudaraku dan kebetulan memang hari itu aku memakai dress warna hijau yang agak ketat sehingga membuat payudaraku terlihat sangat menonjol. Kulihat tatapan mata Eko seperti tatapan seorang lelaki pada wanita bukannya tatapan seorang anak pada Ibunya.
Setelah sarapan kedua putriku Nia dan Fitri langsung pamit ke sekolah sedangkan Eko pergi kamarnya untuk mengambil berkas-berkas yang tertinggal sementara aku pergi ke dapur untuk membereskan sisa sarapan kami tadi.
Setelah selesai aku pun bermaksud untuk ke ruang depan untuk bersih-bersih. Saat sedang berjalan aku berpapasan dengan Eko yang baru saja keluar dari kamarnya.
Tidak kusangka ternyata Eko malah memeluk erat tubuhku. Aku pun kaget karena aku tahu betul watak Eko selama ini yang cuek dan jarang mau berdekatan denganku tiba-tiba sekarang ini malah memeluk tubuhku dengan erat. Aku pun dengan naluri keibuanku langsung reflek membalas pelukannya dengan lebih erat.
Mendengar ucapannya itu aku pun terharu dengan menitikkan air mata sambil menjelaskan alasanku menjual anting-anting karena alasan kondisi ekonomi keluarga saat ini yang tengah menurun.
Tentu saja aku tidak memberitahukan tentang perselingkuhan Ayahnya selama ini kepada Eko karena aku tahu kalau sampai Eko mengetahui perilaku Ayahnya tersebut dia pasti akan marah besar.
Eko pun menghibur hatiku sambil menggombal bahwa aku lebih cantik jika tetap memakai anting-anting. Aku tersipu malu dengan perkataannya ditambah lagi dengan ciuman Eko di kedua pipiku membuatku bahagia bahwa anakku ternyata juga bisa memberikanku perhatian dengan lebih baik dibandingkan dengan Ayahnya.
Leave a Reply