Fania duduk di pematang sawah yang kering akibat kemarau berkepanjangan. Di depannya terlihat ibunya yang sedang kencing tanpa malu dan atau mencoba menutupi kegiatannya. Mau tak mau, Fania melihat urin yang keluar dari selangkangan mamanya.

Teriknya matahari membakar wajah dan atau kulit Fania. Juga membuat tenggorokan Fania kering. Selain ibunya, Fania juga sering melihat tante dan bahkan kakaknya kencing di hadapannya. Detik berganti dengan menit dan menit pun silih berganti.

Kini Fania telah memiliki anak bernama Vina. Seorang siswi menengah pertama yang sudah mulai mens sedari dasar. Detik berganti dengan menit dan menit pun silih berganti.

Fania memilah isi keranjang pakaian kotor putrinya lantas mengeluarkan cd kotor putrinya. Fania hirup aromanya. Terlihat secuil bercak kekuningan yang lantas Fania jilat dan hisap meski tidak mengeluarkan tetesan.

Setelah dirasa puas, Fania mengambil cd putrinya lantas ke kamarnya dan mengunci pintu. Setelah terkunci Fania langsung merebahkan diri di lantai tanpa pusing – pusing ke kasurnya. Fania kembali menikmati cd putrinya itu.

“Kenapa bersih amat sih membersihkan memeknya?” batin Fania sambil menghirup aromanya.

Saat tangan kiri memegang cd putrinya, tangan kanan Fania langsung menyusup ke dalam cdnya sendiri lantas mengelus – elus klentitnya sendiri. Elusan tangan di kelentitnya membuat Fania cepat keluar. Aneh, padahal saat bercinta dengan suaminya, Fania tak pernah keluar secepat ini.

Meski telah keluar, namun Fania merasa belum puas seutuhnya. Dengan enggan, Fania kembalikan cd putrinya ke keranjang sebelumnya. Saat di kamar putrinya, Fania melihat wadah tissue yang kosong. Fania lantas ke warung dengan maksud membeli tissue.

Baru saja melangkah dengan pasti keluar pintu rumah, Fania dikejutkan oleh seorang kakek yang memegang tongkat di tangan kiri sedang tangan kanan dalam posisi meminta.

Fania tidak merasa iba, namun tangannya tetap memberi recehan.

“Terimakasih bu, semoga rezekinya semakin banyak dan segala maksud dan tujuan tercapai.”

“Iya, sama – sama kek.”

Di perjalanan, tiba – tiba Fania merasa mendapat wangsit yang mengatakan agar Fania membeli Tisu yang banyak.

“Wah, jangan – jangan ini efek sedekah kali?” batin Fania.

Di rumah, tisu yang banyak itu Fania ambil satu bungkus lantas ditaruh di kamar putrinya. Sisanya Fania ambil dan diremas hingga membentuk bola. Bola–bola tisu itu lantas disumpal ke jalur pembuangan di kamar mandi.

Setelah selesai menyumpal, Fania sabar menanti kepulangan putrinya.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Ayo makan dulu, udah mama siapin perkedel buat kamu.”

“Asik. Wah, ini ada kelapa muda siapa nih mah?”

“Siapa yah? Siapa lagi kalau bukan buat kamu.”

Vina makan dengan lahap, tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Dulu Fania suka menyuruhnya untuk langsung ganti pakaian, namun Vina jarang menurut. Akhirnya Fania biarkan saja.

“Gimana sekolahnya sayang?”

“Gak gimana – gimana mah. Ini beli di mana sih mah, air kelapanya banyak bener. Dagingnya malah sedikit.”

“Tadi ada yang lewat. Tumben kamu sudah pulang jam segini.”

“Yah mama, pulang jam segini dibilang tumben. Giliran telat setengah jam aja dimarahi.”

“Namanya juga orangtua. Wajar kalau cemas. Apalagi zaman sekarang.”

“Emang kenapa kalau zaman sekarang mah?”

“Mama takut kamu dibawa temen terus diapa – apain.”

“Diapa – apain bagaimana?”

“Mama takut kamu diculik sayang.”

“Mama mah gitu aja ngomongnya. Bukannya ngomong yang baik – baik. Ya udah, biar gak ada yang nyulik, ntar – ntar pulangnya minta dianterin temen deh.”

“Temen siapa? Pacar? Kamu belum boleh pacaran, masih kecil.”

“Emang kenapa mah? Temen aja udah banyak yang pacaran.”

“Pokoknya gak boleh.”

“Ya udah, Vina mau kerjakan pr dulu di rumah temen.”

“Temen siapa?”

“Sukma mah.”

“Ganti dulu pakaiannya.”

“Iya dong mah.”

@@@

“Mah, kayaknya kamar mandinya mampet tuh.”

“OH gitu? Ya udah ntar nunggu papa dibetulin deh.”

“Oh, yang udah Vina pamit dulu ya. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Begitu putrinya keluar, Fania langsung melepas busana hingga tiada sehelai benang pun menempel di tubuhnya. Fania lantas beranjak ke kamar mandi. Di kamar mandi terdapat genangan air agak kekuningan campuran urin anaknya dengan air.

