Motivator Untuk Anak

Motivator Untuk Anak

Selamat malam sobat Ngocokers tercinta. Vania, sebuah nama yang dipilih oleh orang tuanya dulu. Kini, ia menamani anaknya Ifan, selain karena bunyinya hampir mirip, juga karena Vania berharap anaknya tidak akan kekurangan Ifan selama hidupnya. Namun ternyata, nasib berbicara lain. Kini, setelah beranjak gede, Ifan ternyata sangat santai dalam menghadapi hidup ini.

Telah beberapa kali Vania memergoki anaknya yang sedang mengintip saat ia mandi. Bahkan terkadang, Ifan mengintip roknya saat akan dan atau beranjak dari duduk. Sikap anaknya memang tak menyenangkan, namun kali ini Vania lebih mementingkan jalan hidup anaknya. Apalagi kalau melihat rapotnya, jarang ada nilai lebih dari delapan puluh.

Seharian Vania mencoba berpikir apa yang mesti dilakukan untuk mengubah nilai dan pandangan hidup anaknya. Bagaimana caranya untuk memotivasi anaknya yang kurang termotivasi? Ingin rasanya Vania mengundang motivator terkenal, namun apa daya tiada rupiah.

Malam hari, Vania makan seperti biasa bersama anaknya. Selesai makan, saat Ifan akan kembali ke kamarnya, Vania menghentikan. Duduk dulu sini, ada yang mau mama bicarain. Lah, Ifan udah tau mama mau bicarain apa. Pasti itu lagi-itu lagi.

Iya, mama ngerti. Tapi mama inginnya meski kamu tak niat kuliah, nilaimu harus bagus semua. Apalagi mama ingin sehabis sekolah kamu tuh kuliah.

Tapi mah, Ifan udah seneng kok hidup kayak gini. Apa lagi yang kurang?

Pasti ada yang kurang. Masa kamu puas hanya dengan seperti ini sih?

Kagak ada yang kurang mah. Kecuali

Kecuali apa?

Kecuali cewek telanjang. Hehehe

Hehe Dasar kamu itu. Pantesan kamu doyan bener intipin mama mandi.

Ifan yang lagi tersenyum mendadak diam. Terkejut.

Kamu kira mama gak menyadari kelakuanmu apa?

Iya mah, maaf. Abis Ifan penasaran sih.

Iya mama ngerti. Seusia kamu memang penasaran sama segala hal. Malahan bagus kok, daripada mati penasaran.

Makasih mah.

Tapi mama ingin agar kamu tingkatin nilai kamu. Terus kuliah. Biar nanti bisa lebih daripada mama. Lebih sukses dan lebih kaya.

Gak perlu mah. Gini juga udah bahagia kok.

Meski tanpa gadis telanjang, kata Vania sambil nyengir. Ya udah, kalau kamu mau ke kamar. Mama mau beresin dulu.

Iya mah.

Vania pun membersihkan sisa makanan dan mencuci piring. Telah delapan tahun Vania sendirian mengurus anaknya. Delapan tahun lalu David, ayahnya Ifan, meninggal. Selama ini Vania berjuang mencari nafkah juga membesarkan. Tatapan mata anaknya saat mengintip membuat Vania kembali merasa ingin menjadi wanita seutuhnya, yang diinginkan oleh pria, dijamah oleh laki-laki, dicumbui lelaki.

Mama boleh masuk nak? tanya Vania setelah mengetuk pintu kamar anaknya.

Namun, tanpa menunggu jawaban, Vania langsung masuk dan mendapati anaknya sedang duduk di depan monitor. Vania lalu duduk di ranjang anaknya.

Ada apa mah?

Nak, mama rasa keputusanmu untuk kerja sehabis sekolah bakal kamu sesali nanti, kata Vania sambil mengusap kepala anaknya.

Kalau begitu adanya, biarlah nanti Ifan sesali apa yang Ifan putuskan hari ini.

Mama ingin kamu kuliah. Namun meski begitu, mama takkan menghukum kamu dengan menjual komputermu dan atau melarangmu melakukan ini-itu.

Jadi, daripada melarangmu, mama putuskan untuk memberimu hadiah jika dan hanya jika nilai rata-rata EBTANASmu lebih dari pada delapan puluh dan kamu lanjut kuliah.

Tapi mah, Ifan kan udah bilang Ifan gak perlu apa-apa lagi.

Vania menghelan nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya.

JIka nanti pada saat EBTANAS nilaimu lebih dari delapan puluh dan kamu putuskan akan kuliah, mama akan hadiahi kamu wanita telanjang.

Apa?

Jika nilaimu bagus, mama tak akan lagi memakai pakaian di rumah hanya jika sedang berdua denganmu, alias tak ada tamu.

