Mutiara Jembatan Lima
Mencari ketenangan di tengah keramaian. Itulah yang aku dapatkan setelah menemukan rumah kontrakan di daerah padat pecinan di sekitar kawasan Jembatan Lima, Jakarta. Meskipun kawasan ini terlihat agak kumuh, tapi setelah sebulan aku menempati rumah kecil yang kukontrak, suasananya asyik juga.
Tadinya aku indekost di tempat yang disebut kost-kostan eksekutif. Lingkungannya memang tenang, tetapi rasanya jenuh juga seperti tinggal di hotel berlama-lama. Pemandangannya monoton. Sedangkan di tempat baruku ini, pemandangan beraneka ragam, maklum daerahnya padat.
Setelah menceritakan tempat tinggalku, aku memperkenalkan diri. Namaku Dino, umur sekarang 32 tahun, belum berumah tangga. Pekerjaan menempati posisi yang lumayan sebagai manager di salah satu perusahaan multinasional.
Kalau ada pembaca yang bertanya, kenapa tidak tinggal di apartemen. Jawabannya, dua unit apartemenku aku sewakan. Maksudnya hasilnya untuk bayar cicilan. Meski punya apartemen, tapi sejatinya aku kurang suka tinggal di sana, rasanya jadi kuper, karena interaksi dengan lingkungan sangat minim.
Selain menyewakan apartemen aku memiliki beberapa sumber pendapatan yang kalau era sekarang disebut passive income. Jadi kalau soal duit, aku tidak ada masalah. Mau berumahtangga, rasanya belum mendesak.
Banyak calon, cantik-cantik, terpelajar dari kalangan keluarga kaya. Tapi rasanya untuk dijadikan istri belum pas aja. Enaknya mereka dinikmati saja. Mereka juga begitu kok, senang kalau melakukan sex just for fun aja.
Keluargaku, maksudnya orang tuaku yang tinggal di Surabaya memang sudah berkali-kali mendesak agar aku segera membangun rumah tangga. Jawabanku hanya “belum ada yang cocok”
Kembali ke kehidupanku di kawasan padat. Aku memang sangat menikmati kehidupanku di lingkungan baru. Banyak kutemui orang-orang yang hidupnya sangat pas-pasan. Dapat duit hari ini untuk makan hari ini. Pemerintah sibuk dengan urusan politik, sehingga perhatian untuk kaum jelata ini seperti terabaikan.
Salah satu yang kuketahui adalah langgananku tempat mencuci baju. Dia kupanggil Bu Indira. Hidup di kamar kontrakan yang sempit dengan seorang anak. Sumber mata pencahariannya hanya dari upah mencuci baju.
Konon tadinya dia dari keluarga yang lumayan, tetapi karena suaminya sakit, duit dan rumahnya habis untuk membiayai pengobatan suaminya, sampai akhirnya dia meninggal. Kini Bu Indira terpaksa hidup miskin di kamar kontrakan dengan seorang anaknya.
Kalau rasa ibaku kumat aku sering memberi ongkos lebih. Mungkin karena aku dipandangnya sebagai orang berduit, maka dia sering pinjam uang . Sepanjang aku sedang pegang uang, permintaannya tidak pernah aku tolak. Tapi seingatku, aku selalu memenuhi permohonannya, meskipun tidak selalu 100%.
Jika ku lihat dengan lebih seksama, Bu Indira sebenarnya tidak terlalu buruk. Umurnya baru 30an, bodynya tidak terlalu gemuk, wajahnya manis Jawa. Mungkin karena tekanan hidup sehingga dia tidak mampu merawat diri. Mungkin kalau dirawat tampilannya gak kalah dengan tante-tante yang mondar-mandir di Senayan City.
Setelah sekian kali dia memohon pinjam uang aku timbul ide. Dia selalu beralasan pinjam uang untuk bayar kontrakan. Dia kutawari menempati salah satu ruangan di rumahku yang tidak terpakai. Ruangan itu sebenarnya ruang makan, tetapi kalau di pakai sebagai ruang tidur kayaknya masih memadai dan cukup luas. Hanya ruangan itu tidak tertutup.
Mulanya Bu Indira rikuh menerima tawaranku. Setelah aku desak bahwa aku membutuhkan tenaga untuk membersihkan rumah, sekaligus memasak, akhirnya dia mau juga.
Ruang makan segera aku sulap menjadi ruang tidur, dengan melengkapi tempat tidur spring bed ukuran 160 dan sebuah lemari pakaian.
Bu Indira jadilah tinggal bersamaku dengan anaknya yang semata wayang. Rumahku jadi bersih terawat. Dia rupanya pintar memasak, sehingga aku melengkapi dapurku dengan peralatan masak. Dia tidak mau dibayar sebagai pembantu, karena katanya kesediaanku menampung dia dirumahku sudah lebih dari bayaran yang harus dia terima.
