Bukan Pemain Profesional
Suatu hari aku diajak temanku Adi untuk melihat villanya yang baru selesai dibangun. Dia membeli sebidang tanah yang letaknya kira-kira di belakang wilayah Tapos, milik bekas Presiden Soeharto. Dia membeli lahan sekiltar 500m. Villa yang dibangunnya biasa saja, tidak mewah, tapi mempunyai cukup banyak kamar. Ada 4 kamar yang semuanya memiliki kamar mandi di dalam.
Udaranya sejuk, dia menawarkan aku membeli juga sebidang tanah di situ luasnya malah 700 m dan posisinya bagus. Kami berdua ngobrol di teras depan. Jalan didepan tidak terlalu ramai, hanya sesekali saja dilalui sepeda motor.
Tidak lama kemudian muncul sepeda motor cewek berboncengan. Mereka tidak mengenakan helm. Si pengemudi menegur temenku, “ oom,” katanya.
Adi lalu melambai memanggil mereka. Motor itu putar arah dan kembali mendekati pagar rumah Adi. Aku dan Adi berdiri di balik pintu pagar. Setelah basa-basi sebentar, Adi langsung melontarkan pertanyaan “ Ada ?”. “Banyak oom, tinggal oom maunya yang gimana,” jawab gadis itu.
Aku awalnya tidak paham topik pembicaraan mereka, sampai akhirnya mengerti setelah Adi melihat foto-foto dalam HP anak itu. Foto-foto ala kadarnya itu cukup banyak sekitar 20 mungkin lebih.
Adi bertanya apakah aku berminat. Aku pun jadi penasaran ingin meneliti satu persatu foto-foto itu. Semuanya kisaran usia ABG. Tidak terlalu jeleklah, Rata-rata wajahnya lumayan manis-manis juga.
“Oom nanti saya tunggu ya di tempat biasa,” kata si cewek itu. Tak lama kemudian dia berlalu. Adi baru bercerita bahwa foto-foto itu adalah anak-anak di kampung dekat situ. Mereka semua bisa diajak tidur, tapi gak bisa dibawa menginap. Mereka bukan pemain profesional, tetapi anak-anak yang iseng cari duit untuk beli pulsa.
Adi mengajakku berboncengan motor matic turun ke kampung. Kami berhenti dan duduk di warung bakso di bangku yang menghadap keluar. Adi lalu mengirim SMS memberi tahu bahwa kami ada di warung bakso. Sekitar setengah jam kemudian di seberang jalan berdiri berjajar 5 cewek, usianya masih sangat remaja.
Kami berdua meneliti ke lima cewek di seberang jalan. Mereka masih tergolong remaja tanggung. Kelimanya sih boleh juga, satu sama lain nilainya hampir sama lah. Aku melirik yang mengenakan baju kuning, kelihatannya teteknya paling besar.
Menurut Adi, anak-anak itu tidak perlu dikasi duit banyak-banyak. Adi lalu menyebut suatu jumlah yang menurutku sama dengan kalau aku pijat di Jakarta kota plus uang tipsnya. Adi mengirim sms ke cewe yang naik motor tadi mengenai pilihanku dan pilihan Adi. Entah dimana tempatnya untuk bertemu lagi, tapi Adi sudah paham betul nanti ketemu lagi di satu tempat. Kami kembali dengan motor ke villa Adi.
Dengan mobilku kami cabut dari villa, titik temunya ternyata di parkiran minimarket. Dua cewek pilihan kami sudah standby di sana, aku langsung mendekat dan Adi keluar. Dia pindah ke tempat duduk belakang dan cewek baju kuning pilihanku tadi di suruh duduk di depan.
Adi menunjukkan tujuan kami membantai cewek-cewek ini. Letaknya tidak jauh sekitar 15 menit jalan ke arah Sukabumi, lalu ada jalan raya ke kiri. Tidak jauh ada tempat penginapan yang berbentuk bungalow-bungalow kecil. Aku dan Adi turun ke resepsionis dan langsung bayar dapat kunci kamar.
