Sebenarnya aku punya beberapa pilihan untuk mendapatkan calon suami yang terbaik di mataku. Namun pilihanku jatuh kepada Bang Abe (nama lengkapnya Abraham). Karena menurutku, Bang Abe itu penyabar dan selalu mengalah dalam setiap perdebatan denganku. Selain daripada itu, Bang Abe mendapat gelar masternya di Amerika.

Aku pun teringat kata-kata Bang Abe, “Sebenarnya aku ini rugi kalau bekerja untuk orang lain. Aku mengejar master degree di Amerika dengan tujuan ingin membuka perusahaan sendiri, bukan mau bekerja di perusahaan orang lain. Tapi sekarang kita belum punya modal.

Karena itu terpaksalah aku bekerja untuk orang lain dahulu, sambil mengumpulkan modal untuk start di perusahaan kita sendiri. Dari perkawinanku dengan Bang Abe, lahirlah anak pertama kami, bayi perempuan yang cantik dan kami beri nama Vania, dengan nama kecil Nia.

Namun sampai Vania sudah berusia 3 tahun, keadaan kami masih “jalan di tempat”. Perbedaannya cuma satu hal. Bahwa sejak lahirnya Vania, aku mengajak Mbak Rumiar, kakak kandungku, tinggal di rumahku. Kebetulan Mak Rum sejak dua tahun terakhir berstatus janda tanpa anak.

Kehadiran Mbak Rum lumayan meringankan bebanku sebagai ibu rumah tangga. Karena Mbak Rum sangat menyayangi Nia. Maklum dia belum punya anak, sehingga naluri keibuannya dilimpahkan kepada anakku.

Mbak Rum juga sangat cekatan untuk bersih-bersih dan masak makanan untuk kami makan bersama. Tapi begitulah, keuangan kami belum kuat. Sehingga Mbak Rum hanya bisa masak dengan bahan seadanya saja.

Memang aku cukup prihatin dengan keadaan ini. Sampai aku sering punya keinginan untuk bekerja. Karena percuma aku punya gelar SE tapi tidak digunakan untuk meringankan beban suamiku.

Tapi suamiku selalu menolak permintaan ijinku untuk bekerja. Suamiku selalu menjawab, “Meskipun kamu jadi pejabat tinggi, aku lebih suka statusmu sebagai ibu rumah tangga, Sayang.”

Karena itu aku terpaksa berdiam diri di rumah terus sebagai ibu rumah tangga yang sejati. Padahal aku sudah gemas, ingin melihat suamiku sukses dengan profesinya. Kalau pun dia tetap bekerja, aku sih ingin melihatnya punya jabatan yang bagus di perusahaan besar itu.

Aku juga prihatin karena suamiku hanya mampu memiliki motor bebek. Dengan motor murahan itulah dia pulang-pergi ke kantornya. Padahal teman-teman seangkatan dengannya, rata-rata sudah punya mobil.

Rasanya percuma saja suamiku mengejar gelar master di Amerika, tapi kalah dengan teman-teman seangkatannya yang masih S1. Ada juga yang S2, tapi didapatkan di Indonesia. Gelarnya juga magister, bukan master seperti suamiku. Tapi keadaannya jauh lebih sukses daripada suamiku.

Untungnya aku ini bukan seorang istri yang banyak tuntutan. Aku tak pernah meminta pakaian dan perhiasan yang mahal-mahal. Aku pun tak pernah membeli alat make up yang serba impor, karena pada dasarnya aku tak terlalu mengandalkan alat make up. Memoles bibir dengan lipstick pun hanya sekali-sekali saja.

Mengenai keadaan keuangan pun, mungkin aku harus pasrah saja. Karena mungkin nasib kami belum bisa juga meraih sukses seperti orang lain. Siapa tahu kelak kami bisa mengejar teman-teman yang sudah duluan sukses itu.

Di sudut lain, masalah seksual misalnya, berjalan secara normal menurutku. Meski Bang Abe bukan sosok yang menggebu-gebu di atas ranjang, namun aku selalu terpuaskan oleh kejantanannya.

Dalam komunikasi pun selalu normal. Karena suamiku seorang penyabar dan selalu mengalah padaku, kecuali ijin bekerja itu yang tetap tidak diberikan padaku.