Hehehe Mama emang pinter bercanda, tawa Ifan.

Wajah Vania yang terkesan dingin membuat Ifan menghentikan tawanya.

Jika tubuh usia empat puluh empat tahun masih menarik bagimu, maka peganglah janji mama ini. Tapi jika nilai rata-ratamu kurang dari delapan puluh, maka saat itu juga perjanjian ini mama batalkan. Setuju?

Mama gila, kata Ifan namun tangannya menyalami tangan mamanya tanda setuju.

Detik-detik berganti dengan menit. Menit pun silih berganti. Hari-hari pun terus berganti. Ifan kini mulai rajin belajar. Suatu hari tiba-tiba ada surat community college setempat yang mengabari bahwa Ifan diterima untuk meneruskan pendidikan di CC tersebut.

Kok di CC sih, kenapa gak di universitas negri aja?

Biar hemat duit dong mah. Kan di perjanjiannya juga yang penting kuliah, gak mesti di sini atau di situ.

Wow, Ifan yang dulu kemana yah?

Mereka pun tertawa, namun Ifan langsung belajar lagi. Vania semakin tegang menyadari nilai harian anaknya yang makin meningkat. Kadang Vania merasa malu sendiri mengingat janji kecilnya. Tapi di sisi lain Vania senang akan perubahan positif anaknya. Tentu bukan berarti Vania akan bersenggama dengan anaknya.

Malamnya acara makan terasa sunyi, sesunyi nyanyian senyap. Di meja terletak dokumen. Dokumen yang tak hentinya dilirik oleh Vania. Vania berdiri dan akan melangkah saat anaknya menghentikannya.

Mah, Ifan tahu mama akan melaksanakan perjanjiannya, tapi Ifan rasa tak perlu mah. Lagian mama lakuin itu untuk memotivasi Ifan. Bagi Ifan itu saja sudah cukup kok. Menjanjikan sesuatu yang akan memotivasi Ifan memang menakjubkan. Tapi Ifan kini sudah di jalur yang benar.

Setelah itu Ifan membersihkan meja makan lalu beranjak ke kamarnya meninggalkan Vania yang tersenyum sendiri sambil geleng-geleng. Perasaan tak nyaman di perut kembali datang. Ngocoks.com

Sabtu itu Ifan bangun agak siang. Setelah mandi, Ifan pun ke dapur ingin makan. Ifan tahu setiap sabtu mama selalu belanja. Namun Ifan melihat daster mama tergantung di pegangan pintu. Sambil melankah Ifan menghanduki rambutnya. Namun saat di dapur Ifan menjatuhkan handuknya.

Vania menoleh dan tersenyum saat melihat Ifan, baru bangun nak? Mau goreng telor apa roti bakar?

Ifan melongo melihat mamanya menawakan sarapan tanpa memakai pakaian. Matanya menjelajahi tubuh mama mulai dari payudaranya sampai jembut halus di selangkangan. Bahkan meski telah berkali-kali ngintip, namun tak sejelas sekarang.

Merasa ditelanjangi mata anaknya membuat Vania tertawa lalu kembali masak.

Inilah tubuh empat puluh empat tahun yang mama janjikan, kata Vania sambil menggoyangkan pantatnya.

Mama ngapain sih?

Bikin sarapan, mau telur apa roti?

Telur ajalah. Kenapa mama gak dibaju?

Menurutmu kenapa? Mama bukan orang yang suka ingkar. Mama bangga sama kamu. Vania melirik mendapati anaknya sedang menatap susu kirinya. Duduk aja nunggu goreng telor nikmati pemandangan. Kamu berhak mendapatkannya. Lalu Vania melanjutkan memasak.

Ifan hanya mampu menuruti, duduk sambil menatapi tubuh mamanya. Puting mamanya terlihat seperti menunjuk tegak. Bukan karena udara, namun karena sensasi yang dirasakannya.

Mama seksi sekali.

Makasih nak.

Vania pun selesai memasak dan menaruh makanan di meja makan. Vania ikut duduk.

Baiklah, biar ini bisa berjalan lancar, kita perlu membuat aturan. Setiap pulang, mama akan ke kamar mama lalu langsung melepas pakaian. Kalau ada tamu, kamu mesti membuka pintu sementara mama berpakaian.

Pasti seru liat mama lari – lari di rumah.

Pasti itu. Serius, kini kamu bisa menatap sampai bosan, seperti yang mama janjikan. Tapi tidak boleh menyentuh, apalagi menceritakan pada siapa pun. Jika nilaimu jatuh, drop out dan atau menyentuh, mama kembali berpakaian. Paham?

