Cerita berikut ini sangat unik. Kalau tidak unik untuk apa diceritakan. Apa yang diuraikan dalam cerita ini sulit dipercaya. Namun percaya atau tidak percaya itu urusan anda.

Kalau memang merasa tidak nyaman ya jangan dibacalah, kenapa harus memaksa. Kalau anda teruskan membaca dan di akhir cerita anda menyesal, karena menganggap saya mengada-ada, saya tidak memaksa anda percaya. Namanya juga kepercayaan, ya sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Aku memang menyenangi cewek yang baru beranjak menuju remaja. Cewek seperti itu menurut pandanganku memiliki keindahan istimewa, mulai dari berkembangnya bentuk tubuh dengan payudara yang baru tumbuh, kemaluan yang mulai ditumbuhi bulu, atau berbulu halus dan jarang.

Sulit sekali mendapatkan cewek yang seperti aku gambarkan itu, karena cewek seperti itu ada di kisaran usia 12 – 13 tahun, atau di tahun terakhir SD atau di awal SMP.

Di internet banyak sekali foto dan video anak-anak dibawah umur, mulai dari yang softcore atau hanya bertelanjang saja sampai yang melakukan hubungan badan, baik dengan cowok dewasa atau pun dengan sesama anak yang sebaya.

Namun video-video itu semua dari luar. Paling banyak film barat, lalu Jepang dan yang paling dekat adalah anak-anak Kamboja. Ada juga yang menyebut film Indonesia, namun setelah saya cermati ternyata dari Kamboja juga.

Cukup lama saya melakukan perburuan untuk mendapatkan cewek yang pra remaja, namun sulit sekali alias belum pernah dapat. Masalahnya saya ingin yang aman. Kalau terlalu beresiko, saya lebih baik mundur saja.

Saya sudah menyebar jaring dengan mengakrabi para pencari cewek yang akan dijadikan pekerja sex komersil (PSK) Ada sekitar 5 orang yang menjanjikan akan mencarikan cewek seperti yang saya mau.

Mereka katakan, sebelum saya minta ke mereka, ada banyak anak seperti itu yang diminta orang tuanya bekerja di Jakarta, Bandung atau kota-kota besar lainnya. Namun karena akhir-akhir ini razia PSK di bawah umur gencar, jadinya mereka tidak berani menjaring PSK yang pra remaja.

Penantianku akhirnya membuahkan hasil, salah satu kibus (kaki busuk) yang beroperasi di pantura Karawang mengabarkan bahwa dia mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun anak itu tidak mau dibawa ke kota. Jadi aku harus mendatangi rumahnya.

Dihari yang dijanjikan aku bersama si Kibus yang bernama Leman, jalan ke arah Cilamaya. Kampungnya cukup jauh juga, sekitar 2 jam dari pusat kota Karawang. Jalannya memang tidak bagus, malah sebagian besar rusak. Mungkin itu yang membuat perjalanan jadi lama, bukan karena jaraknya yang amat jauh.

Sebuah desa yang berseberangan dengan sawah, aku diperintahkan si Leman untuk memarkirkan mobil di satu halaman rumah orang yang agak luas. Leman mengenal pemilik rumah sehingga ketika mereka bertegur sapa, tidak ada kecanggungan.

Aku diajak Leman berjalan menyusuri jalan diantara rumah-rumah yang letaknya tidak beraturan. Sebuah rumah, atau tepatnya gubuk ternyata adalah tujuan si Leman. Setelah dia menyerukan salam, keluarlah seorang wanita yang kutaksir usianya sekitar 40 – 50.

Tidak lama kemudian keluar lagi 2 orang perempuan yang usianya lebih muda dari wanita yang pertama keluar tadi. Lalu muncul bocah yang masih culun. Aku sudah menduga, pasti anak ini yang akan ditawarkan untukku.

Sejenak kuamati, anak ini bahannya cukup bagus. Mungkin karena kurang perawatan dan kurang biaya, sehinga terlihat kusam. Perempuan yang lain pun, punya potensi bagus jika dioles, termasuk yang paling tua tadi.

Setelah bersalaman dan berkenalan, aku dan Leman dipersilakan duduk di bale-bale atau amben bambu di teras rumah. Malu juga aku rasanya, karena usiaku yang dipertengahan 30 mengincar perempuan yang kata Leman usianya sekitar 12 tahun. Padahal di situ ada perempuan-perempuan lain yang sesuai dan cocok untukku.

