Aku terlahir dari keluarga miskin yang sederhana. Ketika aku bersekolah di SMA aku harus berusaha mencari uang sendiri untuk membiayai sekolahku. Beruntung aku memiliki badan yang sehat meski tidak ganteng, tetapi aku juga tidak jelek. Kulitku sawo matang, dan tinggi 170 cm.

Aku mencari penghasilan dengan mulanya ikutan saudaraku yang mempunyai usaha pijat refleksi. Pada awal bekerja di situ, sama sekali aku tidak mengetahui teknik pijat refleksi. Aku bekerja sebagai office boy yang bertugas membersihkan tempat usaha pijat refleksi.

Berbagai tugas aku lakukan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Saudaraku yang masih terhitung kakak sepupu senang melihat aku rajin mengerjakan yang dia perintahkan.

Dikala senggang aku diajarinya melakukan pijatan refleksi. Mungkin karena sering diajari dan melihat para pemijat refleksi bekerja, lama-lama aku mulai bisa melakukan pijatan refleksi.

Saudaraku Mas Agung mulai memberi kepercayaan kepadaku untuk menangani tamu baru. Aku adalah pekerja paling muda diantara sekitar 6 orang yang bekerja dengan Mas Agung. Kelihatannya usaha pijat refleksi Mas Agung cukup maju, karena dia sudah bisa membuka satu cabang lagi.

Ketrampilanku bertambah dan aku mulai bisa menganalisa berbagai kelemahan pelangganku dengan memberi saran dengan berbagai cara agar pelangganku bisa hidup lebih sehat.

Selama 3 tahun aku bekerja di tempat mas Agung, aku sudah memiliki banyak pelanggan. Uang tip juga lumayan kuperoleh sehingga bisa membantu meringankan beban keuangan orang tuaku. Setamat SMA, Mas Agung memintaku memimpin satu cabang yang akan dia buka lagi.

Ada kebanggaan di dalam diriku yang masih semuda ini sudah diserahi tanggung jawab yang lumayan besar. Berhasil atau tidaknya cabang yang aku pimpin ini adalah tergantung kepada kepiawaianku memuaskan para pelanggan.

Sebenarnya selepas SMA aku ingin kuliah seperti teman-temanku. Tetapi karena pekerjaanku yang banyak menyita waktu, rasanya tidak mungkin aku tinggalkan untuk duduk di bangku perguruan tinggi.

Meski aku sudah memiliki modal yang memadai untuk membuka usaha refleksi mengikuti jejak Mas Agung, tetapi keinginan itu aku tunda. Cita-citaku ingin berpenghasilan lebih besar dari sekedar yang diperoleh Mas Agung.

Apalagi aku sadar bahwa usaha refleksi itu sifatnya musiman. Kelak jika orang sudah tidak menyukai pijat refleksi, maka ketrampilanku ini tidak banyak menghasilkan uang lagi.

Aku sering meliwati salon kecantikan ketika menuju ke tempat usahaku. Kelihatannya usaha salon kecantikan sangat mempunyai prospek karena berkembang makin ramai. Muncul ide di benakku untuk coba-coba mengikuti kursus tata rambut. Disela-sela kesibukanku memajukan cabang yang aku pimpin aku menekuni kursus tata rambut.

Dalam 3 bulan aku sudah bisa menyelesaikan kursus itu. Dunia kecantikan cukup menarik juga bagiku, sehingga aku mengambil kursus kecantikan perawatan wajah, perawatan tubuh dan berbagai ketrampilan yang berkaitan dengan dunia kecantikan.

Setahun aku bisa menyelesaikan semua kursus itu. Sejauh ini aku baru mahir ditingkat teori, tetapi kemampuanku di dunia nyata belum pernah dicoba. Satu pilihan yang sulit adalah aku harus bekerja disalon kecantikan dan meninggalkan pekerjaan lamaku yang sudah memberi penghasilan memadai.