Karena itu, kami tidak pernah bertengkar dalam soal sekecil apa pun. Lalu kenapa aku harus mengkhayalkan sesuatu yang belum ditakdirkan untuk meraihnya? Kenapa aku pun tidak mengikuti sikap dan perilaku suamiku yang penyabar itu?

Ya, barangkali aku harus bersabar menghadapi segala kenyataan ini. Meski banyak pahitnya, harus kutelan dengan sabar, sabar dan sabar.

Terlalu ngotot juga bisa hypertensi nanti… hihihihiiii…!

Pada suatu sore, suamiku pulang dalam keadaan yang lain dari biasanya. Dia pulang dengan sebuah sedan mahal. Aku tahu benar sedan itu built up dari Eropa, yang harganya pasti milyaran.

Aku terheran-heran dibuatnya. Lalu menghampiri suamiku yang baru turun dari mobil mewah itu. “Mobil siapa ini Bang?” tanyaku.

“Punya Kevin,” sahut suamiku.

“Kevin mana?”

“Kevin… putra mahkota perusahaan.”

“Owh anaknya big boss itu?”

“Iya. Tiga bulan lagi juga dia akan menjadi orang nomor satu di perusahaan. Karena ayahnya sudah sakit-sakitan, punya penyakit jantung segala.”

“Kevin kan masih muda sekali Bang. Apa mampu dia mengendalikan perusahaan sebesar itu?”

“Umurnya sudah duapuluhtiga tahun. Sudah jadi sarjana tamatan Inggris pula. Nanti deh kita bicarakan… ada sesuatu yang harus kita rundingkan.”

Suamiku melangkah masuk ke dalam rumah kami yang di pinggir jalan besar tapi masih sangat sederhana.

“Memangnya ada apa Bang? Kok seperti serius gitu? Ada kabar baik atau…”

“Siapin makan dulu deh. Perutku lapar.”

“Emang tadi gak makan siang di kantin kantor?”

“Makan. Tapi hanya sedikit. Banyak yang harus dipikirin sih.”

Aku bergegas menyiapkan makanan untuk suamiku. Tidak ada yang istimewa makanan yang kuhidangkan untuknya. Cuma sayur asem, ikan asin jambal, kerupuk kampung dan sambel bajak.

Tapi suamiku tampak bersemangat menyantap makanan yang kuhidangkan itu. Memang dia sudah mulai bosan dengan makanan-makanan mewah dan kebarat-baratan, lalu kembali ke makanan tradisional begitu.

Aku belum lapar. Karena itu aku hanya duduk di samping suamiku, untuk menemaninya makan.

“Nia mana?” tanyanya setelah selesai makan.

“Lagi tidur di kamar Mbak Rum.”

Setelah menyeka mulutnya dengan kertas tissue, Bang Abe menarik pergelangan tanganku, “Kita ngobrol di kamar aja yuk. Biar bebas ngomongnya.”

Kuikuti saja langkah suamiku menuju kamar.

Suamiku merebahkan diri, menelentang di atas bed. Aku pun rebahan di sampingnya. Tanpa keberanian untuk mulai bicara.

Lalu dia mulai berkata, “Sebenarnya masalah ini masalah berat. Tapi demi kemajuan kita, harus dihadapi juga dengan hati dan otak dingin.”

“Masalah apa sih? Kok Abang seperti berat gitu menyampaikannya. Apakah ada tugas baru yang harus Abang hadapi?” tanyaku.

“Seperti yang sudah kubiang tadi, tiga bulan lagi Kevin akan sepenuhnya memegang kendali perusahaan. Karena dia anak tunggal big boss yang sudah sakit-sakitan itu. Aku pun berusaha mendekati dia sejak beberapa hari belakangan ini. Dengan tujuan, semoga nanti aku dikasih jabatan penting di perusahaan.

“Memangnya apa permintaan Kevin itu Bang?”

“Sebelum menjawab soal itu, aku ingin mengingatkan bahwa kamu pernah menghadiri pesta ulang tahun Kevin dan waktu perayaan anniversary perusahaan kan?”

“Iya, “aku mengangguk sambil mengingat-ingat dua kejadian penting itu.

“Apakah kamu melihat sikap Kevin yang berbeda saat itu?”