Paham. Tapi mama gak berharap ikut-ikutan telanjang juga kan?

Tentu saja tidak. Aneh kau ini. Udah, nikmati saja keberuntunganmu.

Sarapan pagi itu berlangsung dalam diam. Setelah makan, Ifan membereskan meja sambil melihat susu dan selangkangan mama.

Perut Vania kembali mengeluarkan sensasi saat tubuhnya ditatap oleh anaknya.

Ifan mencoba bertahan dari keinginan untuk menyentuh susu mama. Aturan main yang ditetapkan mamanya membuatnya patuh.

Kayaknya mama adalah mama paling keren deh.

Vania menatap mata anaknya, makasih, tapi mama yakin kamu pasti bilang gitu ke setiap wanita, apalagi yang telanjang di hadapanmu.

Tentu saja Ifan tak mungkin memanggil wanita lain mama sambil berharap melihatnya telanjang.

Vania tertawa lalu reflek memeluk anaknya. Ifan tentu menikmati sentuhan tubuh telanjang mamanya.

Selama kamu mematuhi aturan mainnya mama akan telanjang di hadapanmu. Sekarang, kamu mau mama ngapain?

Ifan melirik saat akan melangkah, gak tau mah, mungkin kita main wii bareng. Vania kembali tertawa mendengar ajakan main gim dari anaknya.

Vania memencet klakson saat melihat anaknya.

“Hei, tumben kamu agak telat.”

Ifan melemparkan tas ke jok belakang lalu duduk di samping mamanya.

“Hari ini mau ngapain nak?”

“Paling ngerjain pr mah di rumah temen.”

“Ntar mama sendirian dong.”

Mobil pun memasuki garasi lalu mereka pun masuk ke rumah.

“Mama lepas pakaian dulu, abis itu masak.”

“Tunggu mah. Mama tau kan Ifan terangsang berat?”

Vania tertawa, “gimana tidak, matamu jelajatan terus kan.”

“Mama telanjang di rumah kan hadiah bagi Ifan.”

“Ya.”

Vania kembali merasakan rasa mulas di perutnya mendengar pembicaraan anaknya.

“Boleh gak Ifan lihat mama membuka pakaian?” kata Ifan sambil menunduk.

Ternyata itu yang dikatakan anaknya. Vania pun merasa lega.

“Kamu mau mama melepas pakaian sambil menggodamu, kayak di film – film barat?”

“Bukan mah. Buka aja biasa, hanya sambil Ifan lihat.”

“Menarik. Memang tak melanggar perjanjian sih. Baiklah. Ayo ikut mama.”

Vania lalu memegang tangan anaknya dan membimbingnya ke kamarnya.

“Kamu duduk aja di kasur, mama ke kamar mandi dulu.”

Ifan duduk sambil melihat foto – foto di kamar. Ada foto dirinya sedari kecil, foto papa dan lainnya. Beberapa saat kemudian Vania keluar dari kamar mandi sambil memegang rambutnya.

“Baiklah, mama akan mulai pertunjukannya untuk anak mama seorang.”

“Kenapa mama gak cari pacar lagi setelah papa berpulang?” kata Ifan sambil melihat foto keluarga yang ada di meja rias.

“Mama ingin kerja dulu sambil besarin kamu. Jadinya mama gak punya waktu luang deh,” kata Vania sambil duduk di sebelah anaknya.

“Apa mama nanti akan nikah lagi?”

“Entahlah nak. Mama masih muda, mama akui, telanjang di hadapanmu membangkitkan sesuatu dalam diri mama yang telah lama terkubur, entah apa lagi nanti yang akan bangkit lagi. Menurutmu gimana, apa kamu kecewa selama delapan tahun ini hidup berdua hanya dengan mama?”

“Mama udah jadi mama terbaik menurut Ifan. Kemarin Ifan memang sempet gak fokus, tapi kini Ifan fokus lagi mah.”

“By the way bus way, mama kok langgar perjanjian sih? Mama buka dulu ah pakaiannya. Mama lapar nih.”

Tanpa bangkit, Vania membuka kancing blus lalu melepasnya. Vania menatap payudaranya yang terbungkus bh merah muda, lalu menatap anaknya melepas kaitan bh.

“Kamu pernah ngintip mama pas lagi hanya pake cd gak?”

“Pernah, tapi liat dari belakang doang,” kata Ifan sambil tersipu malu.

“Kayaknya mama udah gak punya privasi lagi sedari dulu ya,” kata Vania sambil meninju tangan anaknya, dengan pelan tentu, lalu melepas bh nya. “Capek gak berusaha lihat ini?” kata Vania sambil memegang payudaranya.

“Apaan, Ifan belum ngintip lagi kok,” kata Ifan sambil menatap payudara mamanya.