Orang tuaku sempat kuatir ketika kuutarakan bahwa aku ingin mencoba bekerja di salon. Mereka kuatir aku gagal menekuni bidang baruku. “Kamu kan laki-laki normal, nanti kalau kerja di salon kamu jadi banci,” kata orang tuaku.

Menurutku kekuatiran yang seperti itu, terlalu berlebihan. Aku laki-laki normal dan rasanya aku bisa menjaga diri tidak terpengaruh menjadi banci. Dengan berat hati aku harus pamit ke Mas Agung yang sudah membesarkanku. Dia pun dengan berat hati melepasku.

Aku mulai menekuni bidang baru ketika diterima di sebuah salon besar yang mewah. Gajiku tidak seberapa, atau jauh di bawah penghasilanku dulu. Masalahnya aku disitu diterima hanya sebagai tenaga pencuci rambut yang sekaligus membersihkan salon. Aku memang mulai dari Nol lagi. Aku menyadari risiko seperti ini, sehingga aku bekerja dengan senang dan dengan kesungguhan hati.

Pemilik salon seorang wanita setengah baya yang sangat cerewet, dia tergolong orang yang prefeksionis. Aku jadi maklum mengapa salonnya bisa maju dan berkembang, karena pemiliknya sangat memperhatikan sampai kepada hal-hal kecil.

Syukurlah aku jarang kena tegur, bahkan aku sering dipujinya karena semua pekerjaan yang diberikan kepadaku selalu hasilnya memuaskan. Dalam bekerja aku selalu berpegangan pada prinsip “bekerjalah melebihi kerja yang dibebankan kepadamu”.

Berpegang pada hal itu, mungkin dulu aku bisa berhasil di bidang pijat refleksi. Mencuci rambut hanya kukerjakan dalam 3 bulan, selebihnya aku diberi tugas yang lebih besar, merawat, rambut, memotong sampai kepada hal yang paling sulit dilakukan oleh seorang kapster, yaitu menentukan model rambut yang sesuai dengan karakter dan wajah seorang wanita.

Mungkin karena aku menekuni dengan sungguh-sungguh, pelangganku mulai banyak. Tidak sedikit ibu-ibu yang rela mengantri sampai 2 jam hanya untuk aku tangani penataan rambutnya. Dalam setahun aku sudah menjadi salah satu tenaga andalan di salon itu yang banyak mendatangkan pelanggan.

Ibu pemilik salon berkali-kali memujiku dan minta agar aku tetap betah bekerja di salonnya. Soal Honor, mungkin jika aku menyebut berapa pun dia akan kabulkan.

Kehidupanku mulai bangkit lagi. Jika dulu di pijat refleksi aku sudah senang menerima tips 10 ribu, sekarang tidak jarang aku menerima tips sampai 100 ribu. Maklumlah, salon ini pelanggannya adalah ibu-ibu penggede.

Pekerjaan yang memberi penghasilan besar memang melelahkan, karena sebelum aku sampai di salon, bahkan sebelum salon buka sudah ada ibu-ibu yang menungguku untuk didandani. Aku pula selalu menjadi pegawai salon yang paling telat pulangnya, karena menyelesaikan pekerjaan untuk pelangganku.

Ibu Tutik pemilik salon makin menyayangiku. Mungkin dia berharap aku mau bekerja 7 hari seminggu untuk memenuhi permintaan para pelanggan salon. Aku pernah menjalani seperti itu selama 6 bulan, tetapi badanku jadi lelah luar biasa.

Akhirnya aku memutuskan meminta off dua hari selama seminggu, karena aku beralasan jumlah pelanggan yang aku tangani jauh lebih banyak dari pegawai lain. Bahkan dalam 5 hari kerja pun aku melayani lebih banyak pelanggan dari pada mereka yang bekerja 6 hari seminggu.

Itulah dunia kerjaku. Aku ingin menceritakan dibalik dunia kerjaku yang sebenarnya jauh lebih menarik. Seperti aku ceritakan, aku mempunyai pelanggan yang cukup banyak. Bahkan Bu Tutik memberi tarif pelayananku lebih tinggi dari pegawai lain. Itu pun tidak menyurutkan, pelanggan tetap memburuku.