“Nggak. Biasa-biasa aja,” sahutku berbohong. Padahal aku memang merasa risih karena di kedua even itu Kevin menatapku terus sambil tersenyum-senyum. Tapi masa soal sekecil itu harus kusampaikan kepada suamiku?

“Kevin sangat tergiur olehmu. Dan akan mendudukkanku di posisi penting dalam perusahaan asalkan… “Bang Abe tidak melanjutkan kata-katanya.

“Asalkan apa?” tanyaku penasaran.

“Asalkan kamu bersedia menemaninya di villa, satu atau dua malam saja.”

“Gila! Mentang-mentang orang tajir melilit! Seenaknya aja meminta istri orang. Memangnya aku ini perempuan apa?”

“Tapi… apa salahnya kalau kita berkorban demi kemajuan kita? Aku yakin kalau permintaannya itu dikabulkan, masa depan kita bakal gilang-gemilang, Sayang.”

“Kevin kan anak konglomerat. Cewek yang seperti bidadari pun bisa didapatkannya. Kenapa harus memilih istri orang?”

“Karena kamu punya daya tarik yang luar biasa, Sayang.”

“Aaaah… aku nggak mau diperlakukan sewenang-wenang oleh siapa pun.”

“Sayang… tadi dia sampai berkali-kali minta maaf dan minta aku tidak tersinggung.”

“Lalu Abang menyetujui keinginannya? Begitu?”

“Belum kusetujui. Aku hanya bilang akan menunggu keputusanmu. Jadi sekarang bola ada di tanganmu. Kalau ingin masa depan kita cemerlang, ikuti saja keinginan Kevin itu. Kamu kan sudah ikut program KB. Jadi pasti Kevin takkan bisa menghamilimu.”

“Baaang…! Aku merinding nih dengernya juga. Udah ah. Abang harus tegas menolaknya. Kalau nanti kedudukan Abang tidak ada perubahan, pindah aja ke perusahaan lain. Kenapa harus ngikutin rencana jahanam seperti itu?”

“Seperti yang kubilang barusan, Kevin berulang-ulang minta maaf, minta agar aku tidak tersinggung. Sama sekali tidak kelihatan arogan. Itu pun kalau kamu mau. Kalau tidak, ya gampang… tinggal laporan aja padanya besok, bahwa kamu tidak mau. Selesai. Tapi resikonya ya gitu itu. Kita akan tetap seperti sekarang ini.

Aku terdiam. Dengan perasaan masih jengkel.

“Orang-orang yang sudah sukses, pasti ada terobosan dengan jalannya masing-masing.”

“Tapi bukan dengan menjual memek istrinya, kan?”

“Aku juga takkan menjualmu. Meski dibeli berapa pun aku takkan pernah menjualmu,” ucap suamiku sambil membelai rambutku dengan lembut. Membuat keteganganku agak mereda.

“Kalau aku mengikuti omongan Abang, keutuhan dan nilai-nilai suci perkawinan kita pasti akan hancur.”

“Tidak! Bahkan sebaliknya… aku akan semakin mencintaimu, Sayang…”

“Omong kosong. Mana ada suami yang tambah mencintai istrinya setelah si istri dinodai oleh lelaki lain?!”

“Ya buktikan aja nanti. Sebagai lelaki, aku pantang menjilat air ludahku sendiri. Masalahnya, jika kamu melaksanakan rencana yang kuanggap sebagai kesempatan baik itu, aku akan menganggapmu turut membantu kemajuan karierku. Bukan sekadar membiarkan lelaki lain menodaimu.”

Aku terdiam.

Suamiku berkata lagi, “Coba pikirkan unsur-unsur positifnya dulu. Kalau kamu pandai mengambil hati Kevin, apa pun permintaanmu pasti dikabulkan. Misalnya mobil yang di depan itu kamu pinta, pasti diberikan. Memang harganya milyaran. Tapi buat konglomerat seperti Kevin, beli seratus mobil mewah pun gak ada apa-apanya.

Aku masih terdiam.

Suamiku melanjutkan, “Coba kamu pikirkan dengan positif thinking. Kevin itu tampan, karena dia itu berdarah campuran Jerman dengan Tionghoa dan Indonesia. Masih muda pula, empat tahun lebih muda dariku. Dan aku akan mengijinkan apa pun yang akan kamu lakukan waktu meladeninya. Bahkan sebaiknya dia dirayu tapi lakukan secara halus sekali.