Aku membebaskan dia untuk tetap menerima cucian. Karena itulah sumber penghidupan dia yang sudah dia kerjakan sejak lama.
Langganannya cukup banyak, sehingga aku sering iba juga melihat dia harus menyeterika sampai tengah malam. Pekerjaannya tidak pernah putus sejak pagi sampai tengah malam.
Diam-diam aku membeli mesin cuci kapasitas cukup besar dengan kemampuan bisa mencuci sampai kering 100%.
Bu Indira tidak enak hati ketika kuminta dia memanfaatkan mesin cuci itu untuk membantu meringankan pekerjaannya.
Sejak ada mesin cuci, Bu Indira sangat tertolong. Waktunya jadi cukup banyak karena selama mesin cuci bekerja, dia bisa melakukan berbagai pekerjaan lain bahkan beristirahat menonton televisi, atau mulai menyetrika. Sebelum gelap semua pekerjaannya sudah selesai.
Setelah bekerja dengan mesin cuci, order cucian Bu Indira makin banyak. Menurut dia sebulan omzetnya bisa lebih dari 3 juta. Dulu ketika dia tinggal dikontrakkannya pendapatan dia tidak jauh dari angka Rp 500 ribu.
Aku sama sekali tidak merasa terganggu dengan kehadiran Bu Indira dan anaknya Tiara yang masih sekolah di kelas 4 SD. Yang sering mengganggu adalah pemandangan ketika Bu Indira tidur. Kainnya sering tersingkap sehingga hanya terlihat celana dalamnya.
Celdam itupun tidak mampu menutup seluruh yang harus ditutupi, karena ada rambut-rambut yang menjulur keluar. Pemandangan itu sering aku dapati ketika malam-malam aku ke kamar mandi dan melintasi tempat tidur Bu Indira.
Bu Indira dan aku sudah seperti keluarga. Tetapi dia selalu memposisikan sebagai pembantu di rumahku. Dia selalu menolak jika aku ajak makan semeja dengan ku.
Penampilan Bu Indira makin bersih dan kelihatannya dia mulai memperhatikan perawatan tubuhnya.
Akhir-akhir ini Bu Indira lebih memanjakan diriku. Dia sering memijati pundakku saat aku sedang asyik nonton TV. Lumayan juga rasa pegal di pundak agak terobati. Anaknya si Tiara selalu rajin menyemir sepatuku.
Dari mulai memijati pundak lalu berlanjut memijati seluruh tubuh. Kalau urusan memijati seluruh tubuh aku dipijati di kamarku. Aku harus mengakui bahwa pijatannya memang enak.
Tapi juga, harus kuakui bahwa aku terangsang kalau dipijat Bu Indira. Mungkin dia juga menginginkan, jadi sambil mijat dia menyerempet-nyerempet daerah rawan. Bu Indira sudah 3 tahun menjanda di usia yang masih hot, mungkin dia juga butuh kehangatan.
Awalnya dia mijat aku pada waktu belum terlalu malam, tetapi hari ini dia berjanji memijatku setelah anaknya tidur. Aku menangkap dia punya maksud dan hasrat. Aku setuju saja sambil mengatakan bahwa aku juga sedang mengikuti cerita film di televisi. Jam 11 setelah anaknya tidur, Bu Indira menghampiriku dan menanyakan apa sudah mau dipijat sekarang. Aku setuju dan langsung mematikan televisi dan masuk kamar.
Ritual pertama memang pijat seperti biasa, lalu dia mulai menyerempet bagian rawan dan aku mengatakan terus terang bahwa pijatannya membuat aku terangsang. “ Terus gimana Pak,” katanya. Bu Indira memang memanggilku Pak.
“Ya dipijet aja sekalian biar lemes, kalau kaku terus rasanya sakit, “kataku.
Dalam posisi telentang Bu Indira meremas-remas batang penisku yang mengeras dari balik celana pendek. “Aduh enak bu, kalau dibuka lebih enak lagi,” kataku. Ngocoks.com
Tanpa ragu Bu Indira memelorotkan celanaku sehingga penisku langsung tegak. Di remas-remasnya penisku dan sesekali dikocoknya. Aku mendesis-desis menahan rasa nikmat sambil menunggu apa lagi yang akan dilakukannya. Dia menundukkan kepalanya dan melahap batang penisku dengan mulutnya.
Kepalanya naik turun menghisap penisku. Aku makin kelojotan diterapi begitu. Tanpa kuminta, Bu Indira melepas semua bajunya dan kembali melahap penisku.