Leman memberi uang yang sempat terlihatku warnanya biru. Salah seorang dari mereka lalu masuk kedalam. Aku tidak tahu apa maksud Leman kasih uang lima puluh ribu itu. Aku diam saja, karena tidak ada kesempatan tanya.

Kami ngobrol dan saling berkenalan. Dari situ baru aku tahu bahwa semua 4 perempuan yang aku salami tadi adalah saudara sekandung. Maksudku bukan sekandung kakak beradik, tetapi hubungannya sangat dekat, mereka adalah anak, ibu, nenek dan buyut. Sorry kalau saya keliru menyebutnya sekandung, karena waktu nulis ini saya tidak menemukan istilah yang tepat.

Mereka benar-benar punya bahan bagus, tapi karena kurang perawatan jadi semuanya terlihat kusam. Dari tempat tinggalnya sudah aku pastikan bahwa mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Dan ternyata, uang pemberian si Leman tadi untuk menyiapkan hidangan kopi.

Aku tidak ingin berlebihan tapi gambaran mereka adalah sebagai berikut. Perempuan yang paling muda bernama Suryani, tingginya sekitar 145 cm, tubuhnya cenderung kurus, rambutnya lurus terurai dan kurang di bentuk, kulitnya sawo matang.

Teteknya sudah mulai tumbuh, karena di dadanya sudah terlihat tonjolan kecil. Hidungnya bagus. Meski tidak terlalu mancung, tetapi tidak juga pesek. Yang membuat dia akan terlihat cantik, karena dagunya agak lancip. Bajunya kumal.

Ibunya yang kuingat tadi menyebut namanya Salamah, atau sebutannya Amah. Dia menyebut umurnya 26 tahun. Berarti dia melahirkan si Suryani atau panggilannya Ani pada usia 14 tahun. Di desa ini umur segitu sudah punya anak, dianggap tidak aneh, karena umumnya mereka kawin di usia muda.

Amah tidak jelek-jelek amat, tapi karena miskin jadi agak kurang menarik. Tingginya sekitar 150 cm. Pantatnya kelihatan keras dan agak menonjol.

Sarung yang dipakainya tidak bisa menahan tonjolan bokongnya. Perutnya tidak membusung, lumayan datar. Dadanya lumayan jugalah, ukurannya kelihatannya sepadan dengan bentuk tubuhnya yang langsing.

Mereka memang berperawakan langsing-langsing, alias terlihat singset. Ibu si Amah yang tadi menyebut namanya Limah, atau disebut Mak Imah, tubuhnya lebih bongsor. Dia lebih tinggi sedikit dari si Amah. Bodynya tidak gemuk, tapi teteknya kelihatan cukup besar, bokongnya juga gempal.

Yang menurutku istimewa, perutnya tidak gendut, seperti umumnya wanita sebayanya. Mak Imah mengaku umurnya sekitar 40 tahun. Umur segitu sudah punya cucu, dia seperti anaknya juga kawin muda dan umur 14 sudah melahirkan.

Jika disandingkan dengan ibunya yang tadi menyebut dirinya Nek Ijah, mereka berdua seperti kakak beradik. Aku tidak berlebihan memberi gambaran, tetapi Nek Ijah yang kata si Amah umurnya sekitar 54 tahun masih punya daya tarik sebagai wanita STW (setengah tuwa).

Badannya memang agak sekal, alias lebih gemuk dari anaknya. Tapi menurutku dia masih terbilang normal, karena tidak terlalu gendut. Tingginya hampir sama, atau sedikit lebih pendek dari si Imah.

Yang kukagumi nek Ijah kulitnya paling bening dari semuanya. Gak usahlah aku gambarkan statistik tubuhnya, nanti saja, karena kalau sekarang, pasti pembaca bingung.

Terhadap semua wanita itu yang kukagumi adalah wajahnya bersih dari jerawat, dan kakinya mulus, tidak ada bekas koreng, apalagi koreng atau luka. Kulit mereka rata-rata sawo matang. Kuduga, itu karena mereka sering terpapar sinar matahari dalam kehidupan di desa. Mungkin jika tinggal di Jakarta bisa lebih bening.

Sampai disini saja pasti pembaca Ngocokers masih bingung nama-nama mereka, ada Ani, ada Imah, ada Amah dan ada Ijah. Udahlah jangan di hafal-hafal, nanti akan saya jelaskan sehingga anda pasti ingat terus.

Uniknya mereka semua, kecuali Ani alias si Suryani, statusnya janda. Kalau harus diceritakan bagaimana kok mereka sampai menjadi janda. Ceritanya bakal berbelit-belit dan membosankan. Apalagi menceritakan anak-anak mereka ada berapa. Wah makin pusing jadinya.