“Dasar nakal.”

“Mah, Ifan boleh nanya sesuatu gak?”

“Tentu saja sayang.”

“Setahu Ifan, puting kan warnanya coklat, kok yang mama enggak sih?” kata Ifan sambil menunjuk puting kiri mamanya.

“Hahaha… papamu dulu juga nanya gitu. Tapi mama suka kok, puting mama jadinya spesial, beda dari yang lain.”

Tanpa disadari jemari Vania mengelus putingnya sambil sesekali menariknya. Karena mata Vania menatap payudaranya sendiri, Vania tak menyadari gundukan di celana anaknya yang tiba – tiba muncul dan mata anaknya yang terus menatap jemarinya.

Vania lalu tersadar, “Kapan makannya kita?”

Vania lalu melepas rok lalu cdnya sendiri. Setelah telanjang, Vania kembali duduk sambil menekan kedua tangannya di belakan tubuh ke kasur.

“Mama lapar nih!”

Mata Ifan terpaku ke jembut mamanya.

“Apa mama pernah mencukurnya sampai gundul?”

Vania lalu menatap jembutnya, “Tidak pernah. Selalu begini saja. Emang udah berapa kali liat wanita yang jembutnya gundul?”

“Wanita telanjang yang Ifan liat cuma mama aja.”

“Serius? Kamu belum pernah ngapa – ngapain?”

“Tentu saja mah.”

“Terus kamu pernah ngapain aja?”

“Kok jadi Ifan yang ditanyain sih. Siapa yang telanjangnya sih?”

“Mama jadi penasaran sih.”

“Hanya pernah ngeraba susu sama ciuman mah. Terus kalau mamah, kapan mama mulai nakal.”

“Mulai nakal? Sebelum sama papamu, mama dua kali pacaran.”

Vania lalu berbaring menjadikan tangannya sebagai bantal. Satu kakinya di tekuk dan kaki lainnya ditumpu ke kaki itu. Tanpa disadarinya Vania perlahan merangsang anaknya.

“Ifan boleh tanya yang lain lagi gak?”

“Tanya aja. Udah terlanjur gini kok.”

“Katanya ada bagian tubuh yang kalau disentuh bisa membuat orgasme sambil menjerit. Benar gak tuh?”

Pertanyaan anaknya membuat Vania memikirkan vaginanya dan secara reflek melebarkan paha membuat anaknya dapat melihat vaginanya dengan jelas. Suara anaknya menelan ludah menyadarkan Vania.

“Mama gak tau kalau soal menjerit. Tapi yang pasti memang ada beberapa titik yang sangat sensitif. Ingat aturan main kita, boleh lihat sepuasnya tapi tidak boleh sentuh.”

“Tenang mah, Ifan takkan melanggar aturannya.”

Vania lalu menyentuh selangkangannya. Vania melebarkan paha dan menyelipkan jemari ke vaginanya.

“Mama tunjukan ini karena kamu nurut sama mama.”

Vania lalu melebarkan vagina dengan jemarinya lalu jari tengah menyentuh daging kecil. Nafasnya memberat saat jari itu menekan. Ifan mendekatkan kepala ke selangkangan yang terpampang di depannya.

“Ini yang disebut klitoris. Sangat sensitif. Nah, di dalamnya terdapa g-spot yang apabila tersentuh bisa membuat wanita orgasme. Tapi jangan berharap jeritan karena jarang yang sampai menjerit.”

Nafas Vania kembali memberat menyadari apa yang dilakukannya di hadapan anaknya sendiri. Tubuhnya sedikit kejang. Vania menggigit bibir mencoba menangan erangan. Vania juga menegangkan otot pahanya. Setelah tak lagi kejang, Vania melepas jemari dari selangkangannya.

“Udah ah pelajaran biologinya. Makan yuk.”

“Makasih mah. Mama bener – bener baik deh.”

Ifan membungkuk lalu mencium bibir mamanya sekilas. Tak sengaja dada Ifan menekan payudara mamanya. Sentuhan ini adalah sentuhan pertama sejak diberlakukannya aturan, namun Vania membiarkannya. Ifan lalu bangkit berbalik dan keluar kamar. Ifan merasa seperti anak yang paling beruntung.

Vania masih berbaring. Linglung. Perutnya kembali seperti mules. Vania masih terkesima. Lalu Vania teringat sebuah dildo hadiah dari suaminya yang di simpan di laci. Vania lalu bangkit ingin segera makan agar anaknya cepat keluar. Ifan ingin orgasme lagi seperti tahun – tahun dulu, lepas tanpa ditahan – tahan.

adminmarket
https://puripanteagarden.com

Leave a Reply