Aku terdiam terus. Bahkan kupeluk bantal guling sambil membelakangi suamiku. Seolah mau tidur. Padahal aku tetap menunggu suamiku berkata lagi.

Tapi dia malah turun dari bed dan keluar dari kamar.

Aku jadi bingung sendiri. Karena semua yang telah dikatakan oleh suamiku tadi, benar-benar mengejutkanku. Semua itu tak pernah terpikir olehku sebelumnya.

Lalu apa yang harus kulakukan? Haruskah aku membuang “kesempatan bagus” seperti yang dikatakan olehnya tadi? Bukankah aku sudah berkali-kali minta izin untuk bekerja, karena ingin membantunya? Lalu sekarang ada “terobosan”, tapi semuanya itu tergantung pada keputusanku.

Diam-diam aku turun dari bed, mengambil selimut tipis, lalu kubawa selimut itu ke luar. Ternyata suamiku sedang duduk di ruang tamu sambil duduk di sofa panjang yang menghadap ke televisi.

Aku menghampirinya. Lalu merebahkan diri di atas sofa dan menumpangkan kepalaku di atas paha suamiku, sambil menyelimuti diriku sendiri karena kalau sudah menjelang malam begini suka banyak nyamuk.

Suamiku tidak bicara sepatah kata pun. Hanya membelai rambutku yang terurai ke atas pahanya.

“Bang…” ucapku memecahkan kebisuan.

“Hmm?”

“Kalau keinginan Kevin itu ditolak, apa akibatnya?”

“Ya takkan ada apa-apa. Kita akan berada di posisi semula. Serba pas-pasan. Bahkan mungkin aku akan resign saja, karena tidak kuat dengan penghasilan yang tidak sesuai dengan kebutuhan kita.”

“Lalu setelah resign mau kerja di mana?”

“Nggak usah nyari kerja. Mau usaha sendiri aja. Kalau perlu dagang gorengan juga gak apa-apa.”

“Seorang master lulusan Amerika mau dagang gorengan?!”

“Nggak apa-apa. Hidup di zaman sekarang ini tak perlu gengsi-gengsian. Siapa tau dari dagang gorengan kita bisa lebih sukses daripada sekarang.”

Aku terdiam. Membayangkan suamiku mendorong gerobak yang dilengkapi dengan wajan berisi minyak goreng dan kompor dengan tabung gas kecil.

Ooooh… yang bener aja!

Lalu kalau sudah seperti itu, siapa yang mau disalahkan? Aku? Takdir? Siapa?

Ya Tuhan! Semoga hal itu jangan pernah terjadi dalam kehidupan kami!

“Lalu… kalau kita kabulkan keinginan Kevin itu, apa akibatnya?” tanyaku.

“Banyak sekali yang akan terjadi. Aku bisa ditempatkan di posisi penting seperti yang kita harapkan. Kamu juga akan mendapatkan beberapa efek positif. Apa pun yang kamu minta pada Kevin, pasti dikasih.”

“Maksudku, apa akibatnya terhadap keutuhan perkawinan kita Bang.”

“Akibatnya… aku akan semakin mencintai dan menyayangimu. Karena beberapa kemajuan akan terjadi. Dan itu berkat jasamu. Berkat semangatmu untuk membantu karierku.”

“Bukannya Abang bakal jijik mendekatiku yang telah dinodai oleh orang lain?” tanyaku dengan nada kurang percaya.

“Buktikan saja nanti. Kalau sampai seperti itu, ludahi saja mukaku. Pernahkah aku ingkar janji selama ini? Pernahkah aku menjilat air ludahku sendiri?”

Memang suamiku tidak pernah ingkar janji. Apa pun yang diucapkannya selalu dibuktikan. Karena dia berprinsip, seorang lelaki itu harus bisa dipegang omongannya.

Aku duduk di samping suamiku. Kemudian kucium pipinya dengan mesra. Tanpa melontarkan kata-kata. Karena aku bingung harus berkata apa.

“Jadi bagaimana? Apakah kamu sudah mulai berpikir secara positif thinking?” tanya suamiku.

“Aku akan mengikuti apa pun yang Abang inginkan. Dengan syarat, jika kelak terjadi hal-hal negatif, Abang yang harus bertanggung jawab. Jangan menyalahkan aku.”