Jadi ya nikmati saja apa yang aku gambarkan dalam cerita ini, dan jangan jadi pertanyaan apa yang tidak aku ceritakan. Nikmati saja. Jangan pula menyoal yang lain-lain. Kalian bikin saja cerita sendiri.

Ngopi sudah hampir habis, makan gorengan cukup banyak, aku mulai agak terbiasa dan berkurang rasa canggungnya, karena emaknya si Ani terus terang bercerita untuk menjual anaknya. Alasannya lagi butuh duit untuk bayar utang.

Cerita mak si Ani ini di benarkan pula oleh Nek Amah dan Nek Ijah. Jadi mereka semua tahu dan menyadari bahwa kedatanganku itu untuk membeli keperawanan si Ani. Sementara itu. Ani hanya diam saja, dari tadi tidak pernah bicara, dia hanya nunduk saja dan mondar-mandir membawa minuman dan hidangan gorengan.

Aku tidak melihat ada tersirat rasa malu ketika semua orang tuanya menyebut akan menjual keperawanan Ani. Dia malah biasa saja, tanpa ekspresi. Selanjutnya giliran aku yang bingung, karena anak ini tidak mau dibawa keluar.

Dia hanya mau melepas keperawanannya di rumah ini. Berarti aku harus menginap di gubuk mereka. Aku ingin melihat situasi di dalam rumah mereka, apakah layak atau gimana. Aku beralasan numpang buang air kecil.

Dengan segera mak si Ani, alias mak Amah mengajakku masuk rumah jalan terus ke belakang dan kamar mandinya agak terpisah dari rumah induk, tidak ada dinding, hanya ada sumur pompa dan ember, Tidak kulihat ada kakus, karena ternyata kakusnya agak jauh ke belakang lagi. Jangan dibayangkan kakusnya punya dinding, karena hanya ada satu tonggak dan lubang untuk menampung tinja.

Mak Amah menangkap kebingunganku. Dia lalu menunjuk saluran air pembuangan agak dipinggir tempat sumur pompa. Di situ memang ada selokan kecil. Aku disuruhnya kencing di situ.

Sementara itu dia tetap berdiri tidak jauh dariku. Agak rikuh juga, kencing berdiri di dekat perempuan yang baru aku kenal, meski aku membelakanginya. Ah aku harus menyesuaikan kebiasaan mereka, maka aku coba saja menurunkan resleting dan melepas hajat kecilku.

Kami kembali memasuki rumah dari belakang dan menembus ke depan. Di dalam rumah tidak terlihat ada kamar, hanya hamparan kasur di pojok ruangan. Jadi di dalam rumah ini hanya ada 1 ruang.

Lantainya diperkeras dengan semen, bukan keramik atau ubin. Dinding rumah, setengahnya terbuat dari papan, dan keatas terbuat dari tepas bambu atau juga sebut bilik atau orang jawa menyebutnya gedek.

Mereka kelihatannya cukup lama hidup miskin. Terus terang aku agak kurang berselera mendapatkan keperawanan Ani. Bukan karena bahannya kurang bagus, tetapi lingkungannya yang kurang layak.

Padahal, tipe seperti Ani ini yang lama kucari dan kuinginkan, tapi ketika ditemukan ada ganjalan sarana dan prasarana. Aku harus menghapuskan gambaran tidur di hotel, dengan udara sejuk dan mandi air hangat serta hiburan televisi.

Sampai saat itu aku tidak punya dan tidak tahu bagaimana skenarionya mengeksekusi Ani di dalam rumah yang tanpa sekat dan hanya satu hamparan kasur.

Tapi aku suka dengan tantangan, sehingga aku putuskan untuk membeli keperawanannya. Leman menjual Rp 4 juta dan dia terus terang mengaku dapat bagian sejuta. Jadi keluarga Ani akan mendapat tiga juta.

Transaksinya segera aku selesaikan. Selanjutnya aku tidak tahu harus bagaimana. Ikut sajalah yang akan mereka atur. Leman setelah mendapat bagiannya ia lalu pamit mohon diri. Dia sudah menitipkan mobilku ke pemilik rumah.

Aku hanya perlu memberi uang yang menurutku tidak terlalu besar kepada orang yang nanti akan menjaganya. Orang itu nanti akan datang.

Jumlahnya kurasa lebih kecil, bahkan jauh lebih murah dari biaya titip nginap di Bandara Soeta. Menurut Leman orang di lingkungan ini tidak akan reseh, karena mereka sudah maklum dan yang beginian ini biasa.

