Orang Tua Biadab
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, aku memilih mengontrak rumah kecil di pecinan di Jakarta kota. Tempat yang kupilih di lingkungan warga keturunan yang sangat acuh dengan tetangganya. Mungkin di lingkungan itu hanya aku yang pribumi. Pertimbanganku memilih tempat ini, karena masyarakatnya yang tidak resek ngurusi tetangga.
Selain itu, rasanya lebih enak tinggal di daerah ini dari pada menyewa apartemen yang biayanya lebih mahal. Aku merasa kurang bebas tinggal di apartemen, karena biasanya apartemen selalu melalui akses lobby, sehingga terasa agak kurang privacynya.
Oops… aku belum memperkenalkan diriku kepada pembaca Ngocokers. Aku seorang duda dengan usia 35 tahun. 8 tahun membina rumah tangga belum juga memperoleh anak, dan istriku selain tidak cakap mengurus rumah tangga dia juga sangat boros dalam hal keuangan.
Kami akhirnya memutuskan bercerai dengan cara baik-baik. Dia memperoleh bagian rumah dan isinya serta sebuah mobil, sedang aku hengkang dengan hanya sekoper pakaian. Aku tidak mau pusing soal pembagian harta, karena bisnisku cukup lumayan memberi penghasilan.
Aku pikir rumah dan mobil tinggal soal waktu untuk ku memilikinya lagi. Kini aku malah memilih tinggal di wilayah perumahan di dalam gang yang tidak bisa dimasuki mobil. Rumah yang agak lumayan, karena bukan gang yang ramai sehingga terasa aman.
Aku sering meninggalkan sepeda motorku di teras rumah, bahkan sering kuncinya masing tertinggal, tetapi sejauh ini aman-aman saja. Rumahku tidak berpagar dengan teras yang lumayan teduh karena tertutup oleh atap. Aku sering duduk-duduk di teras jika berada di rumah sambil menikmati udara sore.
Suatu hari aku dikejutkan oleh suara kursi terasku berderit. Itu menandakan ada orang yang menduduki kursiku. Suasana suatu siang di hari minggu memang sedang hujan lebat. Aku mengintip dari balik korden, Sesosok anak perempuan duduk, kelihatannya dia menutup mukanya.
Aku segera keluar menemuinya. Dia terkejut dan mohon izin berteduh. Matanya merah karena dia kelihatannya sedang menagis. Sesosok anak perempuan dengan baju agak lusuh dan basah. Kutaksir umurnya sekitar 12 tahun.
Kelihatannya anak ini sedang menghadapi masalah. “ Aku diusir mama oom,” katanya terisak. Karena di luar dingin dan angin kencang, Aling demikian nama anak itu kusuruh masuk. Dengan agak ragu dia menuruti saranku. Bajunya basah, aku kasihan juga melihatnya kedinginan.
Kuberi dia handuk untuk mengeringkan rambutnya. Untuk pengganti baju, aku tentu tidak punya. Namun kalau kubiarkan dia mengenakan baju basah, bisa masuk angin bahkan terkena flu. Aku ingat baju kausku yang agak tebal dan panjang.
Aling kusuruh mengenakan baju kaus ku dan membersihkan diri dahulu di kamar mandi. Sekeluar dari kamar mandi dia seperti mengenakan daster, dengan kausku yang berlengan pendek. Bajunya yang basah di pegang-pegang. Aku memintanya untuk dimasukkan ke mesin cuci. Mesin cuciku meski kapasits kecil, tetapi bisa mencuci sampai kering 100 persen, karena dilengkapi dryer.
Sembil menunggu pakaiannya selesai dicuci, Dia kutawari mi instan. Mungkin karena lapar dia langsung mengangguk menerima tawaranku. Dia memilih membuat sendiri mi instannya. Dia langsung membuka 2 bungkus. Rupanya dia sedang lapar berat dan kedinginan.
Sambil menikmati mi kuah di meja makan Aling kutanyai mengapa sampai dia berada di teras rumahku. Dia diusir oleh mamanya yang single parent. Namun tidak diceritakan mengepa sampai mamanya mengusirnya. Ketika ku korek informasi itu dia hanya mengatakan mamanya selalu pilih kasih.