“Tentu saja semua akan kupertanggungjawabkan Sayang. Termasuk janjiku akan semakin mencintai dan menyayangimu… akan kubuktikan nanti.”

“Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyaku dengan perasaan bimbang.

“Sekarang baru hari Rabu. Besok aku akan mengatakan padanya bahwa kamu masih belum memberi keputusan, supaya dia juga jangan terlalu mudah mendapatkanmu. Pada hari Jumat, baru aku akan mengatakan bahwa kamu sudah bersedia mengikuti kehendaknya.”

“Lalu?”

“Kemungkinan pada Jumat sorenya aku akan mengantarkanmu ke villa milik Kevin. Dengan mobil mahal itu. Lalu hari Minggu sore aku akan menjemputmu lagi.”

“Iiih… aku degdegan mendengarnya juga Bang.”

“Biasa itu sih. Orang kan suka takut pada sesuatu yang belum diketahuinya. Tapi setelah tahu, pasti gak degdegan lagi.”

“Gak tau juga. Sebenarnya aku masih bimbang. Tapi aku juga berusaha untuk tak mengecewakan Abang.”

“Iya… baguslah.”

“Kalau Jumat sore aku diantarkan ke villa itu, Abang sendiri mau ke mana?”

“Ya pulanglah. Sambil ngajak main Nia jalan-jalan pakai mobil yang luar biasa nyamannya itu.”

“Kalau Mbak Rum nanyain ke mana aku, gimana?”

“Mmmm… gampanglah. Aku mau bilang kamu sedang bantu-bantu masak di rumah Kak Reni, karena mau ada rapat dua hari berturut-turut. Gimana?“

“Iya… itu jawaban bagus,” sahutku. Yang dimaksud Kak Reni itu adalah kakak kandung suamiku, yang aktif di dalam sebuah organisasi.

“Tapi,” kataku lagi, “kalau Jumat sore aku diantarkan dan Minggu sore baru dijemput lagi… berarti lebih dari sehari semalam aku harus menemani Kevin, Bang.”

“Iya, dua hari kan gak lama. Hitung-hitung nyari pengalaman menikmati hari-hari weekend bersama orang yang sangat tajir. Pasti segalanya serba wah…”

“Sebenarnya aku heran juga, kenapa Kevin bisa tertarik sama aku? Dia kan punya duit berlimpah ruah. Cewek yang seperti apa pun bisa didapatkannya. Kenapa dia malah tertarik sama aku?”

“Bangsa kita memang suka sekali memikirkan kekurangannya, tanpa memikirkan kelebihannya. Padahal kelebihan itu harus dikembangkan sebaik mungkiin. Seperti kamu ini Sayang. Kamu ini punya paras cantik. Punya tubuh kayak biola. Pokoknya kamu ini sangat cantik dan seksi habis.”

“Aku kan lebih tua empat tahun kalau dibandingkan dengan Kevin Bang.”

“Justru itu yang disukai Kevin.”

“Maksudnya?”

“Kevin berterus terang padaku, bahwa dia itu pengagum wanita yang lebih tua darinya. Dia sama sekali tidak suka cewek yang masih remaja. Sebenarnya banyak lelaki yang seperti itu. Lelaki yang hanya tertarik kepada wanita yang usianya lebih tua… bahkan ada lelaki muda yang hanya tertarik pada wanita berusia empatpuluh tahunan ke atas.

“Terus… nanti apa saja yang harus kulakukan di villa itu?” tanyaku.

“Ikuti mengalirnya arus saja.”

“Tapi Bang… bagaimana kalau dia menginginkan hubungan seks?”

“Ladeni aja. Bikin dia sepuas mungkin.”

“Iiiih… gak kebayang…! Emangnya Abang gak cemburu kalau aku sampai digituin sama Kevin?”

“Tentu aja cemburu. Tapi aku akan mengembangkan cemburu itu menjadi gairah.”

“Maksudnya?”

“Lihat aja nanti. Sepulangnya dari villa itu, pasti aku jadi semakin bergairah untuk menyetubuhimu, Sayang.”

“Begitu ya?”

“Iya… duh… ini baru membicarakannya saja kontolku udah ngaceng. Kita main dulu yok,” ucap suamiku sambil berdiri dan menuntun tanganku, masuk ke kamar lagi.