Diantara pelangganku tentu ada juga tante-tante yang genit. Badanku yang terawat (pegawai salon gitu lho) dan mukaku yang bersih dari jerawat mungkin memberi pesona lain kepada para tante yang genit.

Sejak 6 bulan lalu aku diam-diam, tanpa sepengetahuan Bu Tutik aku melayani permintaan beberapa pelanggan untuk melakukan perawatan di rumah. Aku memilih ibu-ibu yang duitnya boleh dibilang tidak berseri untuk kulayani perawatan di rumahnya.

Aku memang tidak menentukan tarif, tetapi mereka selalu memberiku upah lumayan besar, bisa sama besarnya dengan gajiku sebulan. Itulah alasannya mengapa aku minta 2 hari off dalam seminggu. Di waktu off itulah kugunakan untuk melayani pelangganku di rawat secara pribadi dirumah.

Seorang pelangganku, istri pejabat tinggi di kepolisian memintaku melakukan perawatan di rumah. Melalui sms dia memberi alamat sebuah apartemen di Taman Anggrek. Tante ini sering memberi tips yang lumayan besar jika dia datang ke Salon.

Aku jadi akrab dengan Tante Elizha, nama pelangganku yang mengontak melalui SMS. Jam 10 pagi aku sudah sampai di apartemen yang dia tunjuk. Apartemennya sangat mewah dan lengkap. Ketika aku masuk, aku clingukan kaya orang kampung kesasar dikota besar. Sebab di apartemen itu tidak ada orang lain kecuali Tante Elizha . “Santai aja dik,” kata Tante Elizha.

Ketika di telepon dia memintaku hanya memotong rambut dan mencucinya. Namun setelah aku sampai di apartemennya dia malah menanyaiku. “ Dik kamu bisa melakukan perawatan tubuh lengkap, body spa,”
Aku terkesiap sejenak.

Bukannya aku tidak mengerti teknik perawatan tubuh lengkap, tetapi jika di salon biasanya dikerjakan oleh pegawai cewek, masalahnya perawatan jenis ini rada-rada vulgar juga kalau dilakukan oleh tenaga laki seperti aku.

“Alatnya lengkap kok dik disini, gimana bisa kan” katanya setengah mengandung paksaan.
“Ya bisa tante, tapi kan saya laki-laki,” kata ku dengan nada ragu.
“Udahlah santai aja, sini saya tunjukkan tempatnya. “ ajaknya

Di dalam apartemen yang mungkin itu tipe yang paling mewah sudah ada satu kamar khusus dengan ranjang seperti di rumah sakit, lengkap dengan berbagai handuk serta perangkat aroma therapy. Aku harus profesional menghadapi pelanggan seperti Tante Elizha, kataku dalam hati.

Tante Elizha muncul dari kamar mengenakan kimono merah muda. “Ayo dik kita mulai”, ajaknya menuju ruang perawatan. Dengan santainya dilepas kimono itu sehingga badannya yang putih bersih nongol di depanku.
Dia hanya mengenakan celana dalam lalu tidur telungkup diatas dipan perawatan.

Aku segera mencampur ramuan luluran. Seluruh tubuhnya aku lumuri lulur kuning untuk membersihkan kotoran dari pori-pori dan mengangkat kulit-kulit mati. Body Tante Elizha yang kutaksir umurnya sekitar 37 tahun sangat putih dan padat, tapi tidak gemuk.

Bodynya sangat ideal. Tanganku menelusuri mulai dari pundak terus turun ke bawah sampai kebagian pantat. “Dik buka saja celananya kalau merepotkan. “Karena aku ingin bekerja secara profesional aku turuti kemauannya.

Didepanku sekarang membujur tubuh bugil seorang tante kaya yang tubuhnya bahenol. Sebagai laki-laki normal, aku terangsang. Tetapi keteguhanku bekerja secara profesional , aku berusaha memendam gairahku. Pantatnya sangat kenyal ketika aku luluri.

Bersambung…