Bell boy menunjukkan kamar yang kami pesan, dua bangunan berdekatan. Mobil aku surukkan ke dalam garasi. Bell boy sudah membuka pintu. Aku paham dia mengharap uang tips. Begitu pintu tertutup, cewek baju kuning yang menyebut namanya Hani langsung memelukku dan menggelendot.
Aku lalu memeluknya sebentar. Dia kuajak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku membuka pakaianku satu persatu, Hani mengikuti, membuka pakaiannya. Tanpa rasa malu dia sudah telanjang di depanku, padahal aku masih mengenakan celana dalam.
Teteknya mungkin baru tumbuh tetapi sudah membubung dan lumayan besar juga untuk anak seumuran dia yang mengaku berumur 15 tahun. Pentil teteknya belum berkembang dan aerolanya juga masih kecil. Namun teteknya sudah cukup tegap, terasa kenyal ketika aku remas.
Aku membuka celana, langsung terlihat senjataku berdiri tegak. Memeknya masih polos belum ada bulu yang tumbuh. Aku sempat bertanya, apakah jembutnya dia cukur. Hani mengatakan memang belum ada bulunya.
Pengalamanku bergaul dengan cewek-cewek Sunda mereka umumnya tidak memiliki bulu lebat. Beberapa kali aku bertemu dengan cewek Sunda yang sudah berumur hampir 25 tahun. Tetapi bulunya masih jarang. Jadi wajar saja kalau anak ini masih gundul, pada usia 15 tahun.
Bungalow ini lumayan bersih, ada air hangatnya. Kami berdua akhirnya mandi agar segar. Setelah mengeringkan badan, dengan berbalut handuk, kami langsung berbaring di tempat tidur. Aku mulai melakukan operasi meremas-remas nenennya.
Daging payudaranya terasa sangat mengkal dan cenderung keras. Enak sekali meremasnya perlahan-lahan. Aku memainkan pentilnya yang masih kecil dengan memelintir-melintir. Setelah itu aku bangkit menciumi kedua putting yang masih kecil tetapi terasa mengeras.
Sambil menjilati pentil kecil tanganku merayap ke bawah mencari belahan memek. Gundukan memeknya terasa cembung dan belahannya masih rapat. Jari tengahku masuk ke sela-sela belahan itu lalu mencari cliorisnya. Jari tengahku belum merasa ada tonjolan itil.
Aku menguyel-uyel daging di atas lipatan bibir dalamnya. Hani bereaksi dengan gerakan pinggulnya. Aku merasa menemukan itilnya dan terus aku mainkan. Sebetulnya aku ingin mengoral, tapi kali ini aku tahan saja keinginanku. Aku duduk di antara kedua kakinya sambil “membelah duren”.
Terlihat warna merah muda di dalam belahan memeknya. Aku tak ingin berlama-lama maka kondom aku pasangkan dan penis kuarahkan masuk ke lubang memek yang masih rapat. Perlahan tapi pasti, penisku terbenam tanpa halangan berarti.
Cengkeramannya lumayan menjepit. Aku memompa sekitar 10 menit. Akibat pakai kondom, rasanya jadi kurang nikmat. Aku membalikkan posisi agar Hani diatas dan dia yang memacu. Pengetahuan dia lumayan juga karena gerakannya cukup bagus. Aku tidak tahu apakah dia lelah atau dia mencapai orgasme, karena setelah 10 menit dia ambruk di atas tubuhku dengan nafas memburu.
Kembali ke posisi semula aku mengenjot dia habis-habisan sampai akhirnya aku sanggup juga mencapai puncak. Aku benamkan dalam-dalam ketika berejakulasi dengan pengaman kondom. Setelah usai aku melepas kondom dan membuang ke tempat sampah yang berada di kamar mandi.
Hani kusuruh memijatku, tapi dia mengatakan tidak bisa mijat. Dia malah menawarkan ibunya, karena ibunya pintar memijat dan tahu urat. Hani mengaku ibunya janda umurnya sekitar 32 tahun. Aku jadi penasaran lalu menanyakan apakah Hani punya fotonya.
Dia lalu mengeluarkan HP nya, HP buatan Cina dengan layar lebar. Dia lalu menunjukkan foto ibunya. Lumayan juga tidak terlalu gemuk. Di foto itu terlihat susunya besar sekali. Hani membenarkan, susu ibunya memang besar sekali.