Setelah menutup dan mengunci pintu, suamiku langsung mencumbuku. Menyingkapkan dasterku sampai ke perut, lalu menarik celana dalamku sampai terlepas di sepasang kakiku. Dan menyerudukkan mulutnya ke kemaluanku yang senantiasa tercukur bersih ini.

Bang Abe mulai menjilati kemaluanku. Ini yang paling kusukai. Foreplay dengan cunnilingus. Membuatku klepek-klepek dalam nikmatnya jilatan suamiku.

Tak lama kemudian suamiku sudah menelanjangi dirinya. Aku pun melepaskan dasterku sehingga kami jadi sama-sama telanjang bulat.

Batang kemaluan suamiku pun mulai membenam ke dalam liang kewanitaanku yang sudah basah akibat jilatannya barusan.

“Ini aku sambil membayangkan dirimu sedang disetubuhi oleh Kevin,” ucap suamiku sambil mulai mengentotku perlahan.

Ah… tahukah suamiku bahwa aku pun sedang membayangkan hal yang sama? Membayangkan tengah digauli oleh putra mahkota perusahaan besar itu?

Memang luar biasa akibatnya. Suamiku jadi begitu gagahnya menyetubuhiku. Sementara aku sendiri merasakan luar biasa nikmatnya entotan suamiku yang tengah kubayangkan sebagai entotan Kevin…!

Apakah aku mulai bisa “positif thinking” seperti dikatakan berkali-kali oleh suamiku tadi? Lalu apakah gairah kami ini timbul sebagai akibat dari “positif thinking” itu juga?

Suamiku memang terasa sangat bergairah menyetubuhiku. Padahal menurut pengakuannya, gairah itu langsung timbul sebagai akibat dari pembicaraan mengenai Kevin. Apalagi jika aku sudah melaksanakan rencana yang sudah diatur oleh suamiku bersama calon big bossnya itu nanti…!

Ya… pikiranku mulai bergeser ke sudut lain. Sudut tentang ketampanan Kevin yang masih belia itu. Pikiran tentang segarnya fisik lelaki yang lebih muda dariku itu.

Ah… aku harus mengakuinya secara jujur, bahwa aku mulai terhanyut dalam khayalan tentang rencana suamiku yang akan kulaksanakan itu…!

Tapi biar bagaimana pun juga aku ini seorang istri. Aku tetap harus pandai menjaga mulutku sendiri, dalam keadaan apa pun.

Keesokan harinya, tiada berita penting yang kudapatkan dari suamiku, selain berita bahwa ia sudah mengatakan kepada Kevin, bahwa aku belum memutuskan menolak atau menyetujui keinginannya itu. Namun mobil mahal itu tetap dibawa pulang lagi. Sementara motor bebeknya ditinggalkan di kantor.

Besoknya lagi, adalah hari Jumat yang membuatku berdebar-debar menunggu kabar dari suamiku. Karena kalau sudah disampaikan kepada Kevin bahwa aku sudah menyetujuinya, maka nanti sore aku akan diantarkan oleh suamiku menuju villa yang aku belum tahu di mana letaknya.

Jam satu siang, ada call dari suamiku, “Sayang… barusan udah disampaikan. Dia kelihatan seneng banget. Jadi… nanti siap-siap aja ya. Jam tiga aku pulang dan akan langsung mengantarkanmu ke villa. Itu aja beritanya. Ini aku ngomong juga ngumpet-ngumpet. Takut ada karyawan yang nguping.”

“Iya Bang, “hanya itu jawabanku. Lalu hubungan seluler ditutup oleh suamiku.

Dan aku degdegan sendiri, karena membayangkan apa yang bakal terjadi di villa itu nanti. Membayangkan Kevin langsung menelanjangiku, lalu menyetubuhiku? Ah, jangan seperti itu benar. Aku sih maunya diperlakukan secara romantis dulu, supaya birahiku terpancing secara perlahan tapi pasti.

Yang pertama kulakukan adalah mengemasi pakaian yang akan kubekal, kumasukkan dengan rapi di tas pakaianku. Lalu mandi sebersih mungkin.

Selesai mandi, aku telanjang di depan cermin besar di dalam kamarku.

Kuperhatikan dengan teliti, apa kekuranganku?