Leman sudah tidak terlihat lagi. Tinggallah aku sendirian di daerah yang kurasa masih asing, Bukan saja daerahnya yang belum pernah aku datangi, tetapi juga aku tidak tahu harus bagaimana. Waktu itu sudah jam 4 sore. Jam 5 sore, aku ditawari mandi.

Nah ini dia persoalan yang aku rasa sulit. Sebab aku tau, satu-satunya kamar mandi adalah sumur pompa yang tidak berdinding di kerimbunan kebun singkong. Aku tidak bawa sarung, juga tidak bawa baju ganti. Yang melekat ditubuhku hanya celana jeans, celana boxer di dalamnya, kaus oblong dan baju lengan pendek.

Dari pada aku bingung, aku tanya bagaimana caranya mandi, karena kamar mandinya tidak berdinding. Si Nek Imah senyum-senyum. “ Ya mandi aja biasa, buka baju semua lalu yang mandilah,” katanya.

Penjelasannya malah tidak jelas. Dari pada bingung aku tantang aja mereka semua agar mandi bareng-bareng sehingga aku tau bagaimana caranya mandi di tempat mandi terbuka itu. Mereka memang mau begitu, jadi meski tidak aku minta mereka memang akan mandi bersamaku.

Empat perempuan bersamaku jalan menuju sumur pompa. Aku pura-pura melambat membuka baju dengan ritual gosok gigi. Mereka dengan santainya sudah berbagi tugas. Dekat pompa ada dua ember besar yang diisi air.

Yang memompa Nek Amah dan si Ani bergantian mengisi kedua ember itu. Setelah ember penuh, Keempat perempuan itu membuka bajunya satu persatu, dan disangkutkan ke tonggak-tonggak kayu di sekitar tempat mandi.

Aku masih berpakaian lengkap mereka berempat sudah bugil dan langsung jongkok di sekitar ember. Aku sempat juga melirik ketelanjangan mereka. Tapi mereka tidak merasa risih sama sekali aku lihat begitu, ya biasa ajalah kelihatannya.

Rasanya aku harus seperti mereka, tidak perlu malu. Aku segera menelanjangi diriku . Mereka senyum-senum melihat kelakuanku. Untung si otong gak berontak, meski agak gemuk juga dikit.

Aku langsung jongkok diantara mereka dan bergantian menimba air membasahi diri. Mereka menyabuni tubuhnya dengan tetap pada posisi jongkok. Sumber ngocoks.com

Aku kesulitan menyabuni diriku seperti mereka, sehingga dengan kekuatan sepenuh tenaga melawan rasa malu aku berdiri dan menyabuni seluruh tubuhku. Mereka cekikikan melihat tingkah ku.

Si Buyut buka suara memerintah Ani untuk membantuku menyeka sabun di pungggungku. Tanpa rasa malu Ani berdiri pula, sehingga langsung terlihat memeknya yang belum berjembut dan teteknya yang baru berupa tonjolan kecil.

Dia mengambil sabun dari tanganku, lalu menyabuni punggungku. Nek Amah jahil pula karena dia memerintahkan cucunya untuk menyabuni senjataku. Tanpa tedeng aling-aling dia memerintah” kontole, disabuni sekalian,” katanya.

Ani agak ragu menggapai senjataku. aku diam saja berdiri menunggu. Ani meraih senjataku lalu menyabuninya. Tangan lembutnya otomatis membangunkan penisku jadi makin tegang. Untungnya air cukup dingin, sehingga senjataku tidak sampai mengacung tegak.

Dua ember tentu saja tidak cukup untuk membilas tubuh kami berlima. Ani tanpa canggung meraih tangkai pompa dan langsung memompa.

Namun gerakannya lemah gemulai, sehingga airnya tidak mengucur banyak, Nek Ijah dalam bahasa daerah mengucapkan sesuatu lalu bangkit menggantikan Ani. Baru 10 kali pompaan dia sudah menyuruh anaknya si Imah mengambil over tugas.

Sambil jongkok aku menonton ketelanjangan mereka satu persatu, dan akhirnya si Amah pun mendapat giliran memompa. Lengkap sudah pemandangan yang kulahap. Suguhan ketelanjangan di tengah rimbunan pohon singkong, cukup menarik. Kelak aku akan mendokumentasikan dengan video phone ritual mandi berjamaah ini

Meski agak mengganjal, karena ngaceng, segar juga rasanya seusai mandi bareng yang sangat menegangkan. Kembali aku disuguhi kopi dan dengan rokok aku menikmati di bale-bale depan rumah.