Aku dimarahi. Dibentak, bahkan aku ditampar, ketika aku ketahuan diperkosa oleh Pakde ku. Aku tidak bisa menjaga diri. Aku tak mampu menolak. Aku selalu tidak senonoh berpakaian.

Sejuta kesalahanku yang benar-benar membuatku menangis sedih. Aku dipaksa diam, tak boleh menceritakan aib keluar. Aku yang diperkosa oleh Pakde ku, malah aku yang dimarahi.

Semua memarahiku. Ayahku, ibuku, kakekku, nenekku dan mungkin, kalau seduni atau, semua manusia di dunia ini akan membarahiku. Biadab!!! Makiku sendiri dalam hati. Di kamar, aku hanya bisa menangis. Selain menahankan sakit di memekku, aku juga harus menahan sakit di hatiku. Bajingan !!!

Saat itu mulai datang rasa dendam di hatiku. Aku suka uring-uringan. Dalam usiaku 14 tahun, aku sudah mengerti dendam. Ya.. dendam, itu saja. Lama kelamaan, peristiwa itu diam begitu saja. Pakdeku tak berani datang lagi ke rumah.

Aku kembali ikut ayah dan ibuku ke ladang, ke sawah, ke kebun karet dan kemana saja aku disuruh, aku tetap mau dan tidak membantah. Dalam hatiku, tunggu, aku akan balas dendam. Akan kulampiaskan dendamku pada semuanya.

Dua bulan kejadian itu semakin menjadi biasa, seperti tidak ada laki yang mengungkitnya. Aku hanya diawasi dari jauh. Dan aku juga memang tidak mau dekat dengan laki-laki mana pun, seperti apa yang ayah dan ibu takutkan, aku tak boleh dekat dengan laki-laki manapun kecuali abangku dan adikku.

Aku boleh dekat hanya dengan Peklek ku yang berusia 20 tahun dan kakinya kecil sebelah dan dia sejak kecil ikut dengan ayah dan ibuku. Aku memiliki empat orang abang dan satu kakak serta satu adik laki-laki persis di bawahku dan satu adik perempuan paling bungsu.

ketahui bahwa Abangku yang paling tua itu  bernama Mansur. Usianya 25 tahun belum menikah. Dia selalu mendapat tugas menjaga delapan ekor kerbau dan harus dimandikan setiap sore sebelum dikandangkan.

Di daerah kami, kamu hampir semua masyarakatnya hanya memakan kerbau, karena sejak zaman dulu sapi tidak menjadi makanan kami. Aku mulai diperintahkan ikut Mansur ngangon dan ikut memandikan kerbau. Kami berbasah ria di sungai kecil.

Aku selalu melihat abangku Mansur melirik selangkanganku, karena rokku yang tipis dan tua basah kutup. Celana dalamku membayang. Mampu kau, bisik hatiku. Aku akan menggodamu, batinku pula.

Sambil menyirami kerbau, abangku bertanya, apakah waktu diperkosa itu sakit atau enak. Aku bilang sangat enak dan nikmat. Pakde juga sangat nikmat. Aku tahu, abangku ini belum pernah bersetubuh denga siapapun juga.

Dengan hati-hati dia memohon, dan sangat rahasia, kalau memang enak dan nikmat, bagaimana kalau kita lakukan secara diam-diam. Dan kita menjaga rahasia ini dengan baik,” bisiknya saat aku menggosok punggung kerbau.

Dia juga menyenggol tetekku. Dalam hatiku, perangkapku sudah mengena. Padahal ketika itu (kutulis cerita ini, setelah enam tahun kemudian) usiaku baru 14 tahun. Aku tersenyum genit dan mengangguk.

Abangku menambatkan kerbau ke tepian sungai dan aku memintanya untuk ke semak pohon gelegah (seperti tebu) di tepi sungai yang rimbun. Begitu abangku datang, aku langsung mengelus-elus kontolnya. Kuminta dia duduk di batu pinggir sungai setelah membuka celananya.

Memekku yang juga sudah berlendir, merasakan ingin juga dimasuki. Aku kangkangi Bang Mansur dan kutuntun kontolnya memasuki memekku. Aku mengoyangnya dengan cepat sembari melihat situasi di siang bolong itu.

Kulepas tetekku dan kuminta dia isap-isap. Baru beberapa kali aku menggoyangnya, dia sudah orgasme. Padahal aku baru saja mulai menikmatinya. Langsung dia kumaki.