Rupanya dia sudah makin terangsang juga sehingga tanpa meminta izin dariku dia langsung menduduki penisku dan memasukkan kedalam liangnya yang terasa hangat. Liang Vagina Bu Indira terasa sangat mencekam, mungkin vaginanya merapat kembali setelah menjanda lama.
Kedua buah dadanya yang besar melonjak-lonjak seirama dengan guncangan badannya. Dalam posisi start yang tidak seimbang aku tidak mampu mengalahkan permainan, sehingga aku tidak bisa lagi membendung ledakan spermaku.
Bu Indira meski mungkin kecewa, tetapi dia memahami. Batang penisku dibersihkan dengan tissu, dan terakhir dia bersihkan dengan lidahnya sampai seluruh penisku terasa bersih. Bu Indira juga buru-buru menyumpal lubang vaginanya agar maniku tidak tumpah kemana-mana. Dia mengenakan dasternya lalu berlalu keluar kamar. BHnya dan celana dalam masih tertinggal dikamarku.
Aku hanya bertutup selimut, dan sudah setengah tidur, ketika Bu Indira kembali dan aku merasa dia mengulumi penisku yang masih loyo. Pelan tapi pasti penisku mulai berisi lagi. Aku bangkit dan mendorong tubuh Bu Indira sampai dia telentang.
Aku menciumi kedua toketnya yang tidak muat dalam satu kepalanku. Pentilnya sudah mengeras. Puas menciumi dan menghisap teteknya aku turun menciumi perutnya sambil tanganku mengutak-atik memeknya. Terasa agak berlendir. Menandakan vaginanya sudah siap menerima hunjaman penis.
Clitorisnya teraba mulai mengeras. Aku berpindah langsung menjilati sekitar memeknya. Mulanya Bu Indira mencegahku, katanya jijik ah memek kok diciumi. Tapi aku terus memaksa sampai lidahku menyentuh clitorisnya. Sejak itu Bu Indira pasrah dan mendesis-desis nikmat.
Aku terus menyerang clitorisnya sampai akhirnya dia mencapai orgasme sampai kelojotan. Selesai orgasme aku menusukkan kedua jariku memasuki lubang vaginanya dan menstimulasi Gspotnya sampai dia orgasme lagi. Kali ini orgasmenya luar biasa dia sampai menjerit dan mengambil bantal untuk menutupi mulutnya.
Aku lalu buru-buru menancapkan penisku ke dalam lubang memeknya. Lubang vagina yang baru mencapai orgasme rasanya sangat mencekat, sehingga aku merasa nikmat sekali. Wanita jika telah mencapai orgasme, dia akan cepat mendapat orgasme kembali. Itu juga yang dialami Bu Indira. Dia kelojotan dan memeknya berkedut-kedut ketika penisku terus menghunjaminya.
Di ronde kedua ini daya tahanku cukup baik, karena belum terasa ada desakan orgasme. Aku bermain dengan berbagai posisi, sampai Bu Indira kembali mencapai orgasmenya. Lelah juga rasanya bermain sehingga aku berganti minta di posisi bawah.
Bu Indira melayaniku dan dia bergerak dengan buas di atasku sampai dia kembali mencapai orgasmenya. Badannya lemas sehingga kubalikkan posisi dan, menindihnya dan berkonsentrasi untuk mencapai orgasmeku yang kedua.
Kami tidur telentang sambil badan berkeringat. Dinginnya AC ruanganku jadi tidak terasa saat kami habis bertempur. Tidak lama kemudian Bu Indira menambil handuk dan menyeka seluruh tubuhku. Dia keluar dan kembali membawa handuk basah untuk membersihkan batang penisku. Aku diselimutinya dan dia kembali ke tempat tidurnya bersama anaknya Tiara.
Sejak saat itu hampir 2 hari sekali kami selalu bertempur. Bu Indira mengikuti saranku agar memasang spiral, mencegah dia hamil.
Mungkin karena kami terlalu sering jadi agak teledor. Suatu kali ketika kami berdua sedang bugil dan Bu Indira sedang menindihku, Tiara tiba-tiba masuk ke kamarku. Aku terkejut dan Bu Indira juga begitu. Tapi kami tidak sempat melakukan apa-apa. Tiara langsung berkomentar, “ Ih Ibu lagi ngentot ya ama Bapak,”
Bu Indira memarahi anaknya agar keluar kamar, tetapi Tiara malah naik ke tempat tidur memperhatikan kami melakukan hubungan. Situasi sedang tanggung. Mungkin Bu Indira hampir mencapai klimaks ketika anaknya masuk.
Bu Indira meneruskan aksinya, memompaku diatas, sementara Tiara memperhatikan kami sambil melihat dari dekat bagian kedua kelamin kami yang sedang beradu. Aku dan Bu Indira tidak kuasa mencegahnya, kecuali membiarkannya.
Leave a Reply