Kerajaan Perempuan Mamberamo – Seorang petualang sejati tidak pernah akan berhitung berapa biaya yang dihabiskan hanya untuk memuaskan keingintahuannya. Setahun lebih aku merencanakan ekspedisi yang paling gila dan paling berbahaya. Aku merancang dengan mengambil cuti panjang yang kuperoleh dari tempat kerjaku.

Melalui berbagai informasi yang kukumpulkan akhirnya aku memutuskan akan menelusuri Sungai Mamberamo. Ini adalah sungai terbesar dan terpanjang di Papua. Menurut literatur panjang Sungai Mamberamo lebih dari 650 km. Yang menarik, di bagian hulu, atau di pedalaman masih banyak suku-suku yang belum banyak kontak dengan dunia luar atau dengan misionaris. Beberapa suku bahkan masih kanibal.

Persoalan yang kemudian muncul adalah besarnya biaya yang dibutuhkan. Jika aku berangkat sendirian ditaksir biaya tidak kurang dari 150 juta untuk perjalanan selama 3 minggu. Jumlah segitu bagiku lumayan berarti juga, agak berat kalau harus mengumpulkan uang segitu banyak untuk memuaskan jiwa petualanganku.

Aku mengontak teman-teman di mass media baik lokal maupun asing. Aku tawarkan ekspedisi menyusuri Sungai Mamberamo selama 3 minggu. Seorang wartawan koran besar di Jakarta, tertarik. Dia akan membicarakan dengan kantornya untuk kemungkinan membiayai ekspedisi ini. Dia pun kemudian mengontak temannya yang bekerja di TV Jepang dan TV Amerika.

Seminggu kemudian aku mendapat jawaban bahwa temanku mendapat persetujuan untuk melakukan ekspedisi itu, bahkan wartawan TV Jepang dan TV dari Amerika sangat antusias menginginkan ekspedisi ini. Aku sempat ciut juga.

Sebab awalnya aku tidak terlalu serius dengan jadwal perjalanan ekspedisi ini, tetapi sekarang aku harus membuat itinerary. Jika awalnya aku akan mengikuti situasi saja melakukan perjalanan.

Sekarang harus menetapkan acara mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. Yang membuatku makin pening adalah menetapkan berapa aku akan mengenakan biaya untuk setiap orang ini.

Aku minta mereka bersabar selama sekitar 3 hari, karena aku beralasan akan mengontak semua orang-orang di Papua untuk melihat kemungkinan mana yang paling praktis dan mudah serta ekonomis dalam melakukan ekspedisi Mamberamo.

Aku mengontak teman-teman, serta dan berbagai instansi di Papua. Akhirnya belum 3 hari aku sudah mendapatkan biaya carter pesawat, biaya carter boat, situasi keamanan di sepanjang perjalanan, sampai contact person di pedalaman.

Akhirnya aku mendapat 2 alternatif rute. Alternatif pertama menelusuri sungai dari muara sampai ke hulu, dan alternatif kedua, langsung terbang ke hulu dan dengan boat lalu menelusuri ke bagian yang lebih hulu lagi. Kedua-duanya sama mahalnya.

Aku mengenakan tarif 6000 dolar untuk setiap orang. Aku kira tarif itu tadinya bakal memberatkan mereka. Eh ternyata mereka enteng saja mengatakan setuju. Dengan tarif itu aku jadi gratis dan dapat untung yang lumayan juga.

Singkat cerita kami sudah bersiap-siap di pelabuhan Jayapura. Rombongan dari jakarta akhirnya membengkak menjadi 8 orang . Ada tambahan crew tv 2 orang dari Australia. Hanya aku dan Ferri yang orang Indonesia.

Bulenya ada 4 orang dan 2 orang Jepang. Aku mensyaratkan semua rombongnku harus laki-laki, karena medan yang akan kami hadapi sangat berat dan masih rawan. Kami mendapat kabar bahwa wilayah yang akan kami lewati masih terdapat pejuang dari Papua Merdeka. Mereka masih cukup eksis di wilayah Mamberamo.