“Masih muda, tapi Pakde jauh lebih hebat,” kataku mengecilkan dirinya. Dia kuyu dan meminta maaf. Aku kembali bermain dengan kerbauku. Dua puluh menit kemudian kupangil lagi Bang Mansur ke gelegah dan aku elus-elus kontolnya. Kuminta dia mengisapi tetekku dan mengelus-elusnya.

Setelah aku mau merasakan orgasme, kuminta dia kembali duduk di atas batu dan aku kembali mengangkanginya, langsung kumasukkan kontolnya ke memekku dan aku mengoyangnya dengan penuh konsentrasi sampai aku pun orgasme.

Tak lama, Bang Mansur pun orgasme pula. Tapi dia belum tahu, kalau aku sudah orgasme lebih dulu. Kembali dia kumaki. “Kok cepat amat sih?” kataku setengah membentak pura pura kesal. Kembali dia meminta maaf.

Penggembala lainnya sudah pada menyeret kerbaunya pulang ke kandang. Kami masih menyirami kerbau kami agar bersih, agar tak dimarahi ayah. Satu persatu kerbau kami tuntun ke atas dan mengikatnya. Tinggal satu lagi. Suara azan sudah terdengar, keadan sudah lengang.

Kembali kuelus-elus kontol Bang Mansur dan dia tegang kembali. Aku menunggingkan tubuhku dan kuminta dia mencucuknya dari belakang. Aku merasakan nikmat luar biasa sampai aku cepat orgasme, tapi aku sembunyikan orgasmeku.

Akhirnya Bang Mansur juga orgasme. Sejak saat itu, Bang Mansur kujadikan budak. Apa saja yang kusuruh dia mau melakukannya. Hinga aku hanya formalitas saja ikut menggembala.

Sebenarnya Bang Mansur sendirian yang bekerja, mulai dari menjaga, menyabit rumput, memandikan kerbau. Setelah semua selesai, aku memberinya hadiah ngentot sekali.

Lama-lama Bang Mansur sudah mampu menahan emosinya, hingga permainan kami sudah sama-sama menimati. Kami selalu melihat situasi dan kami selalu melakukan persetubuhan jika ada kesempatan dan luang.

Saat ke delapan kerbau kami merumput, kami duduk di bawah pohon rindang. Abangku tiduran berbantalkan batu. Ada semak setinggi dengkul mengelilingi, hingga jika tidur tidak akan kelihatan. Aku membuka celana dalamku dan menyelipkannya di pepohonan.

Langsung kukangkangi Bang Mansur. Kurapatkan memekku ke mulutnya. Aku minta dia menjilatinya. Mulanya aBang Mansur tak setuju. Kuhadir dan kubentak dia.

“Mau enggak?” ancamku. Akhirnya dia melakukan juga. Aku menikmatinya, ketika Pakde menjilati memekku. Semua yang dilakukan Pakde aku praktekkan pada Bang Mansur. Aku merasa nikmat sekali. Kuelus kontol bang Mansur, ternyata sudah tegang.

Begitu aku orgasme, kuberikan dia hadiah. Kulepas celananya dan kumasukkan kontolnya ke memekku. Aku cepat memutar pantatku dan menarik cucuk kontolnyadi dalam memekku sampai akhirnya dia muncrat.

Aku cepat ke tepi kali dan mencuci memekku dan kencing. Bang Mansur menyusulku, setelah aku siap cebok. Dia juga mencuci kontolnya dan kencing. Aku tersenyum dan Bang Mansur juga tersenyum.

Kini aku yang tiduran sampai pulas, sementara bang Mansur menyabit rumput yang nanti dinaikkan ke punggung kerbau untuk dibawa pulang ke kandang. Bila telah petang Bang Mansut memandikan delapan ekor kebau plus tiga di antaranya sedang bunting di sungai, sementaraaku hanya duduk di tepi sungai mengawasinya.

Aku sealu mengatakan letih dan capek, setelah bersetubuh. Aku tak mau capek. Kalau aku capek, besok atau lusa aku tak bisa bersetubuh lagi. Bang Mansur pun rela mengerjakan semuanya sendirian.

Padi sudah bunting. Abangku harus bekerja di kebun karet bersama bapakku, sedang ibuku tetap berjualan di pasar. Untuk mengawasiku, diperintahkan adikku bernama Tono berusia setahun di bawahku, yakni 13 tahun.

Jika aku berhasil menggodanya, tingga tiga abangku yang harus kugoda. Agar mereka semua bisa kuperbudak untuk melepaskan dendamku.

Kebun karet kami hanya berkisar 500 meter dari kampung. Hanya saja kebun karet itu letaknya di selatan, sedang sawah kami letaknya di Timut. Sedangkan ladang tanah darat, letaknya di Utara. Dari kampung semua tempat berkisar 500 meter sampai 600 meter.

