Tokoh Spiritual
Dilereng gunung Bromo terdapat satu perkampungan penduduk yang masih sangat asri, dan penduduknya pun masih menganut faham kedjawen yang begitu kental. Ditengah kehidupan kampung tersebut banyak sekali aturan aturan yang bila dilihat dengan kacamata ilmu pengetahuan merupakan aturan aturan yang mustahil yang seharusnya sudah tidak perlu untuk diyakini.
Hanya beberapa gelintir orang saja yang sudah mulai dengan tatacara kehidupan modern, dan sebagian besar lagi masih totok dengan adat istiadat kampung.
Tersebutlah seorang tokoh spiritual yang sangat disegani oleh seluruh warga diperkampungan itu, Mbah Gemblung yang memiliki arti Mbah Gila.
Tapi tidak demikian dengan warga diperkampungan itu menilai, dengan kesaktiannya Mbah Gemblung selalu dijadikan barometer keberhasilan dari setiap hajat ataupun cita cita segenap warga kampung tersebut.
Konon katanya beberapa kepiawaian Mbah Gemblung yang sudah sangat kesohor adalah bisa menggandakan uang, mengobati orang yang kerasukan, ingin punya keturunan, penglaris, pelet dan lain lain.
Satu lagi kepiawaian Mbah Gemblung adalah bisa menggampangkan jodoh khususnya bagi gadis gadis perawan ataupun janda. Kepiawaian yang satu inilah yang kerap kali Mbah Gemblung sosialisasikan terhadap para gadis ataupun janda di kampung itu.
Dengan usianya yang sudah lima puluhan Mbah Gemblung masih nampak segar dan gagah diusianya yang sudah setengah abad itu, dan konon katanya lagi dikarenakan kebiasaannya melalap daun daun muda dan rumput rumputan hijau tetangga.
Dengan tampangnya yang sangar ditambah sorot matanya yang tajam, serta kulit tubuhnya yang hitam legam kian menambah jogrogan Mbah Gemblung semakin disegani oleh penduduk kampung.
Mbah Gemblung tinggal disebuah rumah berdinding kayu dan terpencil sendiri tanpa rumah rumah lain di sekelilingnya, dengan kamarnya yang telah didisain sedemikian rupa dengan wewangian dupa dan keris keris yang menurut keyakinannya sangat bertuah itu.
Tergantung rapi di dinding kamarnya yang juga hanya diberi penerangan lampu teplok, kian menambah keangkeran praktek perdukunan yang sudah puluhan tahun digelutinya.
Ada saja tamu yang berdatangan kerumah Mbah Gemblung setiap harinya, bahkan tidak sedikit pula yang sengaja datang dari Jakarta ataupun kota kota besar lainnya, hal ini karena kemasyuran nama besar Mbah Gemblung dikalangan masyarakat kampung tersebut hingga kekota kota besar di pulau jawa.
Seperti pagi itu tampak didepan rumah Mbah Gemblung terparkir sebuah sedan mewah Jaguar berplat nomor polisi leter-B, milik seorang tamunya wanita cantik nan seksi dari Jakarta, yang sehari sebelumnya sudah menginap di kota Malang.
Pagi itu Mbah Gemblung merasa seperti yang habis menang lotre saja, dengan datangnya tamu seorang wanita yang sangat cantik dan seksi itu kerumahnya.
Dengan bentuk tubuhnya yang sintal, kulitnya yang putih mulus, dan buah dadanya yang montok teronggok didadanya serta bentuk pantatnya yang demplon nan bohay membuat Mbah Gemblung sesekali menelan air liurnya.
“…cleguk…glegk…” Didalam kamarnya Mbah Gemblung mulai memberikan wejangan spiritualnya kepada tamu wanitanya tersebut, yang mengenalkan dirinya bernama Nadia yang tinggal di Bilangan Tebet Jakarta Selatan.