Wah boleh juga di try sekali waktu batinku. “ Kapan oom mau pijat ama ibu,” kata Hani. Aku jawab belum tahu. “Ntar sore aja oom, nanti antar saya balik dan oom tunggu kabar di rumah Oom Adi. Nanti saya kabari kalau ibu bisa,” kata Hani.
Aku jadi tergugah . Main dengan Hani hanya aku lakukan satu ronde saja. Kami ngobrol sambil tidur telanjang berdua sampai Adi menelponku bahwa dia sudah selesai. Tidak sampai 3 jam kami habiskan waktu bermain dengan ABG.
Setelah anak-anak itu turun, dalam perjalan ke villa Adi aku beritahu bahwa aku setelah ini berencana pijat. Dia sempat heran aku mau pijat sama siapa, setelah kuterangkan baru dia mengerti. ‘
Aku sempat menghabiskan secangkir kopi tubruk dan dua batang rokok sebelum telponku bergetar. Kulihat di layar muncul nama Hani. Dia menanyakan apakah aku jadi dipijat, kebetulan Ibunya bisa.
Aku langsung bilang jadi. Jam berapa bisa dijemput, tanyaku. Terserah Oom bisanya jam berapa. Jam lima deh kataku, yang berarti sejam lagi dari saat itu.
Aku berjanji menjemput ibunya Hani di minimarket tadi. Adi tidak ikut, karena istrinya mau datang. Di minimarket itu dari kejauhan sudah kulihat seorang wanita paruh baya, dengan baju merah, rambut pendek. Aku tidak perlu parkir, tetapi berhenti sejenak dan membuka kaca.
Wanita itu melihat ke dalam mobil lalu aku menganggukkan kepala. Dia langsung mendekat dan membuka pintu. Setelah duduk disalaminya aku dan memperkenalkan diri dengan nama Euis. Aku lalu memanggilnya dengan panggilan khas Sunda, Teh Euis, dalam bahasa Indonesia berarti Kak Euis.
Wajahnya lumayanlah, tidak terlihat terlalu tua, masih kelihatan segar, badannya tidak terlalu gemuk. Malah terlihat bahenol. Orangnya terlihat sopan, tapi banyak omongnya.
Aku kembali ke penginapan tadi tapi mendapat kamar yang berbeda. Aku langsung tidur telungkup. “Oom mau dipijat pakai baju aja, dibuka atuh,” kata Teh Euis.
Aku bangun dan melepas semua pakaianku tinggal hanya celana dalam, lalu kembali tidur telungkup. Pijatan dimulai dari telapak kaki terus menyusur sampai paha. Beberapa titik di telapak kaki ditekannya aku merasa sakit. Sambil menekan-nekan titik syaraf dia mengatakan penyakit-penyakit yang mungkin ada pada diriku.
Pijatannya kadang-kadang sakit, tapi selebihnya memang nikmat dan membuat rilex. Sampai di bagian pantat, diremas-remasnya pantatku lalu di beberapa tempat ditekan-tekan. Tekanan itu serasa nyetrum ke kemaluanku, sehingga jadi mengeras.
Terus terang aku jadi terangsang. Oleh karena itu aku beralasan, jika celanaku mengganggu aku minta dia tarik saja ke bawah. Teh Euis lalu menarik celanaku dan meletakkan di atas meja. Dia kembali meremas pantatku. Rasanya memang sangat nikmat. Dia lalu mengurut paha bagian dalam.
Entah dia sengaja atau tidak, tetapi kantong zakarku berkali-kali tersentuh tangannya. Aku makin high sehingga kakiku ku kangkangkan lebih lebar untuk memberi peluang tangannya lebih jauh menyentuh zakarku. Selangkangan diurutnya bahkan daerah sekitar dubur di tekan-tekan.
Aku sebetulnya ingin langsung berbalik badan saja, tetapi kutahan niat itu, karena Teh Euis pindah mengurut punggung dan bahuku. Dia menduduki pantatku. Aku mengingat-ingat, tadi Teh Euis memakai celana jeans. Tidak mungkin pakai jeans bisa leluasa duduk ngangkangi pantatku.