Hanya pasar tempat ibuku berjualan letaknya hampir 1 kilo meter. Kami hanya ditugasi mengangon dua ekor kerbau sembari ami harus mengusir burung dari dangau bersama adikku Tono. Dia sudah bersunat. Dan tingginya melebihi tingi tubuhku.

Sebagai adikku yang bungsu dan aku satu-satunya perempuan, dia memang sngat dimanja oleh semuanya, terlebih olehku. Tapi dia suka nakal. Terkadang aku yag mengerjakan pekerjaannya, sementara dia pergi bermain bola dengan teman-temannya.

Tapi kali ini, dia harus aku berikan pelajaran. Pokoknya semua isi keluarga harus mampu kuperdaya. Terlalu sakit bagiku yang diperkosa, justru aku yang dipersalahkan dan tidak boleh melaporkan kepada siapapun, karena harus menjaga aib keluarga.

Setelah menambatkan kerbau tak jauh dari sawah, agar kerbau tidak memakan padi yang sedang bunting bahkan ada sebagian yang sudah keluar dari perutnya, kami duduk mengawasinya dan mengawasi burung dari atas dangau.

Aku selalu memepetnya dan mulai menempelkan tetekku pada tubuhnya. Aku sengaja duduk mengangkang dan memperlihatkan pahaku dan celana dalamku antara kelihatan dan tidak.

Aku ajak dia bercerita semabri mengusir burung-burung. Mulai dari cerita sepak bola sampai kepada cerita Bik Warni yang pernah sekali kupergoki, ketika adikku mengintipnya mandi.

“Waktu itu Bik Warni mandinga telanjang Ton?” tanya. Dia menceritakan kalau Bik Warni teteknya besar sekali. Memangh benar, mungkin di kempung kami tetek Bik Warni dan Tetek Supiyah yang terbesar.

“Rambut itunya lebat, enggak,” tanya terkikikan seakan malu-malu. Tono mulai bercerita tentang Bik Warni. Kemudian dia juga dia bercerita, kalau Bik Warni bersetubuh dengan suaminya dan diintip.

Kalau di mandi dan diintip oleh Tono dan dua orang teman-temannya, Bik Warni tersenyu saja. Dia tahu siapa yang mengintip, tapi membiarkannya saja. Aku mulai memancing dengan pertanyaan, menurutnya bagaimana tetekku.

“Pasti lebih kecil.” katanya.
“Kamu kalau dikasi kesempatan mau enggak mengisap tetek Bik Warni yang besar itu,” pancingku. Tono terkekeh sembari mengsir burung. Burung-burung yang diusir pun bertebangan.

“Mana mungkin dia menyuruh kami megisap teteknya.” Tono menjawab sekenanya.
“Kalau senadainya di suruh, mau enggak?” tanyaku. Lagi-lagi Tono terkekeh.
Bercerita seperti itu, sesekali Tono memegang burungnya. Mungkin dia sudah terpengaruh. Aku mulai memancing lagi.

“Kalau tetek ku, kalau aku suruh kamu mengisapnya, kamu mau enggak, Ton?” kataku. Dia melihatku,. Dadaku berdebar-debar menunggu jawabannya. Tono kemudian menunduk dan tidak menjawab.

“Hayo dijawab dong, masak ditanya aja kamu enggak mau jawab. nanti aku tak mau lagi bermain dengan kamu,” kataku seolah merajuk. Tono tetap tak menjawab. KUtarik kaos ku ke atas dan aku memang tidak pakai BH. Kuperlihatkan tetekku pada Tono.

“Ini Ton, ayo dong…” kataku. Tono hanya melihatnya saja dan tersenyum. Aku melirik celananya yang sudah mulai menyalah.. Kuraih tangannya dan kuarahkan ke tetekku agar dia mengelusnya. Uh… tangan itu menempel di tetekku.

“Di eleus-elus,” kataku. Tono melakukannya dan aku menjadi birahi dibuatnya. Burung-burung sesekali kami usir. Tono juga tidak perhatian lagi kepada burung-burung. Kutarik tengkuknya dan mengarahkan bibirnya ke tetekku yag mungil dan kenyal.

“Diisap, dik,” kataku. Tono mulai mengisapnya perlahan-lahan. Aku semakin merasakan nikmat. Aku menidurkan tubuhk dan meminta tono mengisapnya dari atas. Tono pun melakukannya.