Disamping piawai dibidang pengobatan dan lainnya, Mbah Gemblung juga piawai memperdayai setiap wanita yang datang untuk meminta pertolongannya. Dan dihadapan tamunya kali inipun Mbah Gemblung sudah mulai menampakkan taring birahinya.
Lalu dengan keramahannya Mbah Gemblung mulai menanyakan maksud ataupun keinginan dari tamunya tersebut, “…Jeng Nadia ini ada keperluan apa jauh jauh datang kerumah Mbah…?…monggo dijelaskan…!” kata
Mbah Gemblung dengan sorot matanya yang seakan menelanjangi tubuh Jeng Nadia tamunya itu.
Dengan suaranya yang lembut Jeng Nadia menjawab dengan malu malu,
“…anu Mbah…saya kepengen segera memiliki keturunan…!”
Dengan mengelusi jenggotnya dan sambil manggut manggut dijawabnya, “…ooohh…itu sih bisa Mbah bantu…asalkan Jeng Nadia mau menuruti semua yang nanti Mbah syaratkan…!”
Lalu dijawab lagi oleh Jeng Nadia, “…iya Mbah saya akan menuruti semua persyaratan yang Mbah minta…!”
Dan dijelaskan oleh Mbah Gemblung rincian ritual apa saja yang harus dijalankan, “…karena proses ritualnya yang tidak sebentar, maka Jeng Nadia harus bersedia bermalam dirumah Mbah, lalu nanti Jeng Nadia akan saya mandikan dengan air kembang setaman.
Lalu setelah Jeng Nadia mandi Mbah mulai dengan ritual penerapan ilmu Mbah ketubuh Jeng Nadia…gimana apa Jeng Nadia bersedia menuruti persyaratan tadi…?” jelas Mbah Gemblung dengan dengan matanya kearah belahan buah dada Jeng Nadia yang terlihat menggiurkan dengan baju tanktopnya yang berleher rendah yang dilapisi dengan Blazernya.
“…ii..iya…Mbah…saya bersedia…!” jawab Jeng Nadia dengan terbata.
Setelah penjelasannya tadi kemudian Mbah Gemblung meminta tamunya tersebut, untuk menyuruh sopirnya yang sedari tadi menunggu diluar untuk kembali ke penginapannya di kota Malang, dan kembali lagi besok siang. Hal ini hanya merupakan salah satu trik dari Mbah Gemblung, agar lebih leluasa memperdayai Jeng Nadia tamu wanitanya itu.
Sepeninggal Mang Yogi sopirnya, Nadia masuk kembali kedalam kamar Mbah Gemblung, dengan berdiri di samping pintu kamar ia pun menunggu Mbah Gemblung yang sedang mempersiapkan peralatan dukunnya, untuk ritual pengobatannya kepada tamunya. Setelah selesai kemudian Mbah Gemblung menghampiri tamunya dengan sorot matanya yang menyisir seluruh tubuh sempurna Nadia,
“…hhhmm…ayune…kowe nduk…susumu jan montok tenan…lan…bokongmu iki yo…apik…!” kata Mbah Gemblung dalam hatinya.
Mbah Gemblung meminta Nadia untuk segera mandi air kembang setaman, dengan menanggalkan seluruh pakaiannya, dan menggantinya dengan balutan kain kemben batik, yang merupakan syarat pertama yang diminta oleh Mbah Gemblung untuk prosesi ritualnya kepada jeng Nadia.
Dengan sedikit malu Jeng Nadia menuruti semua yang diperintahkan oleh Mbah Gemblung, dengan menunggu diluar kamar, Mbah Gemblung mengintip Jeng Nadia yang sedang membuka seluruh pakaiannya, untuk menggantinya dengan berkemben kain jarik batik.
Mbah Gemblung dengan hati berdebar dan dengan sorot matanya yang tidak berkedip, demi melihat tubuh pasiennya kali ini yang begitu sempurnanya, dengan kulitnya yang putih nan mulus, buah dadanya yang berukuran 36B mengembul menantang, dan dengan bongkahan pantatnya yang demplon bin bohay itu semakin membangkitan gairah birahinya.