“Untung gak kencing di kloset,” batin Fania.

Fania lantas berlutut dan kedua tangannya menyentuh lantai. Mulutnya mulai minum mencicipi. “Ohhhh…” lenguh Fania. Lantas kembali minum. Tangan kanan Fania mulai mengelus klentitnya. Elusan dan tegukan membuat Fania keluar dan kembali melenguh. “Ohhh…”

Tubuh Fania mengejang hingga membuatnya tak tahan berlutut. Fania berbaring di lantai dan langsung terpaku saat melihat wajah putrinya yang terlihat jijik.

Saat mata Fania mulai berkedip, putrinya melangkah pergi. Dapat Fania dengar suara pintu depan yang ditutup dengan keras.

* * *

“Vina mana mah?”

“Lagi kerja kelompok pah di rumah sukma.”

“Sampai jam segini?”

“Iya. Katanya juga mau sekalian nginep.”

“Tumben mama izinin.”

“Iya pah, mama juga mesti belajar memberinya tanggung jawab. Lagian dia juga udah mulai gede.”

“Wah, ada apa nih tumben – tumbenan.”

Setelah meluangkan waktu di tempat pemakaman umum setempat, Vina mulai memikirkan langkah yang akan diambil. Memang, saat butuh ketenangan, Vina lebih memilih menyepi di tempat pemakaman umum.

Sekitar jam sembilan malam, Vina datang tanpa dendam, dia terima keadaannya.

“Lho, katanya mau nginep di rumah temen, kok gak jadi?”

Vina diam menyadari pertanyaan mama. Setelah menebak arah pembicaraan, maka Vina pun buka mulut, “Iya, gak jadi mah, males ah.”

“Betul itu, apalagi ayah tidak setuju kamu bermalam di rumah teman.”

“Iya yah. Vina tidur dulu.”

***

Fania mendesah gelisah saat sedang digauli oleh suaminya. Bahkan hingga suaminya tidur, pikiran Fania masih melayang menyadari ketenangan anaknya.

***

Sekitar dua minggu Fania menderita akibat anaknya tidak berbicara dengan dia. Namun, Fania tak berani berbicara lebih dahulu.

“Cukup satu kata, kenapa?”

Fania paham akan maksud dan tujuan dari pertanyaan putrinya itu. “Kehidupan rumah tangga, meski terlihat bahagia tapi tetap membuat mama stress. Memang kadarnya tidak separah orang lain. Tetap saja, keinginan untuk membahagiakan suami dan melihat kamu sukses terkadang membuat urat syaraf mama menegang.

“Namun, saat mama mencium aromamu, aroma pakaianmu, mama merasa mendapat pelarian dari stress dan tuntutan kehidupan. Mama seperti mendapat wangsit, keseimbangan, nilai plus dan min.

“Mama merasa plus mama terpenuhi saat menjalankan peran sebagai seorang istri dan atau ibu. Lantas, mama merasa min mama terpenuhi saat mama melakukan apa yang, mungkin bagi orang lain, kotor.”

Hening.

Hening..

Hening…

“Kalau memang itu yang mama mau, biar Vina bantu mama mengekspresikan diri tanpa khawatir akan penilaian dari Vina. Itu juga kalau mama setuju.”

“Maksudmu apa?”

Tangan Vina lantas mengelus kepala mama. Fania diam saat kepalanya dielus putrinya. Saat elusan sedikit menggenggam, maka kepala Fania mengikut langkah tangan putrinya. Fania kini berlutut seiring dengan tekanan pada kepalanya. Tanpa Fania sangka, kepalanya masuk ke dalam rok pendek yang dipakai putrinya hingga wajahnya mengenai celana dalam putrinya.

“Minum semua mah, hisap dan jilat kalau perlu!”

Sebelum benar – benar mengerti perkataan putrinya, tiba – tiba wajah Fania basah oleh urin yang merembes dari celana dalam putrinya. Setelah paham, Fania membuka mulut dan berusaha membuat urin putrinya masuk ke mulut. Setelah tak ada lagi aliran urin yang keluar, Fania meneguk hingga habis. Karena masih basah, celana dalam putrinya dihisap oleh Fania.

“Enak. Terus jilat… Oh… Buka mah, buka cd Vina!”

Fania menurut. Dengan tangannya Fania menurunkan CD putrinya hingga lepas. Setelah itu, kepala Fania kembali dibimbing menuju ke selangkangan putrinya.

“Bersihin dong mah”

Jilatan Fania semakin semangat saat kepalanya dielus – elus.

“Enak mah… Terus jilat… ahhh… disana mah… ah…”

Fania menghentikan jilatan saat putrinya orgasme. Fania biarkan tubuh putrinya menikmati hasil dari jilatannya.

“Sudah mah ah, capek. Fania mau rebahan dulu.”

“Iya nak.”

Fania senang akhirnya putrinya mau berbicara dengannya. Fania senang akhirnya putrinya mau memenuhi keinginannya. Fania senang akhirnya apa yang dilakukannya kembali diulangi oleh putrinya.

Jika dan hanya jika putrinya mengelus kepalanya, maka Fania pasrahkan kepalanya dipandu oleh tangan kecil putrinya.