Tapi seperti kata Bang Abe, aku harus memperhatikan kelebihanku. Lalu memanfaatkan kelebihanku ini. Ya… memang wajahku cantik, kulitku juga putih mulus. Aku punya sepasang payudara dan bokong yang gede, namun pinggangku ramping dan tiada kerutannya, meski sudah pernah hamil dan melahirkan. Mungkin itulah sebabnya banyak teman yang mengatakan tubuhku ini laksana biola.

Sepintas lalu orang takkan menyangka kalau aku ini sudah punya anak. Lagipula usia 27 tahun mungkin belum termasuk tua ya?

Tapi patutkah Kevin yang tajir melilit bisa tergiur olehku? Apakah dia sekadar ingin membuatku sebagai pelampiasan nafsunya belaka ataukah diikuti dengan perasaan yang belum disampaikan padaku?

Entahlah. Nanti sang Waktu yang akan menjawabnya.

Tepat jam tiga sore suamiku datang.

“Kirain udah berdandan,” kata suamiku ketika aku menyongsongnya masih dalam kimono.

“Takut jam tiga itu Abang berangkatnya dari kantor.”

“Ya udah. Cepetan ganti baju sama yang agak pantes tapi seksi.”

“Abang gak mau makan dulu?”

“Gak. Tadi di kantin kantor udah makan banyak. Masih kenyang.”

Lalu aku mengganti pakaianku dengan gaun yang dipilih oleh suamiku. Gaun terusan berwarna orange yang bagian bawahnya terlalu pendek, sehingga mempertontonkan sebagian besar paha putih mulusku.

Sebenarnya aku agak segan memakai gaun ini, karena seperti mau pameran paha. Sementara bagian atasnya pun mempertontonkan batas kedua payudaraku terlalu lebar, juga seolah pameran toket gedeku.

Tapi karena suamiku yang memilihkan gaun ini untuk kupakai, akhirnya kukenakan juga.

Sebelum berangkat, aku berpesan kepada Mbak Rum, bahwa aku akan menginap dua malam di rumah saudaranya Bang Abe, karena “mau bantuin masak untuk peserta rapat selama dua hari berturut-turut”.

Beberapa saat kemudian, aku sudah duduk di dalam sedan mahal itu. Memang nyaman sekali, suara mesinnya hampir tak terdengar, suspensinya pun halus sekali. Sehingga aku seolah duduk di dalam mobil yang tidak bergerak. Padahal saat itu kami sudah berada di jalan tol dengan kecepatan 100 km/jam.

Aku punya saudara sepupu yang kalau sudah berada di jalan tol suka tancap gas sampai 140km/jam. Tapi untungnya suamiku tak suka main kebut begitu. Dahulu, waktu masih suka mengemudikan mobil orang tuanya pun, kecepatannya tak pernah lebih dari 100km/jam. Malah dia suka bilang, “Gak ada yang mau melahirkan, kenapa harus ngebut?!

“Nanti berusahalah agar bisa mengambil hati Kevin. Soalnya aku tau, kalau sudah terambil hatinya, Kevin itu tidak sulit untuk menghambur-hamburkan uangnya,” kata suamiku di belakang setir.

“Ohya… Kevin itu sudah punya istri belum Bang?” tanyaku.

“Belum. Dia masih bujangan,” sahut suamiku, “Dalam keseharian, kulihat Kevin itu baik kok. Pegawainya banyak yang cantik, tapi tak pernah diganggu olehnya. Makanya aku juga heran, kenapa dia sangat kagum padamu. Mungkin kamu itu sesuai dengan kriterianya.”

“Istri orang juga termasuk kriterianya? Hihihiii…”

“Mmmm… mungkin hal itu suatu kebetulan saja. Kebetulan yang sesuai dengan kriterianya itu sudah punya suami.”

“Tapi aku dagdigdug terus rasanya Bang. Soalnya aku gak pernah menghianati suami sejengkal pun. Sekarang tau-tau harus…”

“Santai aja Sayang. Semua yang akan terjadi kan atas izin lisan dariku. Kamu malah harus bangga karena jadi satu-satunya wanita yang dipilih oleh calon orang nomor satu di perusahaan.”

“Tapi hatiku belum bisa menerima Bang. Biar bagaimana aku ini seolah dipaksa untuk meninggalkan suami tercintaku…”

“Kamu akan mendukung perjuanganku, lewat pengorbananmu. Bukan akan meninggalkanku.”