Jeng Nadia telah selesai bersalin pakaiannya dan kini ia sudah dengan hanya balutan kain kemben batik ditubuhnya, kain kembennya terbelit mengikuti lekukan lekukan ditubuhnya dan semakin membuat terangsang Mbah Gemblung yang sedari tadi mengintipnya dari luar kamar.
Mbah Gemblung menuntun Jeng Nadia kekamar mandi untuk ritual penyucian. Jeng Nadia menuruti semua arahan dan penjelasan yang diberikan oleh Mbah Gemblung.
Dengan duduk di bale bambu yang ada dikamar mandi khusus tempat ritual penyucian itu, Mbah Gemblung mulai menyirami tubuh Jeng Nadia yang masih berkemben itu dengan air kembang setaman.
Mulai dari kepala Jeng Nadia Mbah Gemblung menyirami dengan gayung batok kelapa sambil mulutnya komat kamit seraya merapalkan mantera manteranya, Jeng Nadia hanya diam mengikuti rangkaian ritual penyucian yang lakukan oleh Mbah Gemblung.
Kain kemben Jeng Nadia yang sudah basah semakin melekat erat mengikuti seluruh lekukkan ditubuhnya, dan hal ini semakin membuat Mbah Gemblung semakin terangsang oleh keseksian tubuh pasiennya ini.
Setelah menyirami tubuh Jeng Nadia kini Mbah Gemblung mulai memegangi kepala Jeng Nadia dari depannya, dengan terus berkomat kamit tangan Mbah Gemblung terus turun keleher jenjangnya, terus turun lagi kepundak Jeng Nadia, seraya berkata.
“…Mbah minta ijin untuk menerapkan ilmu kesaktian Mbah ketubuh Jeng Nadia, dan Mbah meminta maaf karena harus menerapkannya dengan cara menekan dan memijit keseluruh tubuh Jeng Nadia…!” demikian Mbah Gemblung meyakinkan Jeng Nadia agar ilmu kesaktiannya dapat menyerap ke tubuhnya.
Jeng Nadia yang awam dan tidak mengerti ilmu perdukunan, hanya bisa mengikuti dan merelakan tubuhnya disentuh oleh Mbah Gemblung. Lalu dengan pelan menjawab, “…saya akan menuruti semua proses ritual yang Mbah lakukan terhadap saya…” dan kemudian dengan senyumnya Mbah Gemblung berkata lagi,
“…bagus…bagus…nduk…dengan begitu Mbah akan lebih mudah menerapkan ilmu Mbah ketubuhmu…dan Mbah tambahkan lagi, penerapan yang Mbah lakukan tidak hanya dengan tangan Mbah tapi juga dengan mulut Mbah agar penerapan ilmu Mbah lebih sempurna terserap ketubuh Jeng Nadia…!
Nadia hanya mengangguk mendengarkan semua penjelasan Mbah Gemblung tadi, dan setelah memberi penjelasan kepada pasiennya Mbah Gemblung mulai kembali dengan ritual penerapan ilmunya dengan memijat seluruh tubuh Jeng Nadia mulai dari pundaknya kemudian turun kedadanya, Jeng Nadia sedikit menggeliat ketika tangan Mbah Gemblung mulai mengusapi dan memijit mijit buah dadanya yang montok.
Mbah Gemblung lalu jongkok didepan Jeng Nadia yang dan mendekatkan wajahnya kebuah dada Jeng Nadia, dengan tangannya kini mulai membuka ikatan kain kemben di dada Jeng Nadia.
Jeng Nadia hanya memejamkan matanya ketika mulut Mbah Gemblung komat kamit merapalkan mantera persis di belahan buah dada montok Jeng Nadia, lalu lidah Mbah Gemblung mulai menjilati permukaan kulit buah dada Jeng Nadia.