Rupanya mereka hidup di rumah itu bersama dengan 4 adiknya. Aling anak tertua dan adiknya semua perempuan. Mamanya bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Aling tidak bersekolah lagi sejak drop out kelas 3 SD.
Ketika kutanya kemana dia akan pergi ketika diusir mamanya. Menurut Aling dia mau ke rumah temannya. Tapi karena tiba-tiba hujan, maka dia terpaksa berteduh di teras rumahku.
Tragis juga keadaan rumah tangganya. Papanya kata Aling pergi begitu saja meninggalkan keluarganya dan sudah lebih dari 3 tahun. Sama sekali papanya tidak pernah memberi kabar. Sejak itulah dia tidak bersekolah karena harus membantu ibunya mengurus adik-adiknya.
Aku menawarkan Aling untuk menginap saja di rumahku malam ini, karena hujan masih deras. Besok baru kembali ke rumah, atau ke rumah temannya. Aling mengangguk setuju. Aku mengatur sofa dan melapisinya dengan sprei untuk tidur Aling malam ini. Rumah sewaku hanya memiliki 1 kamar.
Dia bercerita banyak mengenai keadaan rumahnya. Katanya ibunya sering dijemput laki-laki dan kalau sudah gitu sering besok pagi baru pulang. Adik-adiknya tidak ada yang bersekolah. Dia kasihan pada adik keduanya yang seharusnya sudah mulai sekolah. Namun Mamanya tidak mencarikan sekolah, malah disuruh membantu mengurus rumah dan adik-adiknya. Padahal kata Aling si Memey adiknya itu ingin sekali sekolah.
Keesokan hari, Aling kuminta kembali ke rumah. Dia agak ragu, tetapi saranku dituruti juga. Setelah dia berangkat, aku segera berangkat juga ke kantor.
Ketika jam 5 sore aku kembali ke rumah, kulihat Aling sudah kembali berada di teras rumahku. Dia bercerita Mamanya tetap mengusirnya, sedang ketika ke rumah temannya, ibu si teman tidak mau menerima Aling.
Melihat penderitaan gadis kecil ini aku jadi iba, dia segera kubawa masuk. Ternyata dia seharian ini sama sekali belum makan. Kuberi dia uang untuk mencari makanan di sekitar rumah. Sekitar setengah jam kemudian dia sudah kembali menenteng sebungkus nasi dan ayam goreng, kelihatannya seperti ayam goreng Kentucky,
Tetapi di bungkusnya tidak ada merk yang terkenal itu. Lahap sekali dia menyantap makanan itu. Aku jadi kasihan melihat nasibnya. Anak sekecil ini sudah dipaksa mencari kehidupan sendiri oleh orang tuanya. Tapi kalau kubiarkan, aku bisa-bisa masuk penjara karena dituduh menyekap anak di bawah umur.
Malam itu kuminta Aling menunjukkan rumahnya. Dia agak keberatan, karena katanya rumahnya jelek, dan mamanya pasti akan marah. Tapi setelah kuberi pengertian, bahwa pertolonganku menampungnya sementara ini bisa membuahkan celaka, akhirnya dengan berat hati dia mau menunjukkan rumahnya.
Ternyata rumahnya tidak terlalu jauh. Sekitar 15 menit berjalan kaki, masuk ke perkampungan kumuh di pinggir sungai. Dia terdiam di depan rumahnya. Aku mengetuk rumah yang pintunya terbuat dari tripleks. Seorang wanita sekitar umur 30 tahun keluar dengan daster.
Aku utarakan maksudku mengembalikan Aling ke rumah. Namun mamanya dengan wajah marah mengatakan biar saja Aling pergi. “Saya sudah tidak menganggap dia anak saya lagi, dia nakal, tidak mau membantu saya kerjanya cuma main saja, adiknya dibiarkan.
Ko ko bawa saja lah, atau kasih siapa kek, saya tidak mampu mengajar anak itu, “kata Mamanya dengan nada berang. Dia lalu masuk sebentar dan tak lama kemudian membawa sebungkus kantong plastik kresek. Kantong itu dilemparkan ke Aling. “ Nih bawa baju-baju lu,” kata si Mama.
Sepertinya tidak ada kemungkinan aku meninggalkan Aling di rumah orang tuanya. Mamanya dengan begitu saja melepas tanggung jawab memelihara anak kandungnya.