Dengan boat sewaan kami bertolak dari pelabuhan sekitar pukul 5 pagi WIT. Perjalanan akan menempuh sekitar 8 jam sampai ke muara sungai Mamberamo. Perjalanan menyusuri pantai utara Papua lumayan indah, karena masih banyak hutan-hutan perawan yang kami lihat.

Kami istirahat sebentar di Sarmi untuk sekedar meluruskan otot-otot . Sekitar 1 jam setelah terasa segar kami meneruskan ke titik terakhir hari pertama ini adalah Teba, sebuah kampung di ujung muara sungai Mamberamo. Ngocoks.com

Tiba di Teba sekitar pukul 5 sore. Udara masih terang. Kampung Teba, tidak terlalu besar, hanya ada sekitar 30 rumah nelayan. Hotel, tentu saja tidak ada. Kami menyewa rumah penduduk untuk sekedar istirahat malam.

Dari kampung Teba keesokan harinya pagi sekali sekitar pukul 6 pagi kami sudah bertolak dengan boat yang juga membawa 5 drum bensin. Perjalanan akan memakan waktu antara 8 sampai 10 jam untuk sampai ke pos berikutnya di Dabra. Satu kampung kecil di wilayah hulu Mamberamo.

Pemandangan selama perjalanan ke hulu sangat memukau. Hutan perawan dengan berbagai satwa temasuk buaya sungai sering kami lihat di sepanjang perjalanan.

Tiba di Dabra sekitar pukul 6 sore. Kami agak terlambat sampai karena beberapa kameraman minta parahu untuk berhenti beberapa kali guna para kameraman mengambil gambar .

Di Dabra kami langung dijemput oleh contact person yang akan menjadi pemandu sekaligus pemanggul barang. Mereka sudah beberapa kali menjadi guide untuk rombongan yang akan masuk ke hulu Mamberamo.

Suasana keterisolasian sangat terasa. Di Dabra kami menginap di rumah missionaris. Informasi yang kami peroleh bahwa di bagian hulu sungai sudah tidak ada lagi kampung-kampung penduduk.

Penduduk di wilayah itu umumnya nomaden, sehingga mereka jarang menetap di satu tempat untuk waktu yang lama. Perjalanan ke hulu juga makin sulit, karena arus sungai juga sudah semakin deras serta banyak batu-batu.

Aku menargetkan masuk sekitar 2 hari lagi perjalanan dengan speedboat, lalu kami melakukan treking di wilayah yang kami rasa memungkinkan.

Keesokan paginya kami sudah bersiap berangkat. Udara dingin pegunungan terasa menggigit. Pagi itu sekitar pukul 7 pagi kami bertolak meninggalkan Dabra menuju wilayah lebih Selatan. Kami tiba di pertemuan sungai yang ke arah timur adalah sungai Tantaku dan yang ke barat adalah sungai Taritaku.

Arus deras kedua sungai itu membuat kami harus hati-hati. Tidak hanya memperhatikan balok yang hanyut dan batu yang menonjol, tetapi yang lebih berbahaya adalah arus deras dan putaran arus. Banyak korban kapal tenggelam oleh arus yang berputar. Aku minta boat untuk menyusuri pinggir sungai yang arusnya relatif lebih tenang dari pada di tengah sungai.

Perjalanan menyusuri hulu sungai Tariku menjadi semakin eksotis. Perjalanan menelusuri sungai makin asyik, Boat kami berkelak-kelok di sungai menghindari batu-batu yang menonjol di sungai.

Tidak terasa sudah 8 jam kami mengarungi wilayah hulu sungai. Kami sudah masuk jauh ke hulu sungai. Menurut pamandu kami, dia belum pernah sejauh ini masuk ke pedalaman, sehingga wilayah ini dia belum kenal betul.

Menjelang pukul 4 sore kami mencari tempat berlabuh. Satu wilayah yang ditumbuhi rumput seluas lapangan bola menjadi pilihan untuk kami mendirikan tenda. Tidak ada manusia seorang pun yang kami lihat sejak 4 jam terakhir perjalanan kami. Hutan lebat dan suara-suara satwa saja yang kami temui.