Jeng Nadia mulai merasakan adanya keganjilan didalam proses ritual yang dilakukan oleh Mbah Gemblung, dan bertanya kepada Mbah Gemblung,
“…mbah kenapa harus gini segala…?” Tanya Jeng Nadia dengan heran.
Lalu dijawab oleh Mbah Gemblung, “…hal ini Mbah Lakukan, agar kelak nanti Jeng Nadia memiliki keturunan, air susumu akan lancar dan berlimpah ketika nanti menyusui anakmu…begitu…kamu faham…?!”
Dengan mengganguk Jeng Nadia menerima penjelasan Mbah Gemblung, walaupun didalam hatinya sulit untuk menerima perlakuan Mbah Gemblung atas buah dadanya yang selama ini hanya suaminya yang pernah memperlakukan demikian.
Dan Nadia kini hanya pasrah dengan perlakuan Mbah Gemblung terhadap tubuh seksinya, yang kini direbahkan terlentang diatas dipan bambu.
Mbah Gemblung yang kini duduk ditepi ranjang mulai dengan tangannya menggerayangi seluruh lekukan tubuh seksi pasiennya, dan dengan mulutnya yang tidak berhenti komat kamit.
Lalu Mbah Gemblung mulai lagi membacakan mantera manteranya dengan mulutnya yang menempel dan menyusuri tubuh Jeng Nadia mulai dari leher hingga ke kulit pahanya.
Jeng Nadia yang hanya diam kini mulai tergelitik menahan geli ketika kumis Mbah Gemblung menyapu permukaan kulit pahanya dan hal ini diketahui oleh Mbah Gemblung, yang mulai menyeringai dan menahan air liurnya yang mulai deras mengalir dirongga mulutnya
”…cleguk…gleg…ssrruuuppff…”
Tangan Mbah Gemblung mulai meraba keselangkangan Jeng Nadia dan kemudian dengan mulutnya yang berkomat kamit di depan vagina Jeng Nadia dengan sesekali meniup keliang vaginanya.
Jeng Nadia mulai mendesah dan merintih kecil ketika lidah Mbah Gemblung menjilat dan menyapu belahan vaginanya, dengan kedua tangannya kini memegang dan meremasi buah pantat Jeng Nadia, Mbah Gemblung terus menjilati liang vagina Jeng Nadia. “…ssshhhsss…” Jeng Nadia mendesis.
Jari tengah Mbah Gemblung mulai masuk kedalam vagina Jeng Nadia dan menekan semakin dalam dengan mengorek dinding vaginanya yang basah, tubuh Jeng Nadia menggelinjang dan menggeliat diatas dipan diperlakukan seperti itu oleh Mbah Gemblung…”…aaahhh…ssshhhss..ooohhh…!” Jeng Nadia mengerang dan mendesah.
Mbah Gemblung kemudian menghentikan aktifitasnya lalu berkata, “…jeng …gimana kamu mau punya keturunan, la wong pintu rahimmu tertutup dan terlalu kecil begitu…mana mungkin untuk bisa di buahi oleh sperma suamimu…!” kata Mbah Gemblung.
Dengan raut muka yang penuh keheranan lalu Jeng Nadia bertanya, “…lalu harus gimana Mbah…? Lalu dengan santai dijawab oleh Mbah Gemblung, “…kalau untuk membuka dan memperbesar pintu rahim Jeng Nadia dengan jari Mbah, tidak akan sampai karena jari Mbah yang kurang panjang…
Ada satu satunya cara yaitu dengan kemaluan Mbah yang sudah tentu lebih panjang dari jarinya Mbah…dan itu terserah kapada Jeng Nadia mau dilanjutkan atau tidak Mba tidak bisa memaksa…!”