Akhirnya aku pamitan dan membawa Aling pergi. Aku heran juga, mamanya sama sekali tidak menanya alamatku. Dia kelihatannya sudah tidak peduli lagi dengan nasib anak sulungnya. Kalau mendengar cerita orang tentang ini mungkin aku tidak percaya, tetapi sekarang kuhadapi sendiri kenyataan seperti ini.
Aling terdiam, dan matanya berair, mengikuti kembali pulang ke rumahku. Sesampainya dirumah Aling membongkar kantong plastiknya. Aku melihat, bajunya lusuh-lusuh semua. Menurutku tidak ada yang layak untuk dipakai keluar rumah.
Kelihatannya Aling bakal agak lama menetap dirumahku sebelum aku tahu akan ku titipkan ke siapa. Paling tidak anak ini harus disiapkan mental dan jasmaninya agar siap, jika ku titipkan ke orang yang mau mengadopsinya.
Pikiranku pertama yang harus aku lakukan adalah memulihkan pendidikannya. Umur 12 tahun, tapi kelas 3 saja tidak tamat. Padahal umur segitu paling tidak sudah kelas 5 atau bahkan kelas 6 SD. Kalau dia kusekolahkan ke kelas 3 lagi, pasti dia minder, karena dia akan menjadi murid paling besar. Tapi kalau langsung masuk kelas 5 dia tidak mampu mengikuti pelajaran.
Aling kuputskan untuk sementara tinggal bersamaku. Dia kutugaskan membersihkan rumah merapikan segala hal yang berantakan. Lumayan juga dia cukup rajin. Mungkin di rumah orang tuanya dia terbiasa kerja keras, sehingga mengerjakan pengurusan rumahku jadi lebih mudah.
Untuk pendidikan aku memilih home schooling dan nanti akan kusiapkan untuk Kejar Paket A, kalau dia sudah siap. Kebetulan di sekitar rumahku ada guru les yang bersedia memberi pelajaran selengkapnya ke Aling. Selain itu dia kemudian aku masukkan kursus matematika belajar menghitung cepat.
Sebulan Aling tinggal bersamaku dia mulai kelihatan bersih. Gadis ini sebetulnya memiliki wajah yang manis, tapi selama ini rambutnya tidak terurus, sekarang sudah rapi. Kukunya dulu hitam-hitam, sekarang sudah bersih. Sedikit yang agak mengganggu adalah di kulitnya masih ada bintik-bintik kecil seperti gatal. Mungkin dulu dia tinggal di rumah yang sanitasinya kurang terjaga. Namun bintik-bintik-bintik itu kelihatan mulai berkurang.
Setelah 3 bulan aku tinggal bersamanya, aku mulai mendapatkan kekurangannya. Dia kelihatannya suka mencuri uang. Uang yang sering aku letakkan di sembarang tempat, sering menghilang, atau paling tidak berkurang jumlahnya. Kebiasaan ini sangat berbahaya pikirku. Kalau dibiarkan dia bisa menjadi kleptomania , atau mempunyai hobby mencuri.
Satu hari aku memancing meletakkan uang yang jumlahnya sudah kupastikan. Sorenya uang itu masih berada di situ, tetapi kurang 5 ribu. Lain kali begitu juga, malah yang hilang 20 ribuan. Ketika kucoba meletakkan 5 lembar uang 50 ribuan di lemari pakaianku yang tidak terkunci,sorenya kulihat tinggal 4 lembar.
Aling kupanggil. Pertama aku tanya apakah dia tahu uangku di lemari kok berkurang. Dia mengatakan tidak tahu kalau aku meletakkan uang di lemari pakaian. Dari sorot matanya aku tahu dia berbohong. Dia malah menuduhku bahwa aku lupa.
Aku ingatkan kepada Aling, bahwa aku paling tidak suka kalau anak yang tinggal bersamaku suka mencuri. Tapi dia berkeras bahwa dia tidak pernah mencuri. Aku mengatakan tidak percaya kalau dia tidak mencuri uangku. Aku akan membuktikannya. Pertama ku bongkar lemari pakaiannya. Semua kuperiksa di lipatan-lipatan baju di lemarinya. Memang di situ tidak ditemukan ada uang. Semua tempat yang kucurigai tempat kemungkinan dia menyembunyikan uang curiannya aku periksa dan memang tidak ada.