Aku mengosentrasikan rasa di kulit pantat untuk merasakan gesekan di situ. Rasanya pantatku bergesekan dengan kulit bukan celana jeans. Tapi masih terasa ada kain yang melindungi selangkangannya.
Aku makin terangsang tetapi juga terbuai oleh pijatan dipunggungku. Ketika dia memijat tanganku aku baru bisa melihat, ternyata Teh Euis hanya mengenakan celana dalam saja sementara kausnya masih tetap.
Selesai bagian belakang aku dimintanya berbalik posisi jadi telentang. Aku buang rasa malu dan membiarkan penisku terlihat tegak. Jika dipanti pijat di Jakarta, biasanya senjataku yang tegak itu ditutup handuk, tetapi ini dibiarkan terbuka. Teh Euis mengomentari, “ Wah sudah siaga satu,” katanya.
“Ya ada musuh utama mau menyerang,” jawabku. Teh Euis tersenyum dan menyubit pelan. Aku jadi kurang merasakan pijatan lain di kaki maupun di bagian lain. Rasa penasaran, kira-kira bagaimana dia akan memperlakukan senjataku yang sudah siaga penuh.
“Oom mau diterapi kejantanan juga ,” tanyanya.
Aku langsung mengiyakan, karena sentuhan di senjataku sudah kuharapkan dari tadi. Digenggamnya penisku . Dia menurut pangkal penisku, lalu mengurut otot-otot dekat lubang duburku. Ditekan-tekan lalu diurut. Penisku rasanya jadi makin keras dan tegak. Terlihat kepalanya penisnya merah mengkilat.
Dia menekan-nekan di bagian kantong zakar, sambil berkata, “ ini biar tahan lama, pokoknya jakarta bandung PP,” katanya mengistilahkan lamanya bertahan ibarat perjalanan Jakarta Bandung pulang pergi.
“Oom ngrasa enggak barangnya makin panjang dan makin besar.” tanyanya. Aku yang dari tadi merasa barangku makin garang lalu bertanya, apakah ini karena di pijat. Teh Euis hanya tersenyum. Oom tahan ya jangan sampai keluar, sebentar lagi sudah selesai kok.
Menurut Teh Euis, barangku harus diistirahatkan dulu sekitar 1 jam menahan jangan sampai air maninya keluar. Jika berhasil barangku akan permanen besarnya dan kemampuan bertahannya juga lebih baik.
Setelah selesai memijat, dia permisi ke kamar mandi. Entah apa yang dilakukan di dalam, aku merasa ngantuk. Aku terbangun kemudian karena merasa dia sudah berbaring di sebelahku. Nafsuku yang tadi sudah diubun-ubun, muncul lagi aku memiringkan badanku dan memeluk dia.
Tanpa minta izin tanganku kuselipkan di bawah bajunya dan langsung merogoh teteknya. Ternyata dia sudah melepas BHnya. Tanganku meremas-remas teteknya, terasa cakupan telapak tanganku tidak cukup menutup seluruh teteknya.
Aku menarik kausnya keatas. Dia membantu dan terpaparlah sepasang daging besar dengan puting hitam yang mengeras. Aku memelintir gantian putting kiri dan dan kanan lalu bangkit dan menghisapnya . Teh Euis mendesis dan mengelus-elus punggungku.
Tanganku sudah merayap ke dalam celana dalamnya, jembutnya tidak begitu lebat dan belahan memeknya terasa sudah basah. Itilnya dengan mudah kutemui. Dia menggelinjang-gelinjang menahan rasa nikmat karena itilnya aku goda. Aku menelanjanginya.
Keinginan untuk menjilati memeknya begitu kuat. Aku langsung turun ke bawah. Aroma memeknya tidak menyengat. Abu khas memek terasa samar-samar, tapi itu malah menambah gairah. Aku melomot itilnya dan memainkan lidahku di ujung itilnya.
Teh Euis merintih dan bergerak lasak pinggulnya. Sambil merintih dia mengatakan, enak banget oom, begitu berulang-ulang sampai akhirnya dia mengejang karena tiba orgasmenya.
Leave a Reply