Aku juga meraba-raba burungnya. Kumasukkan tanganku ke dalam celananya dan mengelus burunga yang semakin mengeras. Smapai akhirnya aku memegang kuat kepalanya dan aku pun orgasme.

Aku kembali mengsir burung. Tono mulai memindahkan kerbau dan mengarit rumput seadanya. Setelah mahgrib kami pulang ke rumah. Kami tersenyum-senyum saja. Besok paginya kami pergi lagi ke sawah mengsuir burung dan membawa dua ekor kerbau.

Kami kembali melakukannya. Sampai pada hari ke empat, Tono yang melakukannya sendiri tanpa permintaanku. KUlayani saja permintaannya. Hari berikutnya, Tono bercerita bagaimana Bik Warni disetubuhi oleh suaminya.

Aku hanya mendengar saja tak memberikan respons apa-apa. Hanya tanganku saja sebelah menerik-narik tali pengusir burung dan sebelah lagi mengelus-elus burungnya. Dua burung sekaligus. Satu burung-burung yang bisa terbang yag satunya lagi burung yang bisa mengeras.

“Kita seperti Bik Warni, yuk…” katanya. Aku diam tak menjawab. Ketiga kali dia mengajak, aku merebahkan tuuhku di lantai dangau yang berdinding itu. AKu menutup mataku berpura-pura keletihan.

Hanya beberapa detik menunggu, Tono mulai menyingkap rokku dan menurunkan celanaku. Aku diam saja. Kuintip dari sudut mataku, Tono melepaskan celananya. Saat itu perlahan kukangkangkan kedua kakiku. Tono mencelupkan burungnya ke memekku.

Berkali-kali tak bisa masuk, karean dia tak tahu lubangnya. Kuangkat sedikit pantatku dan saat Tono persis burungnya di lubangku, kucangkat pantatku sampai kepala burungnya memasuki lubangku. Saat itu Tono langsung menekannya dan menindihku.

“Kok.. kamu berbia\uat ini pada kakakmu, dik?” tanya ku pura-pura, tapi nadaku tidak marah. Seakan heran saja. Tono nampaknya sudah tak perdulu dan terus menekan burungnya memasuki memekku. Kudiamkan saja.

Kemudian secara laruirah atau memang karean mengintip, Tono mulai mencucuk cabut burungnya dalam memekku. Tak lama dia melenguh dan menekan kuta tubuhku. Saat itu kulingkarkan kedua kakiku ke pingangnya agar dia tak mencabutnya.

AKu merasakan semprotan spemanya dalam lubangku dan aku menjepit pinggangnya dengan kuat di pinggangnya, baru kulepas setelah aku juga melepas nikmatku.. Perlahan aku merasakan burungnya keluar dari lubangku

Cepat Tono memakai celananya dan aku duduk termenung. Dia lari ke kerbau dan memindahkannya dan kemudian menyabit rumput. Pulangnya kami sama-sama diam. Aku tak mau menegurnya seakan marah.

Besok paginya kami sama-sama diam ketika menyeret kerbau kami ke sawah dan menambatkannya di tempat lainpula. Dari atas dangau dia sendiri yang berteriak-teriak mengusir burung, sementaraaku hanya menarik-narik tali saja. Kupancing lagi dengan dengan memperlihatkan celan dalamku. AKu tau matanya terus menerus meliriknya.

“Kayak kemarin lagi yuk…” suaranya perlahan. Aku diam saja. Aku hanya menolehnya sejenak saja.
“Kayak kemarin dong,” katanya lagi. Aku diam. Smapai akhuirnya atu ditariknya untuk rebah. Kau sudah kena, pikirku. Aku diam.

Tono menyingkap rokku dan melepas celana dalamku. Kemudia menusukku dan kami bersetubuh. AKhirnya kamu melakukannya secara teruatur tiap hari sekali. Tono mulai kuperintah. Mengatakan aku letih terus menerus disetubuhinya.

Aku mau memandikan kerbau, tapi aku tak mau lagi disetubuhi, kataku. Atau kulaporkan pada ayah dan ibu, kalau kamu juga telah memperkosaku, ancamku. Kulihat wajahnya pucat. Akhirnya dia mnegerjakan semua pekerjaan. Aku hanya tinggal menarik-narik tali saja. Tono juga yang berteriak-teriak mengusir burung.

Terkadang kami melakukannya dimana ada kesempatan. Tapi aku tetap berusaha tidak meminta. Jika aku ingin, aku sengaja memancingnya dan jika burungnya sudah mengeras dia pasti meminta bahkan memaksa. AKu pun pura-pura mau, padahal aku memang juga mau.