Aku tidak habis akal. Dia mungkin menyembunyikan di bajunya. Bajunya memang tidak mempunyai kantong. Wah kira-kira dimana ya dia sembunyikan. Kalau di teteknya kayaknya tidakmungkin karena dia belum mengenakan BH bahkan mini set pun rasanya tidak. Karena dia hanya mengenakan kaus dalam. Tapi aku akan mencoba mencari di bagian lain tubuhnya.
Aling kusuruh berdiri di depanku yang duduk di sofa. Aku suruh dia buka kaus bagian atas. Dia keberatan, karena katanya malu. “ Kalau kamu tidak mau saya periksa, saya akan laporkan kehilangan uang ke polisi. Polisi akan menahan dan memenjarakan kamu, karena satu-satunya orang yang ada di sini Cuma kamu,” kataku menggertak.
Mendengar kata Polisi dia takut dan dengan berat hati dia melepas kaus atasnya. Tinggal kaus singletnya. Di balik kaus singlet itu menjembul dua payudara kecil. Aku sekalian mengerjainya dengan menyuruhnya membuka kaus kutangnya.
Dengan terpaksa dia membukanya. Terpampanglah dua bukit payudara yang masih baru tumbuh. Putingnya masih belum berkembang, dan aerola, atau lingkaran hitamnya juga masih kecil. Aling berusaha menutup kedua tetek kecilnya dengan kedua tangannya.
Sejauh ini aku belum menemukan yang kucari.
Aling kusuruh membuka celana boxernya. Dia menangis, takut ketika aku ingatkan akan memanggil polisi. Celana luarnya sudah terbuka. Terlihat celana dalamnya warnanya lusuh. Aku teledor selama ini tidak membelikan celana dalamnya. Aku hanya membelikan baju-baju luarnya.
Namun celana dalamnya membentuk tonjolan yang aneh. Di bagian kemaluannya tidak membulat mengikuti kontur kemaluan perempuan yang biasa menonjol (mentul). Seperti ada lapisan di bagian bawahnya. Kecurigaanku Aling menyembunyikan jarahannya di dalam celana dalamnya.
Maka aku minta Aling juga melepas celana dalamnya. Dia coba bertahan dengan alasan malu, sehingga tidak mau membukanya. Aku lalu pura –pura menekan nomor telepon dan berbicara seolah-olah dengan kantor Polisi. Aling buru-buru merebut tanganku dan mematikan HP ku sambil menangis dan dia tidak mau dibawa ke kantor Polisi.
Aling tetap bertahan tidak mau membuka calana dalamnya. Bahkan dia berusaha memegang erat-erat celananya agar tidak dilepas. Aku meraba bagian bawah selangkangannya. Terasa ada suara kresek-kresek. Dengan gerakan yang tidak di duga celdamnya berhasil aku tarik ke bawah.
Maka terjatuhlah sekantung plastik uang yang di dalamnya juga ada pecahan 50 ribuan. Aling menangis, dan membiarkan aku menurunkan celananya dan menelanjanginya di depanku. Kantung yang berisi uang itu aku pegang. Akhirnya Aling mengaku kalau dia sering mengambil uangku.
Alasannya untuk jajan. Padahal aku setiap hari memberinya uang jajan. Ternyata diam-diam dia membagi uangnya ke adiknya si Memey.
Aling tetap berdiri kaku telanjang bulat di depanku, kedua tangannya menutup mukanya sambil menangis. Di depanku terpampang memek yang masih gundul menggelembung dengan belahan rapat. Aku yang tadi merasa kesal, kini malah ngaceng. Bagaimana tidak, di depanku berdiri sesosok wanita yang baru tumbuh dalam keadaan bugil.
Aku lalu memberi hukuman kepada Aling karena telah mencuri. Dia boleh terima hukuman itu atau kalau menolaknya aku akan serahkan ke polisi lengkap dengan barang bukti. Aling pasrah menerima hukumanku.
Aku menetapkan hukuman bahwa selama 3 hari di rumah, tidak boleh memakai pakaian apapun, sehingga tidak bisa menyembunyikan jika penyakit mencurinya kambuh. Jadi selama 3 hari di dalam rumah Aling harus telanjang. Aling dengan terpaksa menerima hukumanku.
Sejak kugeledah itu dia harus langsung telanjang sampai 3 hari ke depan, terutama kalau aku berada di rumah. Interogasi dan penggeledahan selesai. Masalahnya aku lapar dan di rumah tidak ada makanan apa pun. Biasanya aku menyuruh Aling membeli makanan ke luar. Sekarang pun dia harusnya melaksanakan itu.
Tapi karena dia telanjang, jadi tidak mungkin keluar. Tapi aku malas juga jalan keluar, karena cape habis pulang kerja. Aling kusuruh berpakaian untuk keluar membeli makanan. Sekembalinya nanti, setelah pintu ditutup dia harus telanjang lagi.
Aling sambil menunduk menuruti perintahku. Sekitar sejam kemudian dia kembali membawa 2 bungkus makanan. Aku memesan kwetiau goreng, sebungkus lagi aku gak tau dia beli makanan apa. Kembaliannya diserahkan semua dan dia menjelaskan berapa dibelanjakan untuk membeli makanan tadi. Kelihatannya dia tidak melakukan korupsi, karena aku hafal dengan harga makanan di daerah sekitarku.
Aling tanpa ku minta segera membuka semua pakaiannya dan dia kembali telanjang. Kami makan berdua di meja makan sambil dia tetap telanjang. Selepas itu pun kami berdua menonton TV sambil dia tetap telanjang. Oh aku lupa menceritakan bahwa di rumahku hanya ada 1 TV.
Dan TV itu hanya ada di kamarku. Jadinya Aling duduk bersila ditempat tidurku sedangkan aku menonton sambil berbaring. Aku membebaskan Aling memilih chanel yang dia suka. Tetapi kalau ada tayangan sepakbola, dia tidak kuberi kebebasan itu.
Tapi Aling akhirnya juga senang menonton sepakbola, karena mungkin terpaksa menonton. Dia sampai hafal nama-nama pemain dan menandainya satu persatu. Bahkan dia sudah bisa berdebat soal sepakbola.
Disamping aku hukum, dia kuberi keringanan untuk menonton TV sepuasnya di kamarku dan boleh tidur di sampingku dengan berselimut. Kamarku dingin ber AC. Jadi tidak mungkin aku biarkan dia telanjang kedinginan.
Aling senang menerima keringanan itu. Dia lalu mengambil selimutnya dan berkerudung duduk dan lama-lama berbaring di sampingku. Aling sangat gemar menonton acara TV. Kadang-kadang aku teridur dia masih menonton acara TV.
Hari kedua dia mulai biasa dengan ketelanjangan. Ini terlihat dia tidak canggung mondar-mandir mengerjakan tugas rumah sambil bugil di depanku. Dia mengatakan , bahwa kalaupun aku tidak dirumah dia tetap telanjang. Enak katanya, bebas.
Sebetulnya ketelanjangannya itu menyiksaku. Tapi hukuman apa yang pantas diterimanya setelah dia kugeledah sampai telanjang. Yah apa boleh buat, paling enak liat orang telanjang bulat. Hari ketiga dia menjalani makin leluasa. Dia sudah kelihatan ceria dan melupakan ketelanjangannya itu sebagai hukuman, malah dia menikmati ketelanjangannya.
Namun aku menengarai satu hal yang kurasa agak aneh mengenai kebiasaan Aling. Aku jarang menemui dia mandi, baik pagi, maupun sore. Diawal bersama ku dia selalu menjawa “sudah” jika kutanya soal mandi. Namun setelah lebih dari 3 bulan aku menengarai bahwa Aling jarang mandi.
Dia hanya cuci muka dan sikat gigi, itu pun cuma sekali sehari kalau aku tegur soal sikat gigi. Setelah melihat dia telanjang baru aku sadari bahwa kulit putihnya tidak mulus di sekujur tubuhnya banyak bintik-bintik kecil. Disamping itu aku sering menangkap bau ketiak yang agak kurang sedap.
Mungkin dulu di rumahnya dia tidak dididik soal kebersihan tubuh. Diam-diam aku membeli sabun pemeliharanaan kulit, spons mandi, bedak talk dan cologne untuk wanita.
Leave a Reply