Rasanya aku dicekoki terus dengan aksioma-aksioma baru, yang mulai menjejali benakku. Bahwa apa pun yang akan terjadi di villa nanti, adalah demi kemajuan karier suamiku.

Dan aku seolah sedang membacakan mantra di dalam batinku. Mantra yang seolah pembenaran pada apa pun yang akan kulakukan di villa nanti: Demi kemajuan karier suamiku. Demi kemajuan karier suamiku. Demi suamiku. Demi suami tercintaku…!

Tapi setelah tiba di villa yang lumayan jauh dari kotaku itu, tak urung aku degdegan lagi. Tak ubahnya anak kecil yang mau disuntik…!

Ternyata suamiku membawa kunci villa megah itu. Dia sendiri yang membuka pintu depan dan mengajakku masuk ke villa itu.

Aku berbisik ke telinga suamiku, “Dia belum datang?”

Suamiku malah memperlihatkan WA di hapenya. WA dari Kevin yang berbunyi.

-Aku juga sudah dekat. Sepuluh menit lagi pasti tiba di villa-

Aku semakin dagdigdug setelah membaca WA itu. Dengan pikiran serba salah. Karena sebentar lagi suamiku akan pulang, lalu tinggal aku bersama Kevin berdua saja di villa ini.

“Bang… nanti Abang tidur sama siapa di rumah?” tanyaku asal nyeplos, untuk mengurangi perasaan gugup ini.

“Sendirian aja,” sahutnya, “Nia kan sama Mbak Rum.”

“Bang… biar adil, nanti Abang tidur sama Mbak Rum aja ya.”

“Ngaco kamu. Kalau aku nafsu nanti gimana?”

“Ya salurin aja sama Mbak Rum. Dia kan udah lama menjanda. Belum pernah melahirkan pula. Pasti memeknya lebih enak daripada memekku.”

“Jangan ngawur ah ngomongnya.”

“Aku serius Bang. Soalnya aku merasa kasian juga sama Abang. Pasti Abang merasa tersiksa juga nanti, sambil membayangkan aku bersama Kevin. Daripada tersiksa, mendingan salurkan aja sama Mbak Rum. Tapi nanti rekam suaranya, pake hape juga bisa kan?”

“Sudahlah jangan ngomong ngelantur. Mendingan siap-siap aja untuk menyenangkan hati Kevin. Jangan kecewakan dia. Ingat… tiga bulan lagi dia bakal jadi orang nomor satu di perusahaan. Dialah yang bakal menentukan nasib kita ke depannya nanti. Nah tuh… mobilnya sudah datang…” sahut suamiku sambil menunjuk ke depan.

(Karena aku sering mengamati perkembangan harga-harga mobil di internet, sambil melamun… seandainya kami sudah punya mobil…).

Kevin masuk ke dalam villa dalam pakaian sport, celana pendek, baju kaus dan sepatu olahraga, semuanya serba putih.

Dan Kevin menghampiriku yang berdiri kaku di dekat pintu depan.

“Apa kabar Mbak?” sapanya sambil menjabat tanganku.

“Baik Boss,” sahutku tanpa keberanian menatap matanya.

Suamiku juga berdiri tegak dan kaku di sampingku. Lalu berkata, “Maaf Boss… kalau tidak ada lagi yang harus aku kerjakan, aku mohon pamit pulang.”

“Oke, “Kevin mengangguk sambil tersenyum, “Hari Minggu sore jemput istrinya ke sini ya.”

“Siap Boss.”

Lalu Kevin menepuk bahu suamiku sambil berkata, “Terima kasih atas pengertiannya ya. Nanti akan berbuah hal positif pada Abe juga.”

“Siap Boss. terima kasih. Aku mohon pamit.”

“Ohya… sebentar, “Kevin membuka tas kecil yang tergantung di bahunya. Lalu mengeluarkan amplop berwarna coklat muda, mungkin berisi segepok uang di dalamnya. Amplop itu diberikan kepada suamiku sambil berkata, “Ini untuk beli pertamax.”

“Siap! Terimakasih Boss.”

Suamiku cipika-cipiki dulu denganku, kemudian meninggalkanku bersama Boss Kevin berdua saja di ruang tamu villa megah ini.