Malam mulai menjelang, suasana gelap dan mencekam. Mungkin karena kami belum mengenal daerah itu, maka perasaan mencekam itu merasuki kami.

Kami menerapkan gantian berjaga. Setiap 2 jam kami bergantian jaga. Bukan apa-apa, kami bukan hanya khawatir terhadap binatang liar seperti buaya dan ular, tetapi juga kemungkinan di datangi oleh orang-orang primitif.

Aku tidak ingat benar, tetapi mungkin sekitar pukul 4 pagi Perkemahan kami diserang. Serangan itu begitu mendadak dan sama sekali tidak menimbulkan kegaduhan. Tiba-tiba kami sudah ditodong oleh tombak di leher kami. Tidak ada jalan lain kecuali kami pasrah dan menyerah.

Di dalam keremangan malam , kami tidak dapat melihat wajah penyerang kami. Namun dari suara mereka berbicara sepertinya mereka adalah perempuan. Tangan kami diikat kebelakang dan kami di dorong agar mengikuti mereka. Kutaksir penyerang kami ada sekitar 30 orang. Setelah mereka berhasil menguasai kami, Mereka menjerit-jerit. Mungkin itu adalah teriakan kemenangan.

Menjelang fajar sekitar 1 jam kami berjalan memasuki hutan dan mendaki, baru terlihat jelas bahwa penyergap kami semuanya adalah perempuan. Mereka tidak mengenakan pakaian apa pun, kecuali telanjang.

Kami hanya membawa apa yang kami sandang. Para awak televisi tidak sempat menyambar kamera mereka. Hanya aku yang membawa kamera, karena kebetulan semalam aku tidur dan kamera itu tersimpan dalam saku celanaku.

Crew Jepang terlihat sangat ketakutan, Si Australia malah cengengesan seperti juga bule Amerika. Pemanduku memberi tahu bahwa penyergap kami ini adalah suku perempuan yang ganas. Di dalam komunitas mereka, katanya tidak ada laki-laki.

Mereka sangat terpencil dan jarang kontak dengan penduduk sekitarnya. Cerita mengenai keberadaan suku perempuan ini sudah pernah saya dengar ketika berada di Jayapura. Namun karena cerita itu tidak jelas, aku menganggapnya itu hanya issu saja.

Kini aku malah ditawan mereka dan di giring menuju kampungnya.

Seharian kami berjalan sampai akhirnya ke kampung mereka. Kampungnya berada diatas ketinggian. Untuk mencapai wilayah itu hanya bisa dilalui dengan tangga yang cukup tinggi.

Diatas terdapat beberapa rumah dan lapangan yang bersih dari rumput. Mungkin ini seperti alun-alun kalau di Jawa. Namun ukurannya hanya sekitar 10 x 10 meter. Kami bersepuluh diikat mereka di tonggak-tonggak yang berada di situ.

Seorang wanita yang agak gemuk, dengan asesoris kalung gigi babi dan hiasan rambut dari bulu burung kasuari mendekati rombongan kami. Dia berbicara dalam bahasanya, tetapi tidak satu pun dari kami yang paham maksudnya. Bahkan pemandu kami juga tidak mengerti bahasa mereka.

Komunitas mereka sekitar 100 an orang, atau mungkin lebih dan memang semuanya cewek. Dari yang tua sampai anak-anak semuanya cewek. Kalau pun ada laki-laki mungkin hanya anjing jantan yang kelihatan banyak berkeliaran di situ.

Wanita gemuk tadi kelihatannya kepala sukunya, karena dia didampingi oleh 2 pengawal cewek. Si pemandu mengatakan bahwa kami tidak mungkin akan pulang dengan selamat, karena kabarnya mereka akan membunuh cowok yang pernah masuk ke kampung mereka.

Aku sama sekali tidak berdaya dengan kedua tangan terikat ke belakang. Mau negosiasi, mereka juga tidak mengerti bahasaku.

Baju kami masing-masing dibuka secara paksa, mereka merobek baju kami. Berikutnya celana dipeloroti satu persatu. Mungkin karena mereka tidak pernah pakai celana jadi tidak tahu cara membukanya Celana luar kami juga dirobek untuk membukanya.