Dengan raut muka yang terlihat putus asa lalu Jeng Nadia berkata lagi, “…saya takut Mbah…dan saya khawatir malah akan terhamili oleh benihnya Mbah…”
lalu dengan meyakinkan Mbah Gemblung kembali menjelaskan, “…Jeng Nadia ndak usah kuatir akan hal itu, karena dengan kesaktian Mbah akan mematikan sel sel hidup di cairannya Mbah, jadi tidak akan bisa menghamili Jeng Nadia…gimana Jeng…?!”
Akhirnya dengan berat hati jeng Nadia menerima tawaran Mbah Gemblung untuk membuka dan memperbesar pintu rahimnya dengan menggunakan kemaluan Mbah Gemblung, “…yah sudah kalau memang demikian saya manut apa kata Mbah…”
lalu dengan manggut manggut Mbah Gemblung menambahkan dengan katanya, “…poko’e sing penting ge’ ndang waras…iya toh Jeng…wes manuto karo si-Mbah…?!” Ngocoks.com
kemudian Mbah Gemblung meminta Jeng Nadia untuk mengganti kain kemben yang sudah basah sehabis penyucian tadi, dengan kain kemben yang baru dikamar. Lalu dimulailah ritual pembukaan dan ritual pembesaran pintu rahim Jeng Nadia, dengan kembali berkomat kamit mulai tangan Mbah Gemblung merabai seluruh lekukkan tubuh seksi Jeng Nadia.
Jeng Nadia yang sudah terlentang diatas ranjang kecil mulai mendesah dan merintih ketika lidah Mbah Gemblung mulai menjilat dan menyusuri leher jenjangnya yang mulus, dan dengan kedua tangannya Mbah Gemblung meremasi buah dada montok Jeng Nadia.
Ketika jilatan Mbah Gemblung turun ke buah dadanya dan mulai mengenyoti putting susunya Jeng Nadia semakin terangsang libidonya, dengan kini tanganya mulai meremasi kain sprei.
Mbah Gemblung dengan pengalamannya sudah tahu daerah sensitif ditubuh seorang wanita, dapat dengan mudah membangkitkan gejolak birahi ditubuh Jeng Nadia, dan kini dengan melucuti seluruh pakaian Mbah Gemblung mulai mengarahkan batang penisnya yang panjang besar dan berurat itu keliang vagina Jeng Nadia.
Mula mula digesek gesekkan penis Mbah Gemblung membelah dan menggerus bibir vagina Jeng Nadia yang sudah basah, lalu dengan perlahan Mbah Gemblung menekan penisnya masuk keliang vaginanya…”…aaahh…Mbaahhh…sakiiitt…ooohhh…pelan-pell..an…” jerit Jeng Nadia mengiringi tembusnya vagina Jeng Nadia oleh batang kontol Mbah Gemblung.
Lalu Mbah Gemblung mulai memaju mundurkan batang kontolnya dengan perlahan lahan diliang vagina Jeng Nadia yang terasa sempit oleh dimasuki kontol Mbah Gemblung yang panjang dan besar itu, dan semakin lama genjotan kontol Mbah Gemblung semakin kencang dan kasar, hingga tubuh Jeng Nadia makin terlonjak dan terhentak hentak dengan kerasnya.
“…huah…hah…ssshhh…ehg…huah…!” suara Mbah Gemblung mengiringi genjotan kontolnya diliang vagina Jeng Nadia.
Jeng Nadia yang semula berat hati untuk disenggamai oleh Mbah Gemblung, kini mulai ikut menikmati tikaman tikaman maut batang kontol Mbah Gemblung, dengan tangannya yang kini mulai meremasi kepala Mbah Gemblung yang tengah merangsek buah dadanya dengan rakus.
Hilanglah harga diri dan kehormatan Jeng Nadia setelah dirinya sekarang berhasil di tunggangi Mbah Gemblung yang dukun cabul itu,
“…oooohhhh…ssshhh…Mbaaaahhh….aaahhh…ssshhh…” desahan Jeng Nadia semakin memicu kebringasan nafsu birahi Mbah Gemblung.